Bandarlampung (ANTARA News)- Bukit Camang di daerah pinggiran kota Bandarlampung masih tetap dirusak dengan melakukan penambangan atas tanah dan bebatuannya, padahal bukit itu termasuk kawasan konservasi.
Berdasarkan pantauan dalam beberapa hari terakhir, termasuk Sabtu, kegiatan penambangan di bukit itu masih terus berlangsung.
Penambangan dilakukan oleh puluhan warga. Bebatuan dan tanah dari bukit itu kemudian diangkut menggunakan truk ke berbagai daerah di Bandarlampung.
Penambangan itu selain membahayakan keselamatan penambang dan warga setempat, juga kerap menimbulkan genangan air dan longsoran tanah ke jalan di sisi bukit itu saat hujan turun.
Tanah berlumpur itu tentu berbahaya bagi keselamatan pengguna jalan, apalagi kondisi jalan yang cukup curam.
Penambangan itu juga berdampak berkurangnya daerah resapan air dan ruang terbuka hijau di Kota Bandarlampung. Di sisi bukit itu juga terdapat sekolah. Jika hujan turun maka air bercampur lumpur akan menggenangi areal sekolah itu karena lokasinya di daerah yang lebih rendah.
Penambangan ilegal itu telah berulangkali disorot para pegiat lingkungan, seperti Walhi Lampung, namun aktivitas itu tetap berlangsung hingga sekarang.
Pemkot Bandarlampung dua tahun lalu telah menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah mengeluarkan izin untuk kegiatan penambangan di Bukit Camang.
Kegiatan tambang itu telah menjadi mata pencaharian bagi puluhan bahkan ratusan orang penambang, namun dampaknya tentu akan menimbulkan kerugian yang lebih besar.
Menurut beberapa kalangan, penambangan itu bisa dihentikan dengan merazia truk pengangkut material yang berasal dari kawasan konservasi.
"Penambangan di kawasan konservasi tentu tidak dibolehkan. Cukup memberikan tilang kepada truk yang mengangkut material dari setiap kawasan konservasi maka kegiatan penambangan itu akan berhenti dengan sendirinya," kata Edy, salah satu warga Bandarlampung.
(H009)
Bukit Camang masih tetap dirusak
28 Januari 2012 09:16 WIB
Penambangan ilegal di bukit Camang, Bandarlampung.(ANTARA NEWS/FOTO Humas DPRD Bandarlampung)
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2012
Tags: