Artikel
Intisari digitalisasi Indonesia
Oleh Dolly Rosana
15 Juni 2022 21:48 WIB
Seorang pengunjung melakukan transaksi pembayaran melalui aplikasi uang elektronik "server based", dompet elektronik dan mobile banking saat peluncuran dan implementasi QR Code Indonesian Standard (QRIS) untuk desa wisata di Pasar Slumpring, Desa Cempaka, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Minggu (16/2/2019). (ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/foc)
Palembang (ANTARA) - Indonesia membutuhkan waktu hingga 30 tahun untuk mencapai 120 juta pengguna kartu debit, dan 20 juta pengguna kartu kredit.
Namun setelah masuknya digitalisasi sistem pembayaran, hanya dibutuhkan tiga tahun untuk mencapai 350 juta pengguna uang elektronik (e-money) yang bahkan melebihi jumlah penduduknya.
Deputi Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Yosamartha mengatakan, pesatnya pertumbuhan ini dipicu oleh transformasi layanan dari konvensional ke sistem digital yang dilakukan kalangan perbankan dan fintech.
Adanya faktor pendorong berupa pandemi COVID-19 juga tak disangkal membuat masyarakat terstimulus menjadi piawai dalam bertransaksi nontunai.
BI mengamati ekosistem digital bergerak luar biasa di Tanah Air yang terlihat dari jumlah kenaikan konsumen digital hingga 20 juta lebih dalam tiga tahun.
Menariknya, dari sisi penyebarannya, berdasarkan data bank sentral justru sebanyak 72 persen berada di kota kecil.
Salah satu wujud nyatanya kini masyarakat pedesaan semakin akrab dengan digitalisasi bansos yakni menerima bantuan Program Keluarga Harapan Kementerian Sosial tak lagi secara tunai tapi melalui transfer via rekening atau melalui kanal pembayaran lain.
“Dalam konsep digitalisasi bansos ini ternyata banyak yang lebih suka pakai QRIS dibandingkan kartu debit. Artinya kemampuan awareness dari masyarakat lebih cepat dibandingkan sisi pemerintah daerah, jadi mesti hati-hati,” kata dia.
Oleh karena itu, BI dan otoritas lain meliputi Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Kementerian/Lembaga bersepakat bahwa pemerintahan di daerah yang menjadi penentu dalam pertumbuhan digitalisasi di Tanah Air.
Peran pemerintah daerah ini tak dapat dipungkiri karena mereka yang merealisasikan penyaluran bantuan sosial (bansos), yang mana 40 persen penduduk Indonesia hingga kini masih tergantung pada bantuan tersebut.
Bahkan BI pun menyebut pemerintah daerah sebagai agen perubahan digitalisasi, apalagi terdapat 542 pemerintahan daerah tersebar di seluruh Tanah Air.
Dengan tiga pilar yang disiapkan bank sentral, yakni digitalisasi bansos, digitalisasi transportasi, dan digitalisasi transaksi pemda maka diyakini pertumbuhan digitalisasi Indonesia akan bertambah pesat pada tahun mendatang.
Dengan begitu, negara berpenduduk 270 juta jiwa ini tak sekadar jadi penonton atas kemajuan teknologi informasi yang saat ini berkembang. Bahkan dapat menjadikan digitalisasi sebagai sarana untuk meningkatkan ekonomi negara yang lebih berdaya saing.
Toko daring
Sejumlah pemerintah daerah di Sumatera Selatan bergerak cepat dalam mengimplementasikan sistem transaksi berbasis digital, salah satunya Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, menggandeng toko daring MBizmarket untuk menerapkan transaksi digital sesuai dengan arahan pemerintah pusat terkait belanja pemerintah.
Kepala Bidang Pengelolaan Komunikasi Publik Diskominfo OKI Adi Yanto mengatakan Kabupaten OKI kini menjadi pelopor transaksi digital belanja pemerintah melalui kanal Bela (belanja langsung) Pengadaan Lembaga Kebijakan Pengadaan Pemerintah (LKPP).
Dalam menerapkannya, Pemkab OKI menggandeng toko daring MBizmarket sebagai salah satu Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) yang dilisensi oleh LKPP.
Terkait ini pula, Dinas Kominfo OKI melakukan percepatan transaksi digital untuk belanja langsung khususnya belanja publikasi di media massa melalui Bela Pengadaan.
"Kami melakukan percepatan digitalisasi belanja pemerintah termasuk untuk segmen belanja publikasi media yang bekerja sama dengan Diskominfo OKI,” kata dia.
Implementasi Bela Pengadaan ini sesuai dengan strategi nasional pencegahan korupsi (Stranas PK) Rencana Aksi 2021-2022 terkait implementasi e-payment dan e-katalog.
Untuk itu, sejak 6 Juni 2022, Pemkab OKI melakukan kegiatan sosialisasi dan melatih para Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Pengadaan (PP), Bendahara serta pelaku usaha UMKM di Kabupaten OKI.
Sekretaris Daerah OKI Husin mengatakan tujuan implementasi PPMSE di OKI ini, selain mendorong akuntabilitas dan transparansi belanja pemerintah, juga membantu UMKM memperluas pasar ke sektor pemerintah melalui platform 'Bela Pengadaan'.
Upaya digitalisasi sistem pembayaran ini juga bagian dari strategi pengembangan UMKM lokal.
Manajer MBizmarket area Sumatera Anugrah Al Ridwan mengatakan MBizmarket telah dipercaya menjadi salah satu e-merchant (mitra toko daring) Lembaga Kebijakan Pengadaan barang dan jasa Pemerintah (LKPP) dalam Portal Bela Pengadaan.
Lewat toko daring tersebut, berbagai kebutuhan lembaga pemerintahan dapat diakses secara mudah dan praktis, yang selanjutnya akan dilayani oleh MBizmarket dan para mitra.
"Ini wujud dukungan kami dalam mendukung pemerintah daerah juga keberlangsungan usaha UMKM,” kata Anugrah.
Bank Indonesia mengungkapkan penerapan sistem digitalisasi dalam transaksi keuangan pemerintah daerah telah mendongkrak Pendapatan Asli Daerah hingga 7,5 persen.
Deputi Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Yosamartha mengatakan dari total 200 pemerintah daerah yang menerapkan digitalisasi pada 2021 diketahui PAD-nya jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah yang belum menerapkan digitalisasi.
Oleh karena itu, BI menilai digitalisasi ini sangat penting diterapkan oleh pemerintah daerah (pemda) dengan harapan seluruh pemda dapat menerapkannya paling lambat pada akhir tahun 2022 ini.
Apalagi data terbaru BI menunjukkan bahwa pemda yang sudah menerapkannya mampu merealisasikan APBN dan APBD hingga di atas 87 persen, sementara daerah yang belum digitalisasi malah terseok-seok terutama saat pandemi.
Beruntung bagi Sumatera Selatan, saat ini sudah terbentuk Tim Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (TP2DD) di seluruh kabupaten/kotanya.
Berdasarkan evaluasi akhir tahun 2021, dari total 18 kabupaten/kota hanya dua daerah yang mengalami kemunduran dari sisi kinerja keuangan. Menurut Yosamartha, hal ini disebabkan daerah tersebut dalam proses adaptasi pelaporan keuangan di era digital.
“Kami menilai sudah baik dari sisi pembayaran nontunainya di Sumsel, karena sudah elektronifikasi. Mungkin yang perlu ditambah dari sisi pembayaran retribusi harus nontunai juga,” kata dia.
Tak disangkal masih terdapat sejumlah kendala untuk mempercepat proses ini, di antaranya ketersediaan infrastruktur (internet) yang belum merata hingga lemahnya SDM yang dimiliki pemda, dan masih rendahnya minat dan pemahaman masyarakat untuk bertransaksi digital.
Akan tetapi BI menilai ini sebagai peluang karena jika dua persoalan teratas diselesaikan maka tinggal meningkatkan literasi masyarakat.
Bank Indonesia mengungkapkan saat ini Indonesia memasuki fase terakhir dalam restrukturisasi ekosistem digital di pemerintahan daerah.
Setelah melalui proses panjang sejak Mei 2019 kini tahapan sudah memasuki fase terakhir yakni pengembangan kapasitas.
“Gong-nya pada akhir bulan ini, kami akan evaluasi kinerja dari seluruh pemda, dan memilih siapa yang paling unggul,” katanya.
Baca juga: BI : Sistem pembayaran digital membuat proses ekonomi lebih baik
Baca juga: BI: 21 juta konsumen baru transaksi digital sejak pandemi
Solusi
Digitalisasi sistem pembayaran menjadi solusi masa depan perekonomian Indonesia karena dapat memperlancar arus distribusi barang dan jasa.
Ketua Badan Supervisi Bank Indonesia Muhammad Edhie Purnawan mengatakan berdasarkan hasil riset di banyak negara disebutkan bahwa suatu negara dapat mempercepat pertumbuhan ekonominya karena penerapan digitalisasi.
“Kini kita meyakini bahwa digitalisasi ini menjadi salah satu faktor pendorong ekonomi,” kata akademisi dari Universitas Gadjah Mada ini dalam acara Side Event Presidensi G20 Indonesia Leaders Talk Digitalization on Payment System South Sumatera Digital Economy dan Finance di Palembang, Jumat (10/6).
Namun untuk menerapkan digitalisasi ini terdapat sejumlah tantangan, salah satunya ketersediaan infrastruktur.
Sejauh ini, infrastruktur internet belum merata di Indonesia sehingga pengguna hanya terpusat di kota-kota besar.
Untuk itu dibutuhkan komitmen dari pemerintah untuk fokus dalam penyediaan infrastruktur internet ini karena digitalisasi juga dianggap sebagai solusi bagi dunia untuk pulih dari pandemi COVID-19, kata dia.
Praktisi digital asal Inggris Andrew Keen mengatakan manusia selalu menjadi isu utama dalam setiap diskusi digitalisasi.
Pada saat dunia bergerak ke digital, maka konsentrasinya yakni apa yang harus dilakukan dan apa yang harus antisipasi agar digitalisasi ini mempermudah manusia, bukan menimbulkan masalah, apalagi membuat jadi lebih rumit. Dan itulah intisari dari digitalisasi.
Baca juga: Transaksi digital makin inklusif, konsumen dari generasi X meningkat
Baca juga: Jubir G20 ungkap data pentingnya literasi keuangan digital anak muda
Namun setelah masuknya digitalisasi sistem pembayaran, hanya dibutuhkan tiga tahun untuk mencapai 350 juta pengguna uang elektronik (e-money) yang bahkan melebihi jumlah penduduknya.
Deputi Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Yosamartha mengatakan, pesatnya pertumbuhan ini dipicu oleh transformasi layanan dari konvensional ke sistem digital yang dilakukan kalangan perbankan dan fintech.
Adanya faktor pendorong berupa pandemi COVID-19 juga tak disangkal membuat masyarakat terstimulus menjadi piawai dalam bertransaksi nontunai.
BI mengamati ekosistem digital bergerak luar biasa di Tanah Air yang terlihat dari jumlah kenaikan konsumen digital hingga 20 juta lebih dalam tiga tahun.
Menariknya, dari sisi penyebarannya, berdasarkan data bank sentral justru sebanyak 72 persen berada di kota kecil.
Salah satu wujud nyatanya kini masyarakat pedesaan semakin akrab dengan digitalisasi bansos yakni menerima bantuan Program Keluarga Harapan Kementerian Sosial tak lagi secara tunai tapi melalui transfer via rekening atau melalui kanal pembayaran lain.
“Dalam konsep digitalisasi bansos ini ternyata banyak yang lebih suka pakai QRIS dibandingkan kartu debit. Artinya kemampuan awareness dari masyarakat lebih cepat dibandingkan sisi pemerintah daerah, jadi mesti hati-hati,” kata dia.
Oleh karena itu, BI dan otoritas lain meliputi Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Kementerian/Lembaga bersepakat bahwa pemerintahan di daerah yang menjadi penentu dalam pertumbuhan digitalisasi di Tanah Air.
Peran pemerintah daerah ini tak dapat dipungkiri karena mereka yang merealisasikan penyaluran bantuan sosial (bansos), yang mana 40 persen penduduk Indonesia hingga kini masih tergantung pada bantuan tersebut.
Bahkan BI pun menyebut pemerintah daerah sebagai agen perubahan digitalisasi, apalagi terdapat 542 pemerintahan daerah tersebar di seluruh Tanah Air.
Dengan tiga pilar yang disiapkan bank sentral, yakni digitalisasi bansos, digitalisasi transportasi, dan digitalisasi transaksi pemda maka diyakini pertumbuhan digitalisasi Indonesia akan bertambah pesat pada tahun mendatang.
Dengan begitu, negara berpenduduk 270 juta jiwa ini tak sekadar jadi penonton atas kemajuan teknologi informasi yang saat ini berkembang. Bahkan dapat menjadikan digitalisasi sebagai sarana untuk meningkatkan ekonomi negara yang lebih berdaya saing.
Toko daring
Sejumlah pemerintah daerah di Sumatera Selatan bergerak cepat dalam mengimplementasikan sistem transaksi berbasis digital, salah satunya Kabupaten Ogan Komering Ilir.
Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, menggandeng toko daring MBizmarket untuk menerapkan transaksi digital sesuai dengan arahan pemerintah pusat terkait belanja pemerintah.
Kepala Bidang Pengelolaan Komunikasi Publik Diskominfo OKI Adi Yanto mengatakan Kabupaten OKI kini menjadi pelopor transaksi digital belanja pemerintah melalui kanal Bela (belanja langsung) Pengadaan Lembaga Kebijakan Pengadaan Pemerintah (LKPP).
Dalam menerapkannya, Pemkab OKI menggandeng toko daring MBizmarket sebagai salah satu Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) yang dilisensi oleh LKPP.
Terkait ini pula, Dinas Kominfo OKI melakukan percepatan transaksi digital untuk belanja langsung khususnya belanja publikasi di media massa melalui Bela Pengadaan.
"Kami melakukan percepatan digitalisasi belanja pemerintah termasuk untuk segmen belanja publikasi media yang bekerja sama dengan Diskominfo OKI,” kata dia.
Implementasi Bela Pengadaan ini sesuai dengan strategi nasional pencegahan korupsi (Stranas PK) Rencana Aksi 2021-2022 terkait implementasi e-payment dan e-katalog.
Untuk itu, sejak 6 Juni 2022, Pemkab OKI melakukan kegiatan sosialisasi dan melatih para Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Pengadaan (PP), Bendahara serta pelaku usaha UMKM di Kabupaten OKI.
Sekretaris Daerah OKI Husin mengatakan tujuan implementasi PPMSE di OKI ini, selain mendorong akuntabilitas dan transparansi belanja pemerintah, juga membantu UMKM memperluas pasar ke sektor pemerintah melalui platform 'Bela Pengadaan'.
Upaya digitalisasi sistem pembayaran ini juga bagian dari strategi pengembangan UMKM lokal.
Manajer MBizmarket area Sumatera Anugrah Al Ridwan mengatakan MBizmarket telah dipercaya menjadi salah satu e-merchant (mitra toko daring) Lembaga Kebijakan Pengadaan barang dan jasa Pemerintah (LKPP) dalam Portal Bela Pengadaan.
Lewat toko daring tersebut, berbagai kebutuhan lembaga pemerintahan dapat diakses secara mudah dan praktis, yang selanjutnya akan dilayani oleh MBizmarket dan para mitra.
"Ini wujud dukungan kami dalam mendukung pemerintah daerah juga keberlangsungan usaha UMKM,” kata Anugrah.
Bank Indonesia mengungkapkan penerapan sistem digitalisasi dalam transaksi keuangan pemerintah daerah telah mendongkrak Pendapatan Asli Daerah hingga 7,5 persen.
Deputi Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran Bank Indonesia Yosamartha mengatakan dari total 200 pemerintah daerah yang menerapkan digitalisasi pada 2021 diketahui PAD-nya jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah yang belum menerapkan digitalisasi.
Oleh karena itu, BI menilai digitalisasi ini sangat penting diterapkan oleh pemerintah daerah (pemda) dengan harapan seluruh pemda dapat menerapkannya paling lambat pada akhir tahun 2022 ini.
Apalagi data terbaru BI menunjukkan bahwa pemda yang sudah menerapkannya mampu merealisasikan APBN dan APBD hingga di atas 87 persen, sementara daerah yang belum digitalisasi malah terseok-seok terutama saat pandemi.
Beruntung bagi Sumatera Selatan, saat ini sudah terbentuk Tim Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (TP2DD) di seluruh kabupaten/kotanya.
Berdasarkan evaluasi akhir tahun 2021, dari total 18 kabupaten/kota hanya dua daerah yang mengalami kemunduran dari sisi kinerja keuangan. Menurut Yosamartha, hal ini disebabkan daerah tersebut dalam proses adaptasi pelaporan keuangan di era digital.
“Kami menilai sudah baik dari sisi pembayaran nontunainya di Sumsel, karena sudah elektronifikasi. Mungkin yang perlu ditambah dari sisi pembayaran retribusi harus nontunai juga,” kata dia.
Tak disangkal masih terdapat sejumlah kendala untuk mempercepat proses ini, di antaranya ketersediaan infrastruktur (internet) yang belum merata hingga lemahnya SDM yang dimiliki pemda, dan masih rendahnya minat dan pemahaman masyarakat untuk bertransaksi digital.
Akan tetapi BI menilai ini sebagai peluang karena jika dua persoalan teratas diselesaikan maka tinggal meningkatkan literasi masyarakat.
Bank Indonesia mengungkapkan saat ini Indonesia memasuki fase terakhir dalam restrukturisasi ekosistem digital di pemerintahan daerah.
Setelah melalui proses panjang sejak Mei 2019 kini tahapan sudah memasuki fase terakhir yakni pengembangan kapasitas.
“Gong-nya pada akhir bulan ini, kami akan evaluasi kinerja dari seluruh pemda, dan memilih siapa yang paling unggul,” katanya.
Baca juga: BI : Sistem pembayaran digital membuat proses ekonomi lebih baik
Baca juga: BI: 21 juta konsumen baru transaksi digital sejak pandemi
Solusi
Digitalisasi sistem pembayaran menjadi solusi masa depan perekonomian Indonesia karena dapat memperlancar arus distribusi barang dan jasa.
Ketua Badan Supervisi Bank Indonesia Muhammad Edhie Purnawan mengatakan berdasarkan hasil riset di banyak negara disebutkan bahwa suatu negara dapat mempercepat pertumbuhan ekonominya karena penerapan digitalisasi.
“Kini kita meyakini bahwa digitalisasi ini menjadi salah satu faktor pendorong ekonomi,” kata akademisi dari Universitas Gadjah Mada ini dalam acara Side Event Presidensi G20 Indonesia Leaders Talk Digitalization on Payment System South Sumatera Digital Economy dan Finance di Palembang, Jumat (10/6).
Namun untuk menerapkan digitalisasi ini terdapat sejumlah tantangan, salah satunya ketersediaan infrastruktur.
Sejauh ini, infrastruktur internet belum merata di Indonesia sehingga pengguna hanya terpusat di kota-kota besar.
Untuk itu dibutuhkan komitmen dari pemerintah untuk fokus dalam penyediaan infrastruktur internet ini karena digitalisasi juga dianggap sebagai solusi bagi dunia untuk pulih dari pandemi COVID-19, kata dia.
Praktisi digital asal Inggris Andrew Keen mengatakan manusia selalu menjadi isu utama dalam setiap diskusi digitalisasi.
Pada saat dunia bergerak ke digital, maka konsentrasinya yakni apa yang harus dilakukan dan apa yang harus antisipasi agar digitalisasi ini mempermudah manusia, bukan menimbulkan masalah, apalagi membuat jadi lebih rumit. Dan itulah intisari dari digitalisasi.
Baca juga: Transaksi digital makin inklusif, konsumen dari generasi X meningkat
Baca juga: Jubir G20 ungkap data pentingnya literasi keuangan digital anak muda
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2022
Tags: