Jakarta (ANTARA) - Dua belas tahun silam ketika ANTARA mengunjungi Sri Lanka pertengahan 2010, negeri ini tengah dalam euforia terbebas dari perang saudara yang berkecamuk selama 27 tahun untuk menewaskan sekitar 100 ribu orang.

Sekalipun saat itu serdadu bersenjata lengkap masih ditempatkan di tempat-tempat vital, kesan umum yang terlihat adalah gairah tinggi membangun negeri. Proyek-proyek pembangunan marak dibangun. Nama China sebagai pemberi pinjaman utama pun sudah terdengar masa itu.

Saat itu presidennya adalah Mahinda Rajapaksa. Dia memiliki menteri pertahanan yang mantan perwira militer dan adiknya sendiri, Gotabaya Rajapaksa.

Gotabaya adalah aktor di balik hancurnya Macan Tamil (LTTE) yang sejak 1976 berusaha mendirikan negara terpisah di Sri Lanka timur laut.

Pemimpin Macan Tamil bernama Velupillai Prabhakaran dikenal bengis yang di antaranya terekam dari kesaksian pengungsi di kamp pengungsian Puttalam di bagian barat laut negeri, kepada ANTARA 12 tahun silam itu.

Macan Tamil ditumpas pada 2009 setelah Prabakharan tewas tahun itu juga. Gotabaya adalah tokoh utama di balik sukses Sri Lanka mengakhiri perang saudara.

Mahinda sendiri mulai menjabat presiden pada 2005. Setelah berhasil mengakhiri perang saudara dia terpilih kembali pada 2009, walau dikritik melakukan pelanggaran HAM terhadap etnis minoritas Tamil selama memerangi Macan Tamil.

Fakta Mahinda memilih Gotabaya adalah bukti nepotisme lama menggejala di sana. Tahun ini isu nepotisme menjadi sorotan utama setelah krisis menghantam Sri Lanka.

Nepotisme keluarga Rajapaksa memang terang-terangan. Korupsi pun terjadi di mana-mana ketika keluarga Rajapaksa menguasai dua pertiga anggaran Sri Lanka.

Situasi ini bukannya tak dikritik rakyat. Sebaliknya, beberapa kali pecah demonstrasi menentang keluarga itu. Tapi mereka yang mengkritik rezim, nepotisme, dan korupsi, dilabeli pengkhianat atau anti keluarga Rajapaksa oleh rezim.

Pada masa jabatan keduanya mulai 2009, Mahinda kian sering mendudukkan anggota keluarganya pada pos-pos penting di berbagai lembaga.

Setelah menguasai 2/3 parlemen, dia mengamandemen konstitusi untuk mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode agar bisa mencalonkan diri lagi.

Tetapi pada pemilu 2015, Mahinda dikalahkan Maithripala Sirisena dari Partai Kebebasan Sri Lanka (SLFP). Namun tak lama karena empat tahun kemudian keluarga Rajapaksa kembali berkuasa setelah Gotabaya memenangkan pemilu 2019 dengan suara telak.

Gotabaya mengkapitalisasi kemarahan publik atas teror Bom Paskah pada 21 April 2019 yang menewaskan 269 orang, selain mempromosikan program-program populis untuk etnis Sinhala yang penduduk mayoritas di Sri Lanka.

Baca juga: Dinasti politik Sri Lanka tertatih-tatih di ujung kekuasaannya
Baca juga: Krisis memburuk, klan penguasa Sri Lanka berjuang pertahankan hidup

Selanjutnya: rakyat tak tahan
Pengunjuk rasa menarik barikade baja saat aksi protes menuntut pengunduran diri Presiden Gotabaya Rajapaksa di tengah krisis ekonomi negara, dekat Kediamana Presiden di Kolombo, Sri Lanka, Sabtu (28/5/2022). ANTARA FOTO/REUTERS/Dinuka Liyanawatte/HP/djo (REUTERS/DINUKA LIYANAWATTE)
Rakyat tak tahan

Gotabaya kemudian menunjuk Mahinda sang abang, sebagai perdana menteri. Kemenangan telak pada pemilu 2019 membuat pemerintah menguasai 2/3 suara parlemen dan dijadikan landasan untuk Gotabaya guna mengamandemen konstitusi agar presiden mempunyai kekuasaan lebih luas.

Saat yang sama nepotisme kembali merajalela. Keluarga dan teman diberi jabatan penting yang kemudian menjadi faktor terjadinya salah kelola ekonomi.

Keuangan negara pun menjadi semrawut setelah pemerintah memangkas pajak yang memotong drastis pendapatan negara dan mempersulit Sri Lanka dalam meyakinkan kreditor asing guna mendapatkan pinjaman.

Setahun kemudian pandemi COVID-19 menghancurkan sektor pariwisata yang masih terdampak teror Bom Paskah 2019, padahal ini adalah sektor terpenting bagi pendapatan negara dan menciptakan lapangan kerja.

Pandemi juga memangkas pemasukan devisa dari orang-orang Sri Lanka yang bekerja di luar negeri.

Kendati begitu, Gotabaya enggan menaikkan pajak dan memangkas belanja negara yang jika dilakukan mungkin bisa menghindarkan ekonomi Sri Lanka dari krisis.

Gotabaya juga melarang pupuk kimia karena ingin mengembangkan pertanian organik. Tapi langkah ini justru menghambat produksi pangan sehingga pasokan pangan tersumbat.

Situasi makin parah setelah Rusia menginvasi Ukraina akhir Februari 2022 yang seketika menaikkan harga pangan dan minyak, selain memangkas pasokan produk pertanian global di mana Rusia dan Ukraina menjadi eksportir utama produk pertanian dunia.

Sri Lanka pun diserang di tiga front; krisis energi akibat harga BBM yang melambung tinggi, krisis pangan akibat gejolak harga dunia serta melonjaknya harga pupuk yang memangkas produksi pertanian untuk kemudian melonjakkan harga pangan, dan krisis kesehatan akibat 80 persen kebutuhan produk kesehatan negeri ini yang dipenuhi dari impor terganggu krisis rantai pasokan akibat pandemi dan perang di Ukraina.

Krisis-krisis itu terjadi tatkala Sri Lanka tak punya cukup uang untuk belanja, bahkan untuk membayar utang yang sudah jatuh tempo.

Baca juga: Hanya sehari setelah dilantik, Menkeu Sri Lanka mundur

Utang luar negeri Sri Lanka sendiri sangat besar, yang sampai Desember 2021 mencapai 50 miliar dolar AS sampai-sampai neraca transaksi berjalan pun minus 1,13 miliar dolar AS.

Negara yang tengah merundingkan lagi utang luar negerinya itu, termasuk dengan China yang mengambil porsi 15 persen dari total utang luar negeri Sri Lanka, masuk perangkap utang.

Kemampuan Sri Lanka dalam membiayai ekspor pun semakin mengecil di mana sampai April lalu hanya memiliki cadangan divisi 50 juta dolar AS yang hanya cukup untuk beberapa hari saja.

Barang-barang pokok termasuk minyak dan obat-obatan tak lagi tersedia di pasar, saat bersamaan bank sentral terus mencetak uang ketika banyak barang tak tersedia di pasar sampai hiperinflasi pun mengancam negeri itu.

Rakyat negeri yang beberapa bulan sebelumnya hidup sejahtera pun tiba-tiba mendapati dirinya tak bisa membeli apa-apa. Nilai uang menjadi tak ada artinya ketika semua produk menjadi amat mahal dan sangat sulit didapat.

Rakyat tak tahan, marah, lalu menggelar unjuk rasa memprotes Gotabaya dalam menangani ekonomi negara. Fatal bagi rezim, Mahinda sang perdana menteri malah menjawab demonstrasi damai dengan unjuk rasa tandingan, sampai menelan korban jiwa.

Baca juga: Krisis ekonomi memburuk, sejumlah menteri Sri Lanka mundur

Selanjutnya: membutakan negara
Patung D.A Rajapaksa, ayah dari mantan Perdana Menteri Sri Lanka Mahinda Rajapaksa, yang dirusak massa difoto di sebuah museum di Weeraketiya, Sri Lanka, 11 Mei 2022. (ANTARA/Reuters/Alasdair Pal/as)

Membutakan negara

Rakyat yang lapar menjadi semakin murka. Demonstrasi membesar dan berubah beringas sampai rumah anggota keluarga Rajapaksa diserang hingga beberapa dari mereka terpaksa mengungsi ke markas militer.

Mahinda sendiri mundur dan bahkan dipaksa meninggalkan rumahnya jam 4 dini hari karena protes semakin brutal.

Satu per satu anggota keluarga Rajapaksa mundur ketika suasana negara semakin buruk, termasuk saat dinyatakan gagal membayar utang luar negeri (default) akhir Mei lalu yang baru kali ini terjadi sepanjang sejarah negeri itu.

Nepotisme yang akut telah mengamputasi kemampuan negara dalam menaksir dampak dinamika global ketika volume utang begitu menggunung dan ketergantungan kepada impor demikian tinggi.

Nepotisme juga membuat suara selain rezim, sekalipun kritik konstruktif, dianggap sebagai anti-rezim, dicibir sebagai hatter, ketika di sisi lainnya nepotisme menyuburkan mental 'asal bapak senang' dan penjilat.

Situasi ini membuat "alarm krisis" tak berbunyi manakala gejala bakal dihantam gelombang krisis sudah terasa jauh-jauh hari.

Sri Lanka pun tak bisa menjejak gejala salah kelola ekonomi dan disalokasi anggaran serta belanja negara yang mengandalkan utang untuk membangun sektor-sektor yang ternyata tak menguntungkan seperti pelabuhan internasional Hambantota yang akhirnya disewakan selama 99 tahun kepada China pada 2017.

Baca juga: Sri Lanka kembali naikkan harga bahan bakar di tengah kelangkaan pasokan

Selama 25-30 tahun terakhir, kata Harini Amarasuriya dari Partai Janatha Vimukthi Peramuna, keputusan ekonomi di Sri Lanka tak didasari analisis ekonomi, melainkan oleh kickback dan komisi.

Negeri yang dulunya berpendapatan per kapita di atas Indonesia dan memiliki sistem ekonomi tersehat di Asia Selatan pun jatuh dalam kubangan krisis.

Betul, keluarga Rajapaksa telah memandu Sri Lanka mengakhiri perang saudara dan membangkitkan negeri itu sampai dunia sempat menyanjung negeri ini sebagai contoh bagaimana perekonomian nasional seharusnya dikelola.

Namun, setelah rezim menjadi demikian lebih peduli kepada pujian dan berhasrat melibatkan sebanyak mungkin anggota keluarga dalam mengurus negara, sistem kekuasaan menjadi demikian korosif dan koruptif persis pepatah 'power tends to corrupt'.

Lain dari itu, nepotisme telah meniadakan proses checks and balances yang juga amat penting dalam mendorong negara tetap kritis dalam menaksir dampak situasi global terhadap sistem nasional, apalagi era ini dunia semakin terkait satu sama lain.

Dinamika global yang tak bisa dikendalikan sistem domestik ini sendiri membuat krisis di Sri Lanka menjadi semakin parah, karena nepotisme membuat negara buta dalam melihat dengan baik dinamika eksternal dan dampak-dampaknya.

Baca juga: Keluarga Rajapaksa ingin perkuat dominasi di Sri Lanka lewat pemilu