Denpasar (ANTARA) - Tari Bali terancam punah? Rasanya sulit diterima nalar, namun itulah yang sedang dicarikan upaya konservasinya agar tari tradisi Bali yang terancam punah bisa lestari. Sejumlah pakar dari kalangan akademisi dan pemerhati kesenian sedang mengupayakan hal itu.

Diskusi tersebut sebagai bagian dari kegiatan pelatihan atau pelatihan dan ekspresimentasi tari yang akan diselenggarakan di Bentara Budaya Bali (BB Bali) di Jalan By Pass Ida Bagus Mantra, Kabupaten Gianyar, Selasa (24/1).

Dr I Ketut Sumadi, penggagas kegiatan tersebut, dalam penjelasan yang disampaikan kepada ANTARA di Denpasar, Minggu menyebutkan, acara itu digelar sekaligus untuk memaknai sebelas tahun keberadaan Sanggar Lokananta.

Pelatihan dan diskusi itu direncanakan menghadirkan pakar-pakar tari mumpuni, seperti dari kalangan akademisi ISI Denpasar serta pemerhati kesenian, guna memperbincangkan posisi dan masa depan tari-tarian tradisi Bali.

"Selain membahas upaya-upaya konservasi terhadap tari tradisi, kami sekaligus juga ingin mendiskusikan pengembangannya dalam merespon perubahan zaman ini," ujarnya.

Ketut Sumadi yang adalah penulis buku kumpulan esai "Tuhan di Sarang Narkoba, Weda di Ruang Tamu" yang belum lama diluncurkan itu menambahkan, perlu dirancang program-program sebagai upaya rekonstruksi terhadap tarian-tarian Bali klasik yang dianggap nyaris punah.

BB Bali sangat mendukung program-program kebudayaan berupa workshop maupun diskusi sebagai sarana edukasi guna membuka ruang komunikasi publik sekaligus menjadi pusat kajian nilai-nilai kebudayaan serta kearifan lokal.

Menurut Juwitta Katrina, staf BB Bali, pembicara dalam kegiatan tersebut di antaranya I Kadek Suartaya, S.Sn, M.Si, dosen ISI Denpasar, kritikus seni tari, dan kandidat doktor kajian budaya Universitas Udayana.

Kemudian Dr Drs I Wayan Suarjaya, M.Si, dosen IHDN Denpasar, mantan Dirjen Bimas Hindu dan Budha Kementerian Agama RI, serta Dr Drs Ketut Sumadi, M.Par yang juga dosen IHDN Denpasar, pemerhati dan penggiat seni budaya Bali.

Kegiatan tersebut rencananya dilanjutkan dengan pementasan ekspresimentasi tari oleh penari anak-anak dari Sanggar Lokananta dengan mengangkat konsep koreografi "back to nature", yang sudah biasa dibawakan di berbagai tempat.

Sanggar yang berdiri tahun 2001 itu, kata Juwitta, dinilai telah menunjukkan dedikasinya dalam membekali generasi muda dengan nilai-nilai estetik dan etik tari Bali.

Diawali dengan Tari Pendet dan Tari Garuda Wisnu, pementasan tersebut mengusung pertunjukan utama yakni lakon Ramayana Ballet (Sendratari Ramayana).

Tari Garuda Wisnu menggambarkan perjalanan Dewa Wisnu mencari Tirta Amerta dibantu oleh seekor burung Garuda yang setia.

Tari yang ditampilkan pertama kali dalam Peksiminas 1997 di Bandung dan Pesta Kesenian Bali (PKB) XX 1998 di Denpasar itu diciptakan oleh I Nyoman Cerita pada tahun 1997.

Sementara itu, Sendratari Ramayana mengisahkan pengembaraan Rama, Sita dan Laksamana di tengah Hutan Dandaka, kemudian mendapat godaan kijang emas siluman Patih Marica.

Sita kemudian dilarikan oleh Rahwana, yang memicu perang antara Rahwana dengan Rama dibantu oleh sepasukan kera sakti. Sendratari ini diciptakan oleh I Wayan Beratha pada tahun 1965.

Menurut Wiwin dari Sanggar Lokananta, selain konsep menyatu dengan alam, pementasan kali ini bisa disebut sebagai pertunjukan kolosal, karena melibatkan banyak penari dan kesemuanya anak-anak.

"Untuk tari pendet saja, yang biasanya hanya menampilkan delapan orang, kami kali ini mementaskannya dengan melibatkan 40 penari," ujarnya. (*)