Jakarta (ANTARA News) - Hampir semua orang, terutama di Jakarta, mencermati kemungkinan banjir melanda daerah mereka, apalagi banjir tak lagi memilih tempat, bahkan benua kerontang seperti Australia dan benua empat musim seperti Eropa pun kini kerap dilanda banjir.




Di beberapa daerah Indonesia, banjir akibat hujan berintesitas tinggi, telah menelan korban.




Bulan ini kekhawatiran semakin berlebih, terutama karena pekan-pekan inilah intensitas hujan diprediksi bakal mencapai puncaknya.




Bahkan di Jakarta, seperti sering dikabarkan media massa, kian kerapnya hujan telah mempertebal keyakinan warga Jakarta akan "hipotesis" banjir besar lima tahunan seperti terjadi pada 2007.




Tapi tahukah Anda, hujan ternyata tidak selalu menjadi 'tersangka' terjadinya banjir.




Hujan justru bisa menjadi menjadi indikator pencemaran udara, termasuk dalam kaitannya dengan hujan asam.




"Hujan asam itu indikator pencemaran udara," kata Pakar Lingkungan Universitas Indonesia Mohammad Hasroel Thayib, yaitu pencemaran dari sulfur dioksida (SO2), karbon dioksida (CO2), nitrogen dioksida (NO2).




Udara yang telah tercemar lalu bereaksi dengan uap air sehingga hujan berkadar asam (pH) di bawah 5,6 yang adalah ambang batas yang digunakan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).




Lalu, berapakah tingkat keasaman air hujan di Jakarta?




Menurut hasil pemantauan BMKG pada Juli 2011, tingkat keasaman hujan di Jakarta berada pada angka 4,1.




Sementara Hasroel pernah melakukan uji sampel terhadap air hujan di Jakarta pada priode awal setelah musim panas. "Di daerah Salemba hasilnya 4,5, (sedangkan) di daerah lain di Jakarta bahkan ada yang 3,5. Rata-rata di Jakarta pH (air hujan) di bawah 5," katanya.




Menurut Hasroel, air hujan disebut asam jika pH-nya 6,5, bukan 5,6 seperti dipakai BMKG. "Tolak ukurnya beda karena ekosistem di Indonesia berbeda dengan negara-negara Barat yang jarang hujan," kata Hasroel.




Polusi Jakarta




Sebaliknya, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), dalam situs resminya menyebutkan, hujan asam terjadi akibat semburan gunung berapi dan proses biologis dalam tanah, rawa dan laut.




Tapi, hujan asam juga disebabkan aktivitas manusia seperti industri, pembangkit tenaga listrik dan kendaraan bermotor yang akan menghasilkan gas sulfurdioksida dan nitrogenoksida.




Ditinjau dari sumbernya, kendaraan bermotor adalah sumber pencemaran udara utama yang mengakibatkan keasaman hujan di Jakarta.




Asumsi ini masuk akal, karena dari mata telanjang saja, populasi kendaraan bermotor memang sudah begitu menyesaki kota.




Sebagai gambaran, di wilayah Jadetabeka (Jakarta Depok Tangerang Bekasi dan Karawang), meminjam data Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, total kendaraan bermotor pada 2011 sudah mencapai 13.347.802 unit. Ini melebihi total penduduk Jakarta yang menurut hasil sensus 2011 mencapai 9,6 juta jiwa.




Jika dirinci, mobil penumpang ada 2.541.351 unit (19 persen), mobil muatan beban 581.290 unit (4,4 persen), bus 363.710 unit (2,7 persen), sementara sepeda motor 9.861.451 unit atau 73,9 persen.




Setiap hari ribuan kendaraan ini mengeluarkan gas-gas beracun di udara yang bila dihirup manusia, niscaya menggangu kesehatan mereka.




Ahli Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Haryoto Kusnoputranto, mengatakan gas nitrogendioksida yang keluar dari kendaraan bermotor menyebabkan iritasi selaput lendir.




"Iritasi terhadap saluran pernafasan, selaput lendir mata, serta selaput lendir hidung," kata Haryoto.




Haryoto juga mengatakan polutan pada kendaraan bermotor bukan lagi timbal, tapi senyawa aromatik. "Senyawa aromatik itu bersifat karsinogenik yang menyebabkan kanker pada manusia.




Sadarkah warga Jakarta mengenai hal ini?




"Polusi udara di Jakarta memang luar biasa," kata Arya Kusumo (27), karyawan swasta di Jakarta.




Khawatirkah mereka pada kemungkinan hujan asam di kotanya?




Arya tampaknya tak khawatir karena hujan di Jakarta disebutnya masih normal. Namun Sekar Indrawati (27), pegawai di kawasan Kuningan Jakarta, berkata lain. Dia tahu hujan asam timbul akibat tingkat keasaman tinggi.




"Sepertinya begitu (hujan di Jakarta bersifat asam)," kata Sekar.




Bukan itu saja, Sekar juga tahu bagaimana hujan asam dihadapi, yaitu dengan penghijauan karena tanaman dapat menetralisir polusi udara.




Asap rokok




Banyak orang yang ditanyai ANTARA News ternyata tahu apa itu hujan asam, diantaranya Muhammad Iqbal (26) yang bekerja di perkantoran Jalan Thamrin, Jakarta.




Dia menilai hujan asam terutama disebabkan asap pabrik yang mengandung zat sulfur atau belerang. "Sepengetahuan saya, Jakarta selalu dikaitkan dengan polutan karbonoksida sedangkan sulfuroksida ada di daerah industri," kata Iqbal.




Iqbal yang pernah tinggal di Jepang ini membandingkan kualitas udara di Jakarta dengan Tokyo, "Berjalan kaki di Tokyo rasanya nikmat sekali karena mobil tidak sebanyak di Jakarta dan trotoarnya nyaman."




Lalu, masih bisakah Sekar, Arya, Iqbal dan warga Jakarta lain yang setiap hari menghirup udara tercemar, menghindar atau setidaknya mengurangi akibat polusi?




Haryoto mengatakan para pejalan dapat menggunakan masker yang agak dibasahkan untuk menghindari debu-debu dan partikel berukuran besar.




"Tapi partikel-partikel itu kan berukuran kecil, kurang dari 10 mikron sehingga masih dapat masuk ke saluran pernafasan," kata Haryoto.




Haryoto menawarkan cara berikutnya, yaitu mengurangi kontak waktu paparan dengan sumber polutan. Lalu, tidak merokok karena asap rokok dapat bersinergi dengan berbagai macam polutan yang kian memperburuk risiko bagi kesehatan.




Berbeda dari Haryoto, Hasroel menawarkan pendekatan lebih radikal.




Dia merekomendasikan dihentikannya penggunaan bahan bakar minyak bumi mengandung sulfurdikosida, nitrogendioksida, dan karbondioksida. Dia menyebutnya ini adalah solusi akhir mengatasi pencemaran udara.




Caranya, dengan membuat bahan bakar yang bersih. "Itu pernah dicontohkan orang Jepang ketika menjajah Indonesia, dengan membuat bensin dari lateks karet," kata Hasroel.




Semua itu memang ada biayanya, kata Hasroel.




Tidak Apa, setidaknya kesadaran dan pengetahuan tentang udara sehat sudah tertanam dalam pada banyak warga kota. Tinggal kemauan para perencana dan pelaksana kebijakan saja untuk membuat langkah-langkah besar dalam memmpertinggi kualitas udara dan lingkungan kotanya. (*)