Jakarta (ANTARA) - Mitsubishi Heavy Industries (MHI) menyatakan akan memulai studi kelayakan penggunaan bahan bakar amonia untuk pembangkit listrik di Indonesia. Studi itu mencakup pembentukan rantai nilai untuk produksi bahan bakar amonia, transportasi, konsumsi, dan penyimpanan karbon dioksida.

"Studi kelayakan akan dilakukan untuk pembangkit listrik berbasis amonia di PLTU Suralaya. Studi kelayakan juga akan dilakukan untuk pembangkit listrik yang menggunakan amonia dan hidrogen di pembangkit listrik tenaga gas alam yang sudah ada," demikian keterangan resmi Departemen Komunikasi Perusahaan Mitshubishi Heavy Industries yang dikutip di Jakarta, Jumat.

Sebanyak dua proposal untuk melakukan studi itu baru saja disetujui oleh Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang guna menemukan dan memanfaatkan teknologi dan keahlian perusahaan Jepang dalam memenuhi kebutuhan global terhadap infrastruktur serta kontribusi pada pembangunan sosial ekonomi global.

Studi kelayakan itu merupakan bagian dari upaya mendukung dekarbonisasi energi di Indonesia melalui inisiatif transisi energi Asia.

Kedua proposal akan mengkaji potensi pengurangan karbon dioksida yang dihasilkan dari pembangkit energi serta dampaknya. Potensi dampak global, dan tingginya utilitas serta inovasi dari studi kelayakan ini dilihat penting bagi kebijakan yang melibatkan Pemerintah Jepang.

Tujuan utama Proyek Suralaya adalah untuk menghitung efisiensi ekonomi dari proses yang diproyeksikan untuk mengangkut amonia yang diproduksi di Indonesia ke pembangkit listrik dan mengonsumsinya sebagai bahan bakar pembangkit listrik.

Proyek itu akan dilakukan bersama dengan Mitsubishi Corporation dan Nippon Koei yang diharapkan dapat mulai operasional sekitar tahun 2030.

Tujuan utama proyek pembangkit listrik tenaga gas alam yang telah berjalan adalah untuk menghitung efisiensi ekonomi pengangkutan amonia dan hidrogen yang diproduksi di Indonesia ke pembangkit listrik tenaga gas alam terdekat yang sudah ada sebagai bahan bakar untuk membangkitkan daya.

Proyek itu akan dilakukan bersama dengan Tokyo Electric Power Services (Tepsco) dengan operasi yang diharapkan dapat dimulai pada paruh kedua dekade ini.

Kedua proyek akan memeriksa efektivitas pengurangan karbon dioksida di seluruh rantai nilai dengan MHI berfokus terutama pada hasil pengenalan teknologi pembangkit listrik bertenaga amonia.

Selain itu, MHI berencana untuk melakukan studi kelayakan dengan dukungan kelembagaan, seperti dukungan keuangan dari pemerintah Jepang dan upaya dekarbonisasi serta penetapan harga karbon oleh Indonesia. Melalui pelaksanaan proyek-proyek tersebut, MHI berharap dapat berkontribusi pada perluasan ekspor infrastruktur energi dari Jepang.

Indonesia telah mengumumkan kebijakan untuk mendapatkan 23 persen pasokan listriknya dari energi terbarukan pada tahun 2025, dan 28 persen pada tahun 2035. MHI dan Mitsubishi Power akan melakukan upaya bersama sebagai grup, bekerja sama dengan grup perusahaan listrik milik negara di Indonesia dan Institut Teknologi Bandung (ITB) guna mendukung berbagai usaha yang dapat membantu negara mencapai target tersebut.

Melalui dorongan dari persetujuan studi kelayakan oleh Pemerintah Jepang, MHI dan Mitsubishi Power akan berkontribusi pada dekarbonisasi lebih lanjut di Indonesia, serta memberikan kesempatan agar kebijakan transisi nol energi bersih perusahaan dapat diterapkan secara global melalui berbagai proyek.

Baca juga: Mitsubishi Heavy Industries dan ITB dorong dekarbonisasi
Baca juga: Indonesia Power olah 600 ribu ton FABA dari PLTU Suralaya
Baca juga: PLN siap sambut lonjakan konsumsi listrik pasca pandemi