Makassar (ANTARA) - Pandemi COVID-19 yang mulai muncul sejak Maret 2020 berdampak pada semua daerah, sejumlah kebijakan dikeluarkan mulai dari tingkat nasional hingga daerah guna melindungi masyarakat agar tidak tertular virus corona yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China.

Pandemi COVID-19 yang menular dan mencapai kategori darurat di Indonesia, harus dibayar mahal dengan berjatuhannya ribuan hingga ratusan ribu korban. Tercatat sebanyak 156.594 orang telah meninggal dunia di Indonesia akibat virus corona hingga 2 Juni 2022.

Di Sulawesi Selatan sebagai gerbang utama wilayah timur Indonesia, sebanyak 2.474 orang juga meninggal akibat COVID-19, 108 orang di antaranya dari Kabupaten Luwu.

COVID-19 ini menjadi momok menakutkan dalam sejarah kehidupan manusia, apalagi menyerang tubuh dengan daya imun rendah, seperti pada kelompok lanjut usia (lansia) dengan berbagai penyakit penyerta (komorbid) yang dideritanya.

Kementerian Kesehatan bahkan telah merilis bahwa 60 persen lebih kematian pasien COVID-19 yang terjadi di Indonesia merupakan kelompok lansia.

Epidemiolog dari Universitas Hasanuddin Makassar Prof Ridwan Amiruddin menyebut sekitar 70 persen kematian banyak terjadi dari kalangan lansia di Sulawesi Selatan. Meski diakui pula bahwa kematian akibat COVID-19 menyebar di semua usia.

Dari 70 persen kematian lansia, ini didominasi dari mereka yang memiliki penyakit penyerta atau komorbid. Persentase kematian lansia komorbid tertinggi pada penyakit hipertensi dan DBD.

Hal ini terbukti pula dari data kematian di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Satuan Tugas (Satgas) COVID-19 Luwu mencatat sebanyak 108 orang telah meninggal karena COVID-19 dan 96 orang atau 88 persen di antaranya merupakan kelompok lansia berusia 60 tahun ke atas.

Angka kematian ini berbuah hikmah dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap protokol kesehatan dan kebutuhan vaksinasi COVID-19 di Kabupaten Luwu guna melawan COVID-19 yang juga merenggut nyawa sejumlah pejabat, termasuk Kepala Dinas Kesehatan Luwu.

Penularan COVID-19 diperparah dengan banyaknya profesi pelaut di Kabupaten Luwu, sehingga sempat dikenal dengan klaster kapurung yang ikut menyumbang tingginya angka COVID-19 di daerah ini.

Baca juga: Presiden apresiasi peran desa tangani pandemi dan dorong vaksinasi

Seorang pelaut yang mengundang kerabatnya makan kapurung di Kota Parepare, salah satunya ialah berasal dari Luwu. Setelah acara itu, ditemukan sejumlah warga positif COVID-19, kemudian dilakukan tracing dengan hasil yang semakin banyak terinfeksi virus corona.

Transparansi dalam mengungkap kondisi darurat pandemi COVID-19 di Luwu serta penularan virus yang kian meningkat dianggap menjadi senjata ampuh dalam mencegah pergerakan berisiko masyarakat terhadap penyebaran virus.

Pada awal gerakan vaksinasi dan belum diperuntukkan bagi kelompok lansia, telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat di daerahnya, mengingat banyaknya lansia yang meninggal karena virus corona.

Kabupaten Luwu bahkan pernah mencatat angka kematian sebanyak lima orang dalam sehari akibat COVID-19 yang semuanya adalah lansia. Selanjutnya, tidak sedikit lansia menuntut adanya kebijakan dalam menjamin kesehatan mereka menghadapi ganasnya penyebaran virus mematikan itu.

Alhasil, berdasarkan data cakupan vaksinasi Luwu hingga 6 Juni 2022, capaian vaksinasi pada kelompok lansia di dosis 1 telah melebihi target sasaran sebanyak 28.463 orang. Capaian vaksinasinya di angka 109,51 persen atau 31.169 orang lansia telah divaksin dosis 1.

Capaian vaksinasi ini termasuk di dalamnya warga dari daerah lain namun melakukan giat vaksinasi di Kabupaten Luwu.

Sementara pada vaksin dosis 2 kelompok lansia, capaian Kabupaten Luwu berada di angka 74,34 persen atau 21.158 orang lansia telah divaksin. Angka ini berbeda jauh dengan capaian vaksin booster yang baru disuntikkan kepada 7.530 orang lansia atau 26,46 persen dari total target.

Kapolres Luwu AKBP Fajar Dani selaku Ketua Satgas Penanganan COVID-19 Kabupaten Luwu menyebut pihaknya akan terus fokus pada capaian vaksinasi 2 untuk mengawal kesuksesan vaksinasi booster.

Masyarakat masih sangat antusias melengkapi vaksinasinya, maka dari itu metode door to door dianggap masih kembali akan digencarkan guna mempermudah akses vaksinasi di masyarakat.

Sertifikat vaksin

Upaya percepatan vaksinasi di setiap kabupaten/kota hingga mencatatkan cakupan vaksinasi yang tinggi, nyatanya diwarnai pula dengan adanya jual-beli sertifikat vaksin.

Ironinya, sertifikat vaksin palsu ini tidak hanya sama dengan sertifikat asli dalam hal fisik, namun juga terdaftar pada sistem Peduli Lindungi, sehingga penggunanya bisa memperoleh kemudahan dalam hal akses, hingga ikut membuka masker di tengah keramaian.

Berdasarkan hasil penelusuran, ditemukan sejumlah warga dari daerah Mamminasata (Makassar, Maros, Sungguminasa-Gowa, Takalar) telah membeli sertifikat vaksinasi kepada oknum yang tidak bertanggungjawab.

Harga sertifikat vaksin itu bervariasi, mulai dari Rp300 ribu hingga Rp750 ribu. Sertifikat palsu tersebut dibeli dengan berbagai alasan, seperti takut divaksin dan digunakan untuk perjalanan ke luar kota.

Sebelumnya, oknum yang melakukan jual beli sertifikat vaksin ini telah ditemukan pada salah satu puskesmas di Kota Makassar. Akibatnya, tenaga kesehatan yang bersangkutan dipecat dan dihukum pidana.

Epidemiolog asal Universitas Hasanuddin Prof Ridwan Amiruddin memastikan dari kacamata epideomologi kesehatan, sertifikat ilegal ini sangat berdampak dan rawan terhadap penyebaran COVID-19 di masyarakat.

Pengguna sertifikat palsu itu termasuk kelompok rentan, bukan hanya mudah terpapar COVID-19, tetapi juga penyakit menular pernafasan lainnya.

Baca juga: Pemerintah tidak akan buru-buru menyatakan masuk ke fase endemi

Kemudian setelah terpapar, dia akan mudah menularkannya ke orang lain. Berlindung dari sertifikat ilegal yang dia miliki, sehingga berpura-pura memiliki imun tapi faktanya tidak seperti itu. Tidak ada protokol kesehatan seperti masker, sehingga bisa menjadi sumber penularan dan juga rentang tertular.

Pengguna sertifikat palsu ini disebut negatif semu atau negatif palsu, yakni seseorang yang dianggap tidak sakit tetapi dalam tubuhnya bisa saja sakit karena tidak adanya perlindungan (vaksin).

Jual-beli vaksin itu dipastikan oleh Konsultan COVID-19 Sulsel ini, bahwa akan berdampak terhadap imunitas kekebalan kelompok yang semu, karena misalnya masyarakat dianggap 70 persen sudah divaksin tetapi fakta di lapangan hanya 50 persen yang telah divaksin. Ini terjadi karena adanya distribusi sertifikat vaksin ilegal.

Pemerintah otomatis menganggap imunitas tinggi karena menghitung jumlah sertifikat vaksin dari aktifitas vaksinasi, namun ternyata di antara mereka banyak yang tidak riil.

Aktifitas jual-beli sertifikat vaksin ini dimungkinkan bisa terjadi di hampir semua kelompok umur, termasuk pada lansia yang tidak mau divaksin atau anak dari lansia menganggap orang tuanya tidak perlu divaksin.

Apalagi bagi lansia pelaku perjalanan atau kelompok resiko yang mau melakukan perjalanan tapi tidak mau divaksin. Mereka akan mencari berbagai cara untuk mendapatkan sertifikat.

Pemerintah telah melonggarkan perjalanan, maka dengan melakukan vaksinasi booster, maka masyarakat tidak perlu lagi melakukan tes PCR. Namun, pada situasi tertentu, ada orang yang takut divaksin atau adanya komorbid sehingga tidak mau divaksin. Ketidakmauannya mendapatkan testing, bisa meningkatkan angka negatif palsu.

Munculnya sertifikat palsu atau ilegal karena adanya permintaan dan penyedia. Maka mestinya pemerintah memiliki sistem yang bisa mendeteksi sertifikat ilegal.

Operator atau pencatatan vaksinasi yang dikoordinir oleh petugas kesehatan merupakan tindakan tak bermoral. Petugas kesehatan itu tidak bertanggung jawab terhadap tugas-tugasnya sehingga harus ditindak.

Seharusnya ada sistem verifikasi berlapis yang bisa digunakan, sebab input data vaksinasi dilakukan oleh petugas kesehatan sehingga mereka juga perlu skrining oleh supervisor pada tingkat layanan yang harus ditegakkan.

Guna memastikan vaksinasi ilegal itu tidak terus terjadi, maka mekanisme kontrol harus tetap ditegakkan. Utamanya pada proses perjalanan lewat transportasi udara dengan validasi mendapatkan vaksin. Sebab sistem yang ada, idealnya mampu mendeteksi sertifikat yang digunakan itu asli atau palsu.

Untuk mengatasi kemungkinan adanya oknum yang melakukan jual-beli vaksin, Satgas COVID-19 bersama Pemda Luwu mengutamakan edukasi dan sosialisasi ke masyarakat termasuk kepada tim vaksinator terkait vaksinasi.

Pemda Luwu mengantisipasi jual beli vaksin dengan membuka akses pengaduan kepada masyarakat jika ditemukan adanya jual beli sertifikat vaksin, meski diakui belum pernah menerima laporan terkait hal tersebut.

Koordinasi secara masif bersama satgas kabupaten dan para kepala puskesmas serta tim vaksinator rutin dilakukan.

Langkah tersebut diharapkan mampu mengatasi masalah sertifikat vaksin palsu di kemudian hari.

Di sisi lain, Satgas Penanganan COVID-19 juga harus terus memberikan pemahaman dan sosialisasi kepada masyarakat agar persoalan yang "mengganggu" kesuksesan capaian vaksinasi dapat diatasi.

Baca juga: Menkes: Kesadaran masyarakat terapkan prokes ciri penyakit jadi endemi Baca juga: Menkes: Transisi pandemi menuju endemi harus penuhi tiga syarat