Jakarta (ANTARA) - PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia memprediksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Juni 2022 akan terkonsolidasi di kisaran level 6.765-7.280.

Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Martha Christina pun menyarankan investor melakukan perdagangan saham atau trading dengan selektif pada bulan ini karena rencana kenaikan suku bunga The Fed berpotensi menimbulkan gejolak di bursa saham global, yang bisa berimbas ke domestik.

Di sisi lain, musim dividen dan laporan keuangan sudah terjadwal sehingga momentum setelah kedua periode musiman itu diprediksi akan membuat IHSG melemah begitu terealisasi atau (sell on news).

"Faktor negatif tersebut akan diimbangi oleh dukungan dari positifnya kinerja emiten serta pembagian dividen dan kondisi makroekonomi domestik, sehingga IHSG diprediksi akan terkonsolidasi dengan prediksi berdasarkan analisis teknikal pada support-resistance 6.765-7.280," ujar Martha saat diskusi dengan awak media di Jakarta, Kamis.

Untuk pilihan saham, Martha menyarankan nasabah memilih sektor keuangan, energi, dan industri seperti bank-bank empat besar (BBRI, BBCA, BMRI, BBNI), energi (ADRO, ITMG, PTBA, ADMR, INDY, PGAS), sektor industri (ASII, UNTR), serta saham pilihan lain, salah satunya TINS.

Sementara itu, Senior Investment Information Mirae Asset Sekuritas Indonesia Nafan Aji Gusta menambahkan bahwa suku bunga acuan AS atau Fed Fund Rate yang kemungkinan akan dinaikkan bulan ini, juga menjadi faktor yang dapat menekan IHSG.

"Besar kemungkinan Fed Fund Rate akan dinaikkan menjadi 1,25 persen - 1,5 persen pada rapat Komite Pasar Terbuka Federal atau FOMC pada 15 Juni dari saat ini 0,75 persen - 1 persen," ujar Nafan.

Terkait dengan IHSG tahun ini, Mirae Asset Sekuritas masih positif terhadap IHSG dan memprediksi indeks saham utama itu masih dapat ditutup di atas level psikologis 7.600 tahun ini.

Nafan menyampaikan, eskalasi tensi geopolitik dan invasi Rusia ke Ukraina merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada tahun ini, lebih rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya.

Di sisi lain, adapun faktor kenaikan inflasi yang lebih tinggi dan lebih persisten, baik di kelompok negara maju maupun negara berkembang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi global.

Sementara itu, kenaikan harga komoditas dan potensi memburuknya disrupsi rantai pasok global akibat perang di Ukraina, turut berkontribusi terhadap kenaikan laju inflasi tersebut.