Jakarta (ANTARA) - Indonesia saat ini berada dalam proses persiapan penerapan instrumen Nilai Ekonomi Karbon (NEK) yang memberi harga pada emisi karbon yang dihasilkan dari berbagai kegiatan produksi maupun jasa, sekaligus terkait dengan komitmen reformasi subsidi energi.

"Penerapan instrumen NEK di satu sisi diharapkan dapat mendorong industri lebih sadar lingkungan dan membatasi emisi gas rumah kaca hingga batas tertentu," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam rilis webinar bertema "Increasing Fiscal Space in Times of Economic Uncertainty: The G20 Energy Communique and Leaders Declaration" yang diterima di Jakarta, Rabu.

Airlangga menambahkan, di sisi lain, instrumen NEK berperan sebagai instrumen pendanaan alternatif untuk mencapai target perubahan iklim Indonesia, hal itu baik Nationally Determined Contribution atau NDC 2030 maupun Net Zero 2060.

Untuk mendukung implementasi NEK, ujar dia, pemerintah menerapkan UU No. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan Perpres No. 98 tahun 2021.

Disebutkan, Perpres ini menjadi dasar penerapan berbagai instrumen NEK seperti Emission Trading System atau perdagangan emisi, Offset crediting atau kredit karbon, dan Pembayaran Berbasis Kinerja atau Result Based Payment. Sementara di level teknis, pemerintah tengah menyelesaikan peraturan turunan Perpres tersebut.

"Pada 2021, pemerintah merintis skema voluntary cap and trade, dan offset crediting, yang melibatkan beberapa produsen listrik baik milik pemerintah maupun swasta. Secara pararel pemerintah bekerjasama dengan beberapa lembaga internasional dalam melakukan penjajakan dan kajian pengembangan kebijakan-kebijakan dan skema perdagangan karbon melalui Internationally Traded Mitigation Outcomes (ITMOs)," ujarnya.

Ke depan, yaitu pada Juli 2022, Indonesia berencana menerapkan skema cap-trade-tax dan offset untuk Pembangkit Listrik berbahan bakar batubara. Melalui skema ini, pembangkit listrik berbahan bakar batubara dengan proses yang tidak efisien atau emisi yang lebih tinggi dari batas atas akan dikenakan biaya tambahan.

Sementara itu, Kepala Biro Perencanaan Kementerian ESDM, Chrisnawan Anditya mengatakan, pemerintah telah berkomitmen melakukan reformasi subsidi energi agar tepat sasaran.

"Kita harus memperhatikan masyarakat agar mendapat akses energi dengan harga terjangkau. Itu menjadi perhatian dalam energi transisi," kata Chrisnawan dalam webinar tersebut.

Menurut Chrisnawan, reformasi subsidi sudah dilakukan, di antaranya sektor listrik. Diharapkan, kebijakan subsidi ini lebih terarah dari komoditi ke subsidi langsung ke masyarakat. "Dilakukan dengan tetap memperhatikan ketersediaan anggaran negara untuk transisi energi," ujarnya.

Sebagaimana diwartakan, Kantor Staf Presiden (KSP) menyatakan kepastian perubahan skema subsidi energi akan disesuaikan dengan kondisi perekonomian terkini, serta kesiapan dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

Tenaga Ahli Utama KSP Edy Priyono dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (25/5), mengatakan pemerintah sedang mempertimbangkan untuk melakukan transformasi skema subsidi dari subsidi terhadap barang atau terbuka, menjadi subsidi terhadap orang atau sistem tertutup.

“Agar lebih tetap sasaran, hanya mereka yang miskin atau rentan miskin yang menikmati,” kata Edy.

Menurut Edy, dengan skema subsidi terbuka seperti saat ini, terdapat kekhawatiran volume pemberian subsidi menjadi tidak terbatas. Hal itu karena masyarakat yang seharusnya tidak termasuk kategori penerima subsidi, justru ikut menikmati subsidi tersebut.

Dalam transformasi skema subsidi energi, kata Edy, pemerintah akan menjaring masyarakat yang berhak mendapat subsidi agar fluktuasi harga komoditas energi tidak mengganggu daya beli masyarakat.

Baca juga: Pajak karbon diharapkan dorong penerapan energi terbarukan

Baca juga: Kementerian ESDM susun aturan nilai ekonomi karbon pembangkit listrik