Jakarta (ANTARA) - Dokter gigi spesialis prostodonsia drg. Andy Wirahadikusumah, Sp. Pros berpesan kepada masyarakat agar tidak menunda perawatan atau pengobatan gigi demi mencegah kondisi yang semakin parah dan membuat proses pengobatan menjadi lebih kompleks bahkan berbiaya mahal.

“Kalau sudah sakit giginya itu biasanya masalahnya sudah cukup kronis. Jadi, untuk pengobatannya atau perawatannya juga jadi lebih kompleks,” kata dokter yang tergabung dalam Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) dan Ikatan Prostodonsia Indonesia (IPROSI) itu saat media gathering di Jakarta, Senin.

Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 oleh Kemenkes, sebanyak 94,9 persen masyarakat perkotaan tidak pernah ke dokter gigi dalam setahun terakhir.

Masih menurut Riskesdas, dari 57 persen masyarakat yang mengalami permasalahan gigi dan mulut, hanya 10,2 persen yang berkunjung ke dokter gigi.

Padahal, kata Andy, langkah pencegahan masalah gigi dan mulut yang sederhana bisa dilakukan sejak awal. Pencegahan tersebut antara lain menyikat gigi secara rutin dua kali sehari dengan cara yang baik dan benar, serta ditambah dengan kontrol rutin atau dental check up setiap enam bulan sekali walaupun tidak ada keluhan.

“Minimal (rutin datang ke dokter gigi) untuk dilakukan pembersihan karang gigi. Itu sebetulnya sudah suatu langkah pencegahan yang sangat baik,” katanya.

Menurut pengalaman Andy, setidaknya terdapat dua tipe pasien, yaitu pasien yang memang rajin berkunjung ke dokter gigi walau tidak mengalami masalah pada kesehatan gigi dan mulut serta pasien yang datang ke dokter gigi dalam keadaan sudah sakit.

Andy mengatakan tipe pasien pertama biasanya lebih memiliki kesadaran (aware) terhadap kesehatan gigi dan mulut sehingga ia juga menekankan pentingnya agar masyarakat dapat menjadi tipe pasien pertama itu.

Ia mengatakan masih banyak masyarakat yang merasa lebih baik datang ke dokter gigi ketika sudah sakit karena beranggapan dapat mengeluarkan biaya yang murah daripada harus rutin kontrol. Justru sebaliknya, kata Andy, biaya untuk pengobatan dan perawatan menjadi lebih mahal jika pasien sudah mengalami permasalahan gigi dan mulut.

“Justru nanti kalau datangnya sudah sakit gigi, maka biayanya lebih tinggi, perawatannya lebih kompleks, kunjungannya lebih banyak, dan ada kemungkinan nanti giginya yang sakit ini–karena kerusakan sudah cukup berat–harus dilakukan pencabutan,” kata Andy.

Ketika gigi telah tanggal, Andy mengatakan masalah bukan berarti sudah selesai. Menurutnya, jika gigi tidak direstorasi maka kemungkinan dapat timbul masalah-masalah lain di kemudian hari.

Jika dilakukan pencabutan, gigi memang dapat diganti dengan gigi palsu dengan bentuk semirip mungkin. Namun Andy menekankan bahwa gigi palsu, sebagus apapun itu, tidak dapat menggantikan fungsi gigi asli.

“Paling 60 sampai 70 persen fungsinya bisa semirip gigi asli. Kalau bentuk mungkin iya, tapi secara fungsi nggak bisa persis 100 persen seperti gigi asli, kan sarafnya nggak bisa kita rekonstruksi,” ujarnya.

Penambalan gigi juga bukan sebuah solusi yang bisa dianggap enteng. Jika kerusakan gigi sudah cukup berat, perawatan tidak berhenti pada penambalan saja. Salah satu contoh perawatan lanjutannya, kata Andy, yaitu perawatan saluran akar gigi untuk membersihkan bagian saluran akar sampai benar-benar bersih dan steril.

“Kalau memang sudah tidak bisa dilakukan lagi perawatan itu, berarti jalan terakhir harus dicabut harus direlakan giginya. Mau nggak mau karena misalkan dipertahankan mungkin akan terjadi komplikasi yang lebih parah lagi, jadi mau nggak mau harus dilakukan pencabutan,” katanya.

Baca juga: Alasan Tri Putra konsisten edukasi kesehatan gigi lewat media sosial

Baca juga: Menyikat gigi sebaiknya dilakukan 30 menit setelah makan

Baca juga: Pilih siwak atau sikat gigi dan odol?