Jakarta (ANTARA) - Harga lithium, logam langka yang digunakan dalam pembuatan baterai isi ulang, telah melonjak lima kali lipat sejak April tahun lalu karena naiknya permintaan dari produsen mobil, menurut laporan baru-baru ini oleh perusahaan riset Inggris Argus Media.

Dikutip dari Kyodo News, Minggu, perusahaan riset itu mengatakan lonjakan harga juga terjadi pada jenis logam lain seperti kobalt dan nikel yang digunakan untuk baterai, menyumbang sekitar 30 hingga 40 persen dari harga keseluruhan mobil listrik (EV).

Lonjakan permintaan, bersama dengan invasi Rusia ke Ukraina yang telah mengganggu rantai pasokan lithium, pada gilirannya memungkinkan kenaikan harga EV yang membuat mobil menjadi semakin tidak terjangkau bagi konsumen dan berpotensi memperlambat peralihan dari mobil berbahan bakar fosil.

Menurut Argus, harga lithium, yang sering diperdagangkan dalam yuan China, telah naik dari sekitar 89.000 yuan (Rp192,8 juta) per ton pada April tahun lalu menjadi 486.000 yuan (Rp1,05 miliar) per ton. Harga kobalt meningkat 1,8 kali dan nikel naik 1,5 kali pada periode yang sama.

Baca juga: Suzuki manfaatkan bangkai baterai lithium-ion menjadi lampu jalan

Laju kenaikan harga nikel dipercepat setelah Rusia, produsen utama logam itu, menyerbu Ukraina, meningkatkan kekhawatiran pasokan.

Di Amerika Serikat, Tesla menaikkan harga di seluruh jajaran produknya pada awal tahun untuk membebankan biaya bahan baku yang lebih tinggi kepada pelanggan.

Para produsen mobil mempercepat langkah menuju elektrifikasi sebagai respon atas upaya global untuk mengurangi emisi karbon. Toyota Motor pada Desember lalu mengatakan pihaknya memiliki target untuk menjual 3,5 juta EV di seluruh dunia pada tahun 2030.

Honda Motor menargetkan penjualan tahunan 2 juta EV pada tahun 2030, sementara Nissan Motor menargetkan EV mencapai 50 persen dari keseluruhan penjualan pada tahun yang sama.

Produsen mobil Jerman Volkswagen AG, sementara itu, mengatakan akan membangun beberapa pabrik pembuatan baterai di Eropa.

Analis senior di SMBC Nikko Securities Toshihide Kinoshita memandang harga EV perlu dinaikkan sekitar 30 persen apabila harga logam langka dan bahan mentah lainnya yang digunakan dalam produksi EV terus naik.

“Itu bisa menjadi faktor yang memperlambat popularitas EV,” katanya.

EV tidak mengeluarkan karbon dioksida saat dikendarai sehingga menarik bagi konsumen yang sadar lingkungan. Namun, EV lebih mahal daripada kendaraan hibrida dan hanya dapat menempuh jarak yang relatif pendek dengan sekali pengisian daya. Para produsen mobil juga sangat bergantung pada subsidi pemerintah untuk mempromosikan penjualan EV.

Baca juga: Teknologi Suzuki Smart Hybrid gunakan dua komponen baru

Baca juga: Mobil listrik bukan satu-satunya cara untuk penuhi target emisi CO2

Baca juga: GM siapkan Buick Electra-X sebagai pesaing Tesla