Saat anak muda kenali Nusantara
Oleh Ade P Marboen
9 Januari 2012 21:57 WIB
Seorang anak perempuan memperhatikan sebuah lukisan berjudul "Masa Remaja", karya Indra Syafrin pada acara pembukaan Pameran Lukisan 4 Pelukis Alumni IKJ, bertajuk "Perenungan untuk Indonesia, di Galeri Cipta 3, TIM, Jakarta, Selasa (21/6)malam. Pameran yang diikuti juga oleh pelukis Iwan Aswan, Syahnagra Ismail dan Semut Prasidha ini akan berlangsung hingga 30 Juni 2011. (FOTO ANTARA/Dodo Karundeng)
Jakarta (ANTARA News) - Kesenian tradisional di tempat aslinya hidup dan dikembangkan satu masyarakat. Beberapa mahasiswa Institut Kesenian Jakarta, baru-baru ini ditugasi dosennya melakukan ekskursi (kunjungan kesenian) bertema Go To Tropicart, ke Pulau Lombok dan sekitarnya di NTB.
Pemilihan Pulau Lombok itu sendiri, menurut Michellin Y Hutagalung, mahasiswi salah satu peserta ekskursi di sana, mempelajari langsung kebudayaan asli setempat dan memberikan pengetahuan baru mengenai berbagai kesenian asli yang ada di sana.
Michellin dan kawan-kawannya merupakan mahasiswa berprestasi IKJ yang menerima beasiswa khusus dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Program beasiswa itu bertajuk Beasiswa Unggulan yang ditangani Biro Perencanaan dan Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Hampir seluruh pusat kesenian Lombok dan desa pengrajin kami didatangi. Kami lihat dari dekat hasil kerajinan dan kesenian Lombok dihasilkan, yaitu mutiara, gerabah, kain tenun, kain songket Lombok, dan masih banyak lagi," katanya yang satu kelompok dengan Ragil, dan Risang.
Desa Sekarbela di Lombok jadi tujuan pertama, yang terletak sekitar dua kilometer sebelah selatan Kota Mataram. Desa ini merupakan pusat dari kerajinan perak dan emas di Lombok dan juga sejak lama pusat jual beli mutiara. Serupa dengan itu adalah Desa Labuapi, tempat berlokasi 42 sentra industri.
"Di pinggir-pinggir jalan utama daerah ini terdapat begitu banyak toko-toko perhiasan," katanya. Sebagai mahasiswa IKJ, katanya, kajian seni dan berkesenian jadi catatan khusus di sana. Interaksi langsung dengan pengrajin memperkaya pemahaman budaya pada produk ini.
Setelah itu mereka pindah ke Museum Negeri NTB yang dirintis pembangunannya sejak 1976 dan selesai pada 1981. Catatan di sana menyatakan, sampai 2006 museum ini memiliki koleksi sebanyak 7.387, berupa koleksi geologi, biologi, etnografi, arkeologi, sejarah, numismatik, heraldik, filologi, dan keramik.
Lombok di NTB digadang-gadang menjadi alternatif kalau bukan jadi tujuan utama pariwisata Nusa Tenggara dan Bali. "Selama ekskursi, kami menginap di salah satu hotel di Pantai Senggigi," katanya. Pantai Senggigi ini panjangnya mencapai 30 km. Terletak di sebelah utara Kota Ampenan, ibukota lama NTB.
Karena lokasinya yang dekat dengan pelabuhan udara dan pelabuhan laut, Senggigi menjadi kawasan wisata sejak dulu dan dalam polesan industri pariwisata, menjadi tempat ideal bagi hotel-hotel berbintang, restoran, dan tempat-tempat hiburan lain yang menarik. Bisa disandingkan keindahan Pantai Senggigi sebagai gabungan antara Pantai Kuta dan Pantai Sanur di Bali, yang kaya akan imaji mentahi tenggelam.
Menurut Michellin, Desa Banyumelek di Kecamatan Kediri, Kabupaten Lombok Barat, masuk dalam daftar kunjungan. Jika tempat-tempat pertama berbasis wisata dan budaya maritim, maka Desa Banyumulek adalah desa pengrajin gerabah Lombok. Pengrajinnya kebanyakan perempuan setempat, yang memproduksi kerajinan gerabah dari bahan dan cara sangat sederhana.
Salah satu keunikan mereka, membolehkan pengunjung menyaksikan langsung seluruh proses itu dari dekat. Mulai dari pembentukan tanah liat, memutar dalam meja putar khusus, sampai membakarnya di tungku-tungku. Sangat menarik, terutama dari kajian seni rupa dan seni kriya.
Kunjungan selanjutnya adalah ke Desa Nyiurbaya yang kondang sebagai pusat kerajinan anyaman asli Lombok, ketak. Yang cukup ironis dari ketak ini adalah, sangat dikenal di luar negeri namun asing di negerinya sendiri. Ada yang tahu anyaman tradisional bernama ketak?
Kerajinan ketak ini terkenal karena daya tahannya dan kemampuannya dibentuk sesuai dengan pesanan penikmatnya. Semakin lama disimpan, ketak akan memberikan warna yang lebih eksotis sekaligus ramah lingkungan.
Proses penyelesaian akhir, baik pewarnaan, maupun pengawetannya tidak mempergunakan bahan sintesis melainkan benar-benar dari bahan organik.
"Inilah yang jadi kekuatan utama ketak, mungkin," katanya, menyinggung dugaannya tentang kecintaan masyarakat internasional pada ketak.
Pada kunjungan pertama di hari ketiga, mereka mengunjungi Desa Sukarara, pusat pengrajin kain tenun dan songket Lombok. "Banyak sekali tampak gadis-gadis muda bermain dengan benang serta peralatan tenun dari kayu membentuk gambar pola bulan, bunga, dedaunan, naga dan lain-lain," katanya.
"Tradisi setempat menganggap penting kemampuan menenun bagi seorang wanita seperti halnya kemampuan untuk memasak. Di Desa Sukarara kita juga diajarkan langsung oleh wanita-wanita pengrajin tenun untuk mencoba menenun," katanya.
Juga mereka mendatangi Desa Sade di mana Suku Sasak bermukim yang tetap melestarikan nilai-nilai budaya hingga kini. Karena Desa Sade berada di kaki-kaki bukit, rumah warga memutar seturut topografinya. Masyarakatnya Desa Sade hidup dari produksi pertanian dan peternakan. Untuk menghormati tamu-tamunya, warga desa itu menabuh gendang beliq dan tari Perisean.
Gendang beliq (gendang besar dan memang besar sekali) terdiri dari dua penabuh gendang, empat atau enam orang penari oceh/oncer dan seorang penari petuk (membawa alat musik petuk yang dimainkan mengikuti irama musik). Selain itu masih banyak lagi alat musik yang digunakan dalam penyajian Gendang Beleq ini seperti suling, gong, terumpang, kenceng, oncer, pencek.
Tari Perisean bisa juga dianggap sebagai olahraga tradisional yang melibatkan alat pemukul cemeti (penjalin) yang biasanya terbuat dari rotan sedangkan alat penangkis disebut ende terbuat dari kulit sapi.
Para pemain disebut pepadu sedangkan sistem pertandingan dipimpin wasit yang disebut pekembar dan disamping Pekembar dikenal juga tukang adu disebut pengadok. Dalam Perisean, pertandingan akan langsung dihentikan jika salah satu pepadu yang pada saat bertanding mengeluarkan darah (bocor) akibat pukulan musuh.
Pepadu yang menang maupun kalah tetap diberi hadiah, peris. Dalam Perisean juga dikenal sportivitas tinggi, kalah maupun menang tetap saudara artinya tidak dilanjutkan dendam di luar arena.
Perisean biasanya diiringi musik gendang (gending) Perisean, alat-alat musiknya terdiri atas dua buah Gendang, satu buah petuk, satu set rencek, satu gong dan satu suling sebagai penghalus. "Kita juga diberi kesempatan untuk mencoba bertanding dengan dibimbing para pemain Perisian dari Suku Sasak ini," katanya.
Legenda suku Sasak mengisahkan putri cantik bernama Mandalika yang mengakhiri kisah hidupnya secara tragis di tempat ini. Mandalika ingin tetap bisa mencintai semua rakyatnya namun desakan dari sejumlah pangeran yang ingin menyunting membuat dia menceburkan diri ke laut di Pantai Kuta Seger.
"Konon, rambut-rambutnya berubah menjadi cacing laut yang dalam bahasa setempat disebut nyale," kata Michellin.
Pergi ke Lombok tanpa mampir ke Gili Meno, Gili Air, dan Gili Trawangan, bisa dikatakan hambar rasanya. Dengan panjang tiga kilometer dan lebar dua kilometer, Gili Trawangan berpopulasi sekitar 800 jiwa. Di ketiga gili (pulau) ini, tidak satupun kendaraan bermotor bisa hadir, semua transportasi dilakukan oleh cidomo (dokar berkuda) atau sepeda atau berjalan kaki saja. (ANT)
Pemilihan Pulau Lombok itu sendiri, menurut Michellin Y Hutagalung, mahasiswi salah satu peserta ekskursi di sana, mempelajari langsung kebudayaan asli setempat dan memberikan pengetahuan baru mengenai berbagai kesenian asli yang ada di sana.
Michellin dan kawan-kawannya merupakan mahasiswa berprestasi IKJ yang menerima beasiswa khusus dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Program beasiswa itu bertajuk Beasiswa Unggulan yang ditangani Biro Perencanaan dan Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
"Hampir seluruh pusat kesenian Lombok dan desa pengrajin kami didatangi. Kami lihat dari dekat hasil kerajinan dan kesenian Lombok dihasilkan, yaitu mutiara, gerabah, kain tenun, kain songket Lombok, dan masih banyak lagi," katanya yang satu kelompok dengan Ragil, dan Risang.
Desa Sekarbela di Lombok jadi tujuan pertama, yang terletak sekitar dua kilometer sebelah selatan Kota Mataram. Desa ini merupakan pusat dari kerajinan perak dan emas di Lombok dan juga sejak lama pusat jual beli mutiara. Serupa dengan itu adalah Desa Labuapi, tempat berlokasi 42 sentra industri.
"Di pinggir-pinggir jalan utama daerah ini terdapat begitu banyak toko-toko perhiasan," katanya. Sebagai mahasiswa IKJ, katanya, kajian seni dan berkesenian jadi catatan khusus di sana. Interaksi langsung dengan pengrajin memperkaya pemahaman budaya pada produk ini.
Setelah itu mereka pindah ke Museum Negeri NTB yang dirintis pembangunannya sejak 1976 dan selesai pada 1981. Catatan di sana menyatakan, sampai 2006 museum ini memiliki koleksi sebanyak 7.387, berupa koleksi geologi, biologi, etnografi, arkeologi, sejarah, numismatik, heraldik, filologi, dan keramik.
Lombok di NTB digadang-gadang menjadi alternatif kalau bukan jadi tujuan utama pariwisata Nusa Tenggara dan Bali. "Selama ekskursi, kami menginap di salah satu hotel di Pantai Senggigi," katanya. Pantai Senggigi ini panjangnya mencapai 30 km. Terletak di sebelah utara Kota Ampenan, ibukota lama NTB.
Karena lokasinya yang dekat dengan pelabuhan udara dan pelabuhan laut, Senggigi menjadi kawasan wisata sejak dulu dan dalam polesan industri pariwisata, menjadi tempat ideal bagi hotel-hotel berbintang, restoran, dan tempat-tempat hiburan lain yang menarik. Bisa disandingkan keindahan Pantai Senggigi sebagai gabungan antara Pantai Kuta dan Pantai Sanur di Bali, yang kaya akan imaji mentahi tenggelam.
Menurut Michellin, Desa Banyumelek di Kecamatan Kediri, Kabupaten Lombok Barat, masuk dalam daftar kunjungan. Jika tempat-tempat pertama berbasis wisata dan budaya maritim, maka Desa Banyumulek adalah desa pengrajin gerabah Lombok. Pengrajinnya kebanyakan perempuan setempat, yang memproduksi kerajinan gerabah dari bahan dan cara sangat sederhana.
Salah satu keunikan mereka, membolehkan pengunjung menyaksikan langsung seluruh proses itu dari dekat. Mulai dari pembentukan tanah liat, memutar dalam meja putar khusus, sampai membakarnya di tungku-tungku. Sangat menarik, terutama dari kajian seni rupa dan seni kriya.
Kunjungan selanjutnya adalah ke Desa Nyiurbaya yang kondang sebagai pusat kerajinan anyaman asli Lombok, ketak. Yang cukup ironis dari ketak ini adalah, sangat dikenal di luar negeri namun asing di negerinya sendiri. Ada yang tahu anyaman tradisional bernama ketak?
Kerajinan ketak ini terkenal karena daya tahannya dan kemampuannya dibentuk sesuai dengan pesanan penikmatnya. Semakin lama disimpan, ketak akan memberikan warna yang lebih eksotis sekaligus ramah lingkungan.
Proses penyelesaian akhir, baik pewarnaan, maupun pengawetannya tidak mempergunakan bahan sintesis melainkan benar-benar dari bahan organik.
"Inilah yang jadi kekuatan utama ketak, mungkin," katanya, menyinggung dugaannya tentang kecintaan masyarakat internasional pada ketak.
Pada kunjungan pertama di hari ketiga, mereka mengunjungi Desa Sukarara, pusat pengrajin kain tenun dan songket Lombok. "Banyak sekali tampak gadis-gadis muda bermain dengan benang serta peralatan tenun dari kayu membentuk gambar pola bulan, bunga, dedaunan, naga dan lain-lain," katanya.
"Tradisi setempat menganggap penting kemampuan menenun bagi seorang wanita seperti halnya kemampuan untuk memasak. Di Desa Sukarara kita juga diajarkan langsung oleh wanita-wanita pengrajin tenun untuk mencoba menenun," katanya.
Juga mereka mendatangi Desa Sade di mana Suku Sasak bermukim yang tetap melestarikan nilai-nilai budaya hingga kini. Karena Desa Sade berada di kaki-kaki bukit, rumah warga memutar seturut topografinya. Masyarakatnya Desa Sade hidup dari produksi pertanian dan peternakan. Untuk menghormati tamu-tamunya, warga desa itu menabuh gendang beliq dan tari Perisean.
Gendang beliq (gendang besar dan memang besar sekali) terdiri dari dua penabuh gendang, empat atau enam orang penari oceh/oncer dan seorang penari petuk (membawa alat musik petuk yang dimainkan mengikuti irama musik). Selain itu masih banyak lagi alat musik yang digunakan dalam penyajian Gendang Beleq ini seperti suling, gong, terumpang, kenceng, oncer, pencek.
Tari Perisean bisa juga dianggap sebagai olahraga tradisional yang melibatkan alat pemukul cemeti (penjalin) yang biasanya terbuat dari rotan sedangkan alat penangkis disebut ende terbuat dari kulit sapi.
Para pemain disebut pepadu sedangkan sistem pertandingan dipimpin wasit yang disebut pekembar dan disamping Pekembar dikenal juga tukang adu disebut pengadok. Dalam Perisean, pertandingan akan langsung dihentikan jika salah satu pepadu yang pada saat bertanding mengeluarkan darah (bocor) akibat pukulan musuh.
Pepadu yang menang maupun kalah tetap diberi hadiah, peris. Dalam Perisean juga dikenal sportivitas tinggi, kalah maupun menang tetap saudara artinya tidak dilanjutkan dendam di luar arena.
Perisean biasanya diiringi musik gendang (gending) Perisean, alat-alat musiknya terdiri atas dua buah Gendang, satu buah petuk, satu set rencek, satu gong dan satu suling sebagai penghalus. "Kita juga diberi kesempatan untuk mencoba bertanding dengan dibimbing para pemain Perisian dari Suku Sasak ini," katanya.
Legenda suku Sasak mengisahkan putri cantik bernama Mandalika yang mengakhiri kisah hidupnya secara tragis di tempat ini. Mandalika ingin tetap bisa mencintai semua rakyatnya namun desakan dari sejumlah pangeran yang ingin menyunting membuat dia menceburkan diri ke laut di Pantai Kuta Seger.
"Konon, rambut-rambutnya berubah menjadi cacing laut yang dalam bahasa setempat disebut nyale," kata Michellin.
Pergi ke Lombok tanpa mampir ke Gili Meno, Gili Air, dan Gili Trawangan, bisa dikatakan hambar rasanya. Dengan panjang tiga kilometer dan lebar dua kilometer, Gili Trawangan berpopulasi sekitar 800 jiwa. Di ketiga gili (pulau) ini, tidak satupun kendaraan bermotor bisa hadir, semua transportasi dilakukan oleh cidomo (dokar berkuda) atau sepeda atau berjalan kaki saja. (ANT)
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2012
Tags: