“Meski melambat jika dibandingkan bulan lalu yang mencapai 51,9 namun memang dirasakan cukup merata baik di negara maju maupun berkembang,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu di Jakarta, Jumat.
Melambatnya laju ekspansi sektor manufaktur dirasakan cukup merata baik di negara maju dan berkembang seperti Filipina 54,1, Malaysia 50,1, India 54,6, Eurozone 54,6 dan Amerika Serikat 57.
Sementara PMI Manufaktur China masih mengalami peningkatan ke level 48,1 meski masih dalam zona kontraksi.
Menurut Febrio, disrupsi rantai pasok dan kebijakan restriksi COVID-19 di China telah berdampak pada kinerja manufaktur di banyak negara mengingat besarnya kontribusi China dalam rantai pasok global.
“Hal tersebut akan terus kami antisipasi agar risiko ini tidak menghambat laju pemulihan ekonomi Indonesia,” tegasnya.
Tak hanya itu, konflik geopolitik yang sedang terjadi serta restriksi sosial di China karena pandemi turut menekan arus pasokan serta waktu pengiriman barang ke dalam negeri pada Mei.
Kondisi ini menyebabkan tertahannya sektor manufaktur dalam mengoptimalkan kapasitas produksinya bahkan harga barang input juga tinggi sehingga semakin menambah tekanan.
Meski demikian, Febrio optimis manufaktur akan membaik seiring relaksasi lockdown di China bahkan kapasitas produksi manufaktur saat ini terus membaik dan mulai mendekati rata-rata periode pra pandemi.
Selain itu, ia menegaskan intervensi pemerintah untuk mengendalikan harga juga sangat penting untuk menjaga berlanjutnya momentum pemulihan.
Baca juga: Pemulihan ekonomi topang pasar saham RI di tengah kenaikan bunga Fed
Baca juga: Satgas: Pandemi terkendali sebabkan pertumbuhan ekonomi negara membaik
Baca juga: Mendag dorong pemulihan ekonomi lewat penyelarasan kebijakan