Petani minta "keran" ekspor rotan dibuka
6 Januari 2012 17:45 WIB
KEDIRI, 13/11 - SULIT BAHAN BAKU. Pekerja membuat sebuah kursi rotan di Kediri, Jawa Timur, Kamis (12/11). Industri furniture rotan saat ini terkendala karena keterbatasan bahan baku. Catatan Departemen Perindustrian, akibat sulitnya bahan baku volume produksi furniture rotan olahan pada 2007 yang mencapai 373 ribu ton, menurun pada 2008 menjadi 304 ribu ton. FOTO ANTARA/Arief Priyono/Koz/nz/09. (ARIEF PRIYONO/ARIEF PRIYONO)
Pontianak (ANTARA News) - Ribuan petani, pengumpul, dan eksportir rotan di Pulau Kalimantan meminta pemerintah agar tetap membebaskan dan membuka "keran" ekspor komoditas rotan, pasca diberlakukannya Peraturan Menteri Perdagangan No. 35/M-DAG/PER/11/2011 tentang larangan ekspor rotan.
"Pemerintah hendaknya berpikir jangan mengutamakan kepentingan kelompok dengan "membunuh" petani pasca dikeluarkannya larangan ekspor rotan karena pelaku usaha lokal tidak mampu menampung hasil rotan budidaya dan alam yang jumlahnya 300 jenis rotan di Indonesia," kata Koordinator Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia (APRI) Wilayah Kalimantan Rudyzar, di Pontianak, Jumat.
Ia menjelaskan, akibat dikeluarkannya aturan larangan ekspor rotan tersebut telah menimbulkan kerugian bagi petani yang selama ini menggantungkan hidupnya pada komoditas tersebut.
"Tidak sedikit petani yang kecewa lalu membakar rotannya yang siap dijual atau ekspor. Saya saja rugi akibat aturan larangan itu karena puluhan ton rotan siap ekspor tidak bisa dijual," ungkap Rudyzar.
Menurut Rudyzar, ada beberapa alasan kenapa ekspor rotan tetap terus dibuka, diantaranya pemakaian rotan oleh industri di Pulau Jawa atau dalam negeri hanya berkisar 15-20 persen atau hanya tujuh hingga delapan jenis rotan saja yang dipergunakan oleh industri lokal dari 300 jenis rotan yang ada di Indonesia.
"Alangkah bijaknya kalau pemerintah tetap membuka keran ekspor rotan sehingga rotan yang tidak bisa dimanfaatkan oleh industri dalam negeri bisa di ekspor karena memang banyak permintaan dari luar negeri," ujarnya.
Akibatnya, jutaan masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari rotan kini terganggu kehidupannya, seperti di Pulau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara Barat, katanya.
Dalam kesempatan itu, Koordinator APRI Wilayah Kalimantan juga mendesak, pemerintah mencabut aturan Permendag No. 36/M-DAG/PER/11/2011 tentang Pengaturan Pengangkutan Antarpulau Rotan yang dinilai sangat memberatkan, terlalu rumit dan bertentangan dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/2006 dan P.8/2009 yang menetapkan penyederhanaan prosedur pengangkutan rotan (HHBK).
Umumnya, menurut dia, pengangkutan rotan mentah/asalan melalui laut dan sungai, dan umumnya para pengumpul rotan perorangan yang tidak berbadan usaha sehingga tidak memiliki kemampuan mengikuti prosedur Permendag No. 36/M-DAG/PER/11/2011.
Misalnya, pengolahan rotan di hulu Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat yang harus mengakut rotan mentahan/asalan dengan perahu sungai ke Cirebon. "Hal itu pasti tidak mungkin dilakukan sehingga aturan tersebut bukannya mempermudah malah "membunuh" rakyat kecil," ujarnya.
Rudyzar juga menyayangkan, terkait aturan yang mewajibkan verifikasi secara berulang-ulang mulai dari tempat pengangkutan, kemudian di tempat tujuan industri pengolahan bahan baku, kemudian diverifikasi di pelabuhan dengan alasan pencegahan penyeludupan hanya diberlakukan pada komoditas rotan sehingga terkesan diskriminasi.
Menurut dia, hasil komoditi rotan Indonesia didominasi dari Pulau Kalimantan yang sebagian besarnya diperoleh dari alam, seperti jenis rotan jelayan (Calamus ornatus Blume), semambu (Calamus scipionum Loureiro), rotan Cl (Daemonorops angustifola Griff) dan lain-lain.
Devisa negara dari sektor rotan masih bisa ditingkatkan dengan menambah jenis rotan yang boleh diperdagangankan. "Tentunya untuk itu diperlukan aturan dari pemerintah sehingga petani bisa membudidayakan rotan yang diperbolehkan karena praktek budidaya rotan sudah dilakukan sejak 1800 Masehi," ujarnya.
Masyarakat pedalaman juga gemar menanam rotan bersamaan dengan aktivitas berladang mereka sehingga orang luar sulit mengenal rotan budidaya (kebun) atau hutan.
Adapun jenis rotan hasil budidaya yang ada di Kalimantan, yakni rotan sega (Calamus caesius Blume), jahab/irit (Calamus trachycoleus Beccari), pulut merah (Daenomorops crinita Miq Bl) manau (Calamus manan Miq), dan pulut putih (Calamus penicillatus Roxb).
"Ada satu jenis rotan yang dibudidaya itu yang paling istimewa yakni jenis pulut merah dengan warna kulit merah kecoklat-coklatan dan hanya tumbuh di kawasan sungai," katanya.
(A057)
"Pemerintah hendaknya berpikir jangan mengutamakan kepentingan kelompok dengan "membunuh" petani pasca dikeluarkannya larangan ekspor rotan karena pelaku usaha lokal tidak mampu menampung hasil rotan budidaya dan alam yang jumlahnya 300 jenis rotan di Indonesia," kata Koordinator Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia (APRI) Wilayah Kalimantan Rudyzar, di Pontianak, Jumat.
Ia menjelaskan, akibat dikeluarkannya aturan larangan ekspor rotan tersebut telah menimbulkan kerugian bagi petani yang selama ini menggantungkan hidupnya pada komoditas tersebut.
"Tidak sedikit petani yang kecewa lalu membakar rotannya yang siap dijual atau ekspor. Saya saja rugi akibat aturan larangan itu karena puluhan ton rotan siap ekspor tidak bisa dijual," ungkap Rudyzar.
Menurut Rudyzar, ada beberapa alasan kenapa ekspor rotan tetap terus dibuka, diantaranya pemakaian rotan oleh industri di Pulau Jawa atau dalam negeri hanya berkisar 15-20 persen atau hanya tujuh hingga delapan jenis rotan saja yang dipergunakan oleh industri lokal dari 300 jenis rotan yang ada di Indonesia.
"Alangkah bijaknya kalau pemerintah tetap membuka keran ekspor rotan sehingga rotan yang tidak bisa dimanfaatkan oleh industri dalam negeri bisa di ekspor karena memang banyak permintaan dari luar negeri," ujarnya.
Akibatnya, jutaan masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari rotan kini terganggu kehidupannya, seperti di Pulau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara Barat, katanya.
Dalam kesempatan itu, Koordinator APRI Wilayah Kalimantan juga mendesak, pemerintah mencabut aturan Permendag No. 36/M-DAG/PER/11/2011 tentang Pengaturan Pengangkutan Antarpulau Rotan yang dinilai sangat memberatkan, terlalu rumit dan bertentangan dengan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.55/2006 dan P.8/2009 yang menetapkan penyederhanaan prosedur pengangkutan rotan (HHBK).
Umumnya, menurut dia, pengangkutan rotan mentah/asalan melalui laut dan sungai, dan umumnya para pengumpul rotan perorangan yang tidak berbadan usaha sehingga tidak memiliki kemampuan mengikuti prosedur Permendag No. 36/M-DAG/PER/11/2011.
Misalnya, pengolahan rotan di hulu Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat yang harus mengakut rotan mentahan/asalan dengan perahu sungai ke Cirebon. "Hal itu pasti tidak mungkin dilakukan sehingga aturan tersebut bukannya mempermudah malah "membunuh" rakyat kecil," ujarnya.
Rudyzar juga menyayangkan, terkait aturan yang mewajibkan verifikasi secara berulang-ulang mulai dari tempat pengangkutan, kemudian di tempat tujuan industri pengolahan bahan baku, kemudian diverifikasi di pelabuhan dengan alasan pencegahan penyeludupan hanya diberlakukan pada komoditas rotan sehingga terkesan diskriminasi.
Menurut dia, hasil komoditi rotan Indonesia didominasi dari Pulau Kalimantan yang sebagian besarnya diperoleh dari alam, seperti jenis rotan jelayan (Calamus ornatus Blume), semambu (Calamus scipionum Loureiro), rotan Cl (Daemonorops angustifola Griff) dan lain-lain.
Devisa negara dari sektor rotan masih bisa ditingkatkan dengan menambah jenis rotan yang boleh diperdagangankan. "Tentunya untuk itu diperlukan aturan dari pemerintah sehingga petani bisa membudidayakan rotan yang diperbolehkan karena praktek budidaya rotan sudah dilakukan sejak 1800 Masehi," ujarnya.
Masyarakat pedalaman juga gemar menanam rotan bersamaan dengan aktivitas berladang mereka sehingga orang luar sulit mengenal rotan budidaya (kebun) atau hutan.
Adapun jenis rotan hasil budidaya yang ada di Kalimantan, yakni rotan sega (Calamus caesius Blume), jahab/irit (Calamus trachycoleus Beccari), pulut merah (Daenomorops crinita Miq Bl) manau (Calamus manan Miq), dan pulut putih (Calamus penicillatus Roxb).
"Ada satu jenis rotan yang dibudidaya itu yang paling istimewa yakni jenis pulut merah dengan warna kulit merah kecoklat-coklatan dan hanya tumbuh di kawasan sungai," katanya.
(A057)
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2012
Tags: