Jakarta (ANTARA News) - Perekonomian Indonesia rentan terhadap kenaikan harga minyak dunia, baik dari sisi fiskal maupun dari sisi makro ekonomi.

Demikian disampaikan anggota Badan Anggaran DPR RI, Ecky Awal Mucharam sebagaimana diwawancara oleh Antara News, di Jakarta, Jum'at. Ia mengingatkan pemerintah agar berhati-hati menghadapi tahun 2012.

Pengaruh eksternal terhadap perekonomian Indonesia tahun 2012 berasal dari penurunan daya beli negara-negara kawasan Eropa yang sedang terkena dampak krisis keuangan regional di wilayah Eropa. Selain itu juga pengaruh dari kenaikan harga minyak dunia akibat adanya ketegangan di kawasan Teluk Hormutz yang memiliki posisi strategis dalam pengiriman minyak dari penghasil minyak di kawasan Arab ke seluruh dunia.

Ketegangan politik antara Iran dengan Amerika Serikat yang semakin memuncak akhir-akhir ini dengan mulai bergeraknya kapal-kapal perang Iran di Teluk Hormutz mengakibatkan harga minyak bergerak naik. Ditambah lagi dengan kondisi politik di dalam negeri Iran yang menolak demo kelompok pembaharuan dengan menuding bahwa Amerika Serikat berada di balik gerakan demonstrasi itu.

Menurut Ecky, kenaikan harga minyak yang drastis akan memukul APBN karena melonjaknya beban subsidi energi.

Selain itu, ia menambahkan, inflasi juga akan meningkat karena mobil pribadi tidak akan lagi dapat subsidi.

"Jadi inflasi yang kemarin dibanggakan terendah di Asia Pasifik itu artifisial, karena didukung oleh subsidi energi ratusan triliun. Kita jangan terlena karena rentan oleh kenaikan harga minyak," ujarnya.

Menurut Ecky, risiko eksternal seperti harga minyak tidak dapat kita kendalikan. Yang bisa dilakukan hanyalah memastikan agar lifting minyak mencapai target dan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi dapat dilakukan dengan disiplin sehingga dampak kenaikan harga minyak terhadap APBN dan inflasi dapat diminimalisir.

"Lifting kemarin hanya 898 ribu barel per hari, sangat jauh dari target. Pemerintah harus kerja keras untuk tahun ini," ia menuturkan.

Apalagi harga minyak mentah Indonesia (ICP) masih berada di kisaran 110 dolar per barel, jauh di atas asumsi APBN 2012 yang hanya 90 dolar per barel.