Semarang (ANTARA News) - Pakar mesin otomotif Universitas Negeri Semarang Wirawan Sumbodo mengatakan, kualitas mobil nasional bisa dibenahi sambil jalan, termasuk mobil buatan anak-anak sekolah menengah kejuruan.

"Selain untuk `engine`, mobil buatan anak bangsa, seperti Esemka patut diacungi jempol, seperti dalam desain, konsep, dan keterampilannya," katanya di Semarang, Rabu, menanggapi wacana dijadikannya Esemka menjadi mobil nasional.

Untuk masalah mesin yang memerlukan tingkat kepresisian sangat tinggi, ia mengakui, mesin buatan anak-anak SMK itu perlu pengujian terlebih dulu sebab selama ini yang kualitasnya bagus memang dibuat oleh pabrikan mobil.

Namun, kata dia, wajar jika sebuah produk baru yang dirintis memiliki kekurangan, seperti mobil Esemka yang mungkin memiliki kekurangan dibandingkan mobil buatan pabrikan mobil yang sudah besar dan kuat.

"Masalahnya pada biaya. Komponen berkualitas dan tingkat kepresisiannya tinggi, seperti piston dan kruk as dibuat dengan mesin-mesin khusus yang mahal. Kalau pabrikan besar tentunya mudah saja membeli mesin," katanya.

Belum lagi, kata dia, riset-riset untuk membenahi hasil produk membutuhkan biaya yang mahal, dan tentunya SMK tidak bisa dibiarkan berjuang sendiri untuk membiayai riset dan proses produksi yang sedemikian mahal itu.

"Bahkan, bisa jadi mobil hasil `handmade` (buatan tangan) itu jatuhnya justru lebih mahal dibanding mobil sekelas di pasaran sebab pabrikan besar membuatnya secara massal, sedangkan ini satu-dua unit," katanya.

Ia menjelaskan, mobil-mobil buatan anak bangsa selama ini sebenarnya sudah ada, seperti mobil buatan PT Tawon yang bermain di bawah kapasitas 1.000 cc, kemudian ada pula mobil untuk offroad yang dijuluki mobil komodo.

Menurut dia, semangat dan kerinduan rakyat Indonesia untuk memiliki mobil nasional harus diapresiasi, dan kemunculan Esemka ini seharusnya bisa jadi pelecut pemerintah untuk mengembangkan program mobil nasional.

Mobil nasional, kata dia, sempat muncul pada era 1990, namun kemudian meredup dan hilang, dan kemunculan mobil Esemka ini membuktikan bahwa masyarakat sebenarnya rindu mobil lokal dan menunjukkan Indonesia sebenarnya mampu.

"Kalau soal kekurangan bisa diperbaiki sambil jalan, yang penting dicoba dulu bagaimana respons di pasaran. Tentunya, setelah lolos uji kelaikan. Masukan akan datang dari konsumen yang berguna bagi pembenahan produk," katanya.

Selain itu, kata Sumbodo yang pernah menangani pengembangan "Arina", prototipe mobil kecil dari Unnes tersebut, pemerintah, lembaga pendidikan, dan industri harus bersinergi untuk mengembangkan program mobil nasional.

"Jangan salah, pabrikan mobil besar di Jerman kerap menggunakan penelitian atau hasil produk lembaga pendidikan, misalnya desain hingga perangkat elektronik permesinan untuk dipakai di mobil produk mereka," kata Wirawan.

(U.KR-ZLS/N002)