Artikel
Mentok, "Kota Pancasila" di ujung barat Pulau Bangka
Oleh Donatus Dasapurna Putranta
1 Juni 2022 13:41 WIB
Sketsa karya pegiat seni rupa Anung Nungser tentang bangunan simbol kebersamaan dan toleransi warga, Kelenteng Kong Fuk Miao-Majis Jamik, yang berdiri ratusan tahun di pusat Kota Mentok, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Babel. ANTARA/Donatus Dasapurna.
Mentok, Babel (ANTARA) - Meski kelahiran ide tentang Pancasila bukan dari Bumi Sejiran Setason (sebutan Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung), di ujung barat Pulau Bangka itu nilai keluhuran bangsa tumbuh dan besar.
Jejak kehadirannya begitu terasa ketika kita menapakkan kaki di kota yang menelurkan istilah Muntok White Paper.
Menilik kembali tragedi di pengujung runtuhnya rezim Soeharto, kelompok etnis minoritas Tionghoa di berbagai kota besar di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi menjadi sasaran amuk massa dari oknum kelompok masyarakat tertentu.
Masih segar juga dalam ingatan, saat warga keturunan etnis Tionghoa di masa sulit itu mencoba menyelamatkan diri dengan pergi ke luar negeri. Ada juga yang pergi ke Pulau Bangka. Bahkan, Bangka Belitung pada waktu itu menjadi tempat ideal bagi etnis keturunan Tionghoa untuk menyelamatkan diri dari amuk massa di daerah asalnya.
Bangka Belitung, selain dikenal sebagai penghasil timah, ragam komposisi penduduknya juga berasal dari berbagai latar belakang etnis. Meskipun didominasi oleh etnis Melayu, keberadaan etnis lainnya, seperti Tionghoa, Jawa, dan Bugis, Bangka Belitung memberikan catatan positif terkait dengan harmonisasi masyarakat.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Bangka Belitung Ranto M.A. mengatakan konflik-konflik yang terjadi di Bangka Belitung tidak pernah bermuara dari sisi etnisitas.
"Jika pun terjadi konflik di masyarakat bisa dipastikan karena perebutan akses-akses sumber daya alam, seperti eksploitasi mineral timah," ujarnya.
Baca juga: Presiden RI ajak anak muda bangsa bumikan Pancasila
Pertanyaan yang menarik untuk ditelusuri, mengapa Bangka Belitung merupakan wilayah zero konflik etnis?
Untuk menjawab pertanyaan tadi, catatan penelitian Profesor Abdulah Idi menyebutkan bahwa Bangka Belitung telah menunjukkan keberhasilan proses asimilasi etnis Melayu-Tionghoa yang terjadi secara alami di level struktural dan kultural.
Dari sisi struktural, di fase awal reformasi berlangsung, jabatan politik formal dan nonformal tidak saja dikuasai oleh etnis Melayu.
"Kita akan mudah menemukan elite politik dari kalangan etnis Tionghoa berhasil mendudukkan jabatan politik seperti menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, baik di arena kabupaten, provinsi, hingga pusat," kata Ranto.
Tak hanya itu, di tahun 2005, Bangka Belitung membuktikan bahwa seorang politikus dari keturunan etnis Tionghoa bernama Basuki Tjahja Purnama alias Ahok terpilih sebagai Bupati Belitung Timur.
Terpilihnya Ahok menorehkan catatan sejarah baru di Indonesia karena menjadi bupati pertama dari kalangan etnis Tionghoa. Fenomena demikian tetap lestari hingga saat ini.
Di posisi politik informal, banyak juga politikus dari kalangan etnis Tionghoa dipercaya menjadi pimpinan tertinggi di daerah masing-masing.
Hampir semua partai politik yang berbasis nasionalis menempatkan politikus dari keturunan etnis Tionghoa dalam posisi strategis meski tidak menjadi ketua dewan di daerah atau sebutan lainnya.
Dari sisi lainnya seperti kultural, keseharian relasi masyarakat di Bangka Belitung juga tidak terlalu tegang.
Ketika terjadi perayaan hari-hari besar keagamaan misalnya, antara etnis Melayu-Tionghoa saling berkunjung ke rumah kerabatnya.
Baca juga: Ketua DPR: Hari Lahir Pancasila memuliakan manusia
Bahkan, pernikahan silang antara dua etnis besar ini terjadi terus-menerus hingga saat ini. Inilah bukti keberhasilan proses asimilasi antaretnis di Bangka Belitung terjadi secara alami, tanpa rekayasa sosial politik.
Selain itu, secara budaya pun masing-masing etnis di Bangka Belitung memiliki kesempatan dan mempunyai panggung masing-masing. Dari sinilah lintas etnis saling mengenal satu sama lain.
Tanpa perlu ada rekayasa sosial, kesadaran dari masing-masing etnis ketika menyelenggarakan perayaan identitasnya pasti melibatkan perwakilan etnis lain di lingkungan sekitar.
Bahkan, proses negosiasi identitas budaya etnis pendatang di Bangka Belitung juga terjadi secara alami.
Kokoh
Sebelum Pancasila terlahir pun, di kota kecil bernama Muntok atau Mentok (pelafalan warga lokal) sudah berdiri kokoh bangunan Kelenteng Kong Fuk Miao dan Masjid Jamik yang hanya dipisahkan oleh jalan setapak.
Keberadaan tempat ibadah dua etnis yang berbeda ini telah ada sejak abad 18. Hingga hari ini, kita masih bisa merasakan sejuknya hubungan dua etnis besar di Bangka Belitung.
Bangka Belitung merupakan rumah bagi semua komunitas, sehingga tidak mengherankan jika monumen Pancasila ada di dua titik di Kota Mentok, yakni Tugu Soekarno-Hatta dan Wisma Ranggam.
Bangka Belitung tidak saja menjadi tempat tumbuh subur persatuan dan kesatuan sebagai simbol semata. Pengarusutamaan persatuan dan kesatuan telah menjadi nadi dari aktivitas keseharian masyarakat di Bumi Serumpun Sebalai itu.
Dalam upaya menjaga nilai luhur bangsa tersebut, Kapolres Bangka Barat AKBP Agus Siswanto mengajak seluruh lapisan masyarakat setempat terus menjaga dan melestarikan nilai-nilai Pancasila yang dimulai dari pribadi masing-masing.
"Memaknai Pancasila dan menjalankan dalam kehidupan setiap hari di tengah masyarakat perlu terus dilakukan," kata dia.
Baca juga: Wapres mengikuti upacara Hari Lahir Pancasila secara daring
Pancasila merupakan alat pemersatu bangsa, sedangkan Hari Lahir Pancasila ini merupakan salah satu jembatan pengingat perjuangan pendiri bangsa dalam merumuskan Pancasila.
Legislator Kota Pangkalpinang, Rio Setiady, mengajak seluruh masyarakat menjadikan peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni sebagai momentum penguat semangat kebangsaan.
Pancasila menjadi wadah bagi seluruh anak bangsa yang beraneka ragam suku, bahasa, budaya dan agama, namun dipersatukan dalam semangat kebangsaan yang sama.
"Dan kita berharap semangat kebangsaan ini dapat melahirkan kebijakan yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia," kata dia.
Pancasila merupakan konsensus bersama yang menyatukan seluruh elemen anak bangsa dan menjadi kekuatan nyata bagi bangsa Indonesia untuk tetap eksis sampai dengan hari ini.
Keberagaman menjadi kekuatan bangsa dalam menghimpun seluruh potensi sehingga negara besar Indonesia dapat menjadi pengayom bagi negara lain.
Menurut Rio, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat dan daerah hendaknya menjadi sebuah produk hukum yang mengayomi hajat hidup orang banyak serta memberdayakan masyarakat sehingga terwujud persatuan Indonesia, kemanusiaan, dan keadilan sosial.
Generasi muda sebagai pelanjut kepemimpinan masa depan bangsa tentu akan terpanggil menggali nilai-nilai luhur Pancasila itu.
Yakinlah, bangsa ini akan menjadi bangsa besar jika kita dapat menyatukan potensi besar yang dimiliki untuk melakukan dan memikirkan hal-hal yang besar, dan tidak terjebak dalam konflik remeh berkepanjangan.
Baca juga: Mahfud MD: Pancasila adalah kesepakatan luhur bangsa Indonesia
Baca juga: Pancasila sebagai pengingat abadi persatuan
Baca juga: Jokowi bertolak ke Ende akan pimpin upacara Hari Lahir Pancasila
Jejak kehadirannya begitu terasa ketika kita menapakkan kaki di kota yang menelurkan istilah Muntok White Paper.
Menilik kembali tragedi di pengujung runtuhnya rezim Soeharto, kelompok etnis minoritas Tionghoa di berbagai kota besar di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi menjadi sasaran amuk massa dari oknum kelompok masyarakat tertentu.
Masih segar juga dalam ingatan, saat warga keturunan etnis Tionghoa di masa sulit itu mencoba menyelamatkan diri dengan pergi ke luar negeri. Ada juga yang pergi ke Pulau Bangka. Bahkan, Bangka Belitung pada waktu itu menjadi tempat ideal bagi etnis keturunan Tionghoa untuk menyelamatkan diri dari amuk massa di daerah asalnya.
Bangka Belitung, selain dikenal sebagai penghasil timah, ragam komposisi penduduknya juga berasal dari berbagai latar belakang etnis. Meskipun didominasi oleh etnis Melayu, keberadaan etnis lainnya, seperti Tionghoa, Jawa, dan Bugis, Bangka Belitung memberikan catatan positif terkait dengan harmonisasi masyarakat.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Bangka Belitung Ranto M.A. mengatakan konflik-konflik yang terjadi di Bangka Belitung tidak pernah bermuara dari sisi etnisitas.
"Jika pun terjadi konflik di masyarakat bisa dipastikan karena perebutan akses-akses sumber daya alam, seperti eksploitasi mineral timah," ujarnya.
Baca juga: Presiden RI ajak anak muda bangsa bumikan Pancasila
Pertanyaan yang menarik untuk ditelusuri, mengapa Bangka Belitung merupakan wilayah zero konflik etnis?
Untuk menjawab pertanyaan tadi, catatan penelitian Profesor Abdulah Idi menyebutkan bahwa Bangka Belitung telah menunjukkan keberhasilan proses asimilasi etnis Melayu-Tionghoa yang terjadi secara alami di level struktural dan kultural.
Dari sisi struktural, di fase awal reformasi berlangsung, jabatan politik formal dan nonformal tidak saja dikuasai oleh etnis Melayu.
"Kita akan mudah menemukan elite politik dari kalangan etnis Tionghoa berhasil mendudukkan jabatan politik seperti menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, baik di arena kabupaten, provinsi, hingga pusat," kata Ranto.
Tak hanya itu, di tahun 2005, Bangka Belitung membuktikan bahwa seorang politikus dari keturunan etnis Tionghoa bernama Basuki Tjahja Purnama alias Ahok terpilih sebagai Bupati Belitung Timur.
Terpilihnya Ahok menorehkan catatan sejarah baru di Indonesia karena menjadi bupati pertama dari kalangan etnis Tionghoa. Fenomena demikian tetap lestari hingga saat ini.
Di posisi politik informal, banyak juga politikus dari kalangan etnis Tionghoa dipercaya menjadi pimpinan tertinggi di daerah masing-masing.
Hampir semua partai politik yang berbasis nasionalis menempatkan politikus dari keturunan etnis Tionghoa dalam posisi strategis meski tidak menjadi ketua dewan di daerah atau sebutan lainnya.
Dari sisi lainnya seperti kultural, keseharian relasi masyarakat di Bangka Belitung juga tidak terlalu tegang.
Ketika terjadi perayaan hari-hari besar keagamaan misalnya, antara etnis Melayu-Tionghoa saling berkunjung ke rumah kerabatnya.
Baca juga: Ketua DPR: Hari Lahir Pancasila memuliakan manusia
Bahkan, pernikahan silang antara dua etnis besar ini terjadi terus-menerus hingga saat ini. Inilah bukti keberhasilan proses asimilasi antaretnis di Bangka Belitung terjadi secara alami, tanpa rekayasa sosial politik.
Selain itu, secara budaya pun masing-masing etnis di Bangka Belitung memiliki kesempatan dan mempunyai panggung masing-masing. Dari sinilah lintas etnis saling mengenal satu sama lain.
Tanpa perlu ada rekayasa sosial, kesadaran dari masing-masing etnis ketika menyelenggarakan perayaan identitasnya pasti melibatkan perwakilan etnis lain di lingkungan sekitar.
Bahkan, proses negosiasi identitas budaya etnis pendatang di Bangka Belitung juga terjadi secara alami.
Kokoh
Sebelum Pancasila terlahir pun, di kota kecil bernama Muntok atau Mentok (pelafalan warga lokal) sudah berdiri kokoh bangunan Kelenteng Kong Fuk Miao dan Masjid Jamik yang hanya dipisahkan oleh jalan setapak.
Keberadaan tempat ibadah dua etnis yang berbeda ini telah ada sejak abad 18. Hingga hari ini, kita masih bisa merasakan sejuknya hubungan dua etnis besar di Bangka Belitung.
Bangka Belitung merupakan rumah bagi semua komunitas, sehingga tidak mengherankan jika monumen Pancasila ada di dua titik di Kota Mentok, yakni Tugu Soekarno-Hatta dan Wisma Ranggam.
Bangka Belitung tidak saja menjadi tempat tumbuh subur persatuan dan kesatuan sebagai simbol semata. Pengarusutamaan persatuan dan kesatuan telah menjadi nadi dari aktivitas keseharian masyarakat di Bumi Serumpun Sebalai itu.
Dalam upaya menjaga nilai luhur bangsa tersebut, Kapolres Bangka Barat AKBP Agus Siswanto mengajak seluruh lapisan masyarakat setempat terus menjaga dan melestarikan nilai-nilai Pancasila yang dimulai dari pribadi masing-masing.
"Memaknai Pancasila dan menjalankan dalam kehidupan setiap hari di tengah masyarakat perlu terus dilakukan," kata dia.
Baca juga: Wapres mengikuti upacara Hari Lahir Pancasila secara daring
Pancasila merupakan alat pemersatu bangsa, sedangkan Hari Lahir Pancasila ini merupakan salah satu jembatan pengingat perjuangan pendiri bangsa dalam merumuskan Pancasila.
Legislator Kota Pangkalpinang, Rio Setiady, mengajak seluruh masyarakat menjadikan peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni sebagai momentum penguat semangat kebangsaan.
Pancasila menjadi wadah bagi seluruh anak bangsa yang beraneka ragam suku, bahasa, budaya dan agama, namun dipersatukan dalam semangat kebangsaan yang sama.
"Dan kita berharap semangat kebangsaan ini dapat melahirkan kebijakan yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia," kata dia.
Pancasila merupakan konsensus bersama yang menyatukan seluruh elemen anak bangsa dan menjadi kekuatan nyata bagi bangsa Indonesia untuk tetap eksis sampai dengan hari ini.
Keberagaman menjadi kekuatan bangsa dalam menghimpun seluruh potensi sehingga negara besar Indonesia dapat menjadi pengayom bagi negara lain.
Menurut Rio, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat dan daerah hendaknya menjadi sebuah produk hukum yang mengayomi hajat hidup orang banyak serta memberdayakan masyarakat sehingga terwujud persatuan Indonesia, kemanusiaan, dan keadilan sosial.
Generasi muda sebagai pelanjut kepemimpinan masa depan bangsa tentu akan terpanggil menggali nilai-nilai luhur Pancasila itu.
Yakinlah, bangsa ini akan menjadi bangsa besar jika kita dapat menyatukan potensi besar yang dimiliki untuk melakukan dan memikirkan hal-hal yang besar, dan tidak terjebak dalam konflik remeh berkepanjangan.
Baca juga: Mahfud MD: Pancasila adalah kesepakatan luhur bangsa Indonesia
Baca juga: Pancasila sebagai pengingat abadi persatuan
Baca juga: Jokowi bertolak ke Ende akan pimpin upacara Hari Lahir Pancasila
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2022
Tags: