Jakarta (ANTARA News) - Sebanyak tiga anggota Kepolisian Negara RI (Polri) terbukti melakukan kekerasan fisik kepada warga terkait kasus bentrok antara massa pengunjuk rasa dengan aparat kepolisian di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada Sabtu (24/12).

"Dari hasil penyelidikan internal yang dilakukan Irwasum dan Propam, tindakan yang dilakukan Polisi di Bima terbukti melakukan kekerasan fisik kepada warga," kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat (Kadiv Humas) Polri, Irjen Pol Saud Usman Nasution, di Jakarta, Kamis.

Untuk itu, ia mengemukakan, dalam waktu dekat ketiga oknum anggota Polri menghadapi sidang disiplin, yaitu Bripda F, Briptu S dan Briptu F.

"Tiga orang diperiksa sebagai pelaku pelanggaran disiplin berinisial Bripda F dari Brimob NTB, proses pelanggaran disiplin. Ada dua orang masyarakat, yang di pukul dan ditendang oleh anggota reserse Polresta Bima yang melakukan pemukulan dengan tangan kosong dan menedang," kata Saud.

Saat ini, ia mengemukakan, proses dalam rangka penegakan disiplin, berkas dalam perampungan, dan dalam waktu dekat akan disidangkan, sidang disiplin.

"Bilamana ada tindak pidana lain yang dilakukan oleh anggota Kepolisian, Polri sebagai instusinya akan menindak tegas," kata Saud.

Sampai saat ini sudah 115 anggota Polisi di NTB yang diperiksa tim internal Mabes Polri. Sebanyak 115 anggota itu terdiri dari berbagai unsur, seperti Brimob, Reserse, Dalmas, dan lain sebagainya, katanya.

Untuk jumlah korban dari hasil pengecekan Polres, Polsek dan Dinas Kesehatan sampai hari ini data yang meninggal dua orang. Korban yang meninggal atas insiden tersebut bernama Arief Rachman usia 18 tahun dan Syaiful usia 17 tahun.

Polisi melakukan tindakan pengamanan pada hari Sabtu (24/12) jam 08.00 WITA dilakukan tindakan penegakan hukum terhadap massa yang bertahan di jembatan penyeberangan feri Sape dipimpin Kapolda NTB kemudian dilakukan penangkapan terhadap provokator dan masyarakat yang masih bertahan diangkut keseluruhan ke Polres Bima.

Kegiatan penegakan hukum terhadap massa yang menduduki dan melarang aktivitas di penyeberangan feri Sape. Adanya kegiatan unjuk rasa massa berupa menduduki dan melarang aktivitas di penyeberangan feri Sape sejak tanggal 19 Desember 2011 oleh massa yang menamakan kelompok Front Rakyat Anti Tambang.

Dalam rangka pelaksanaan Operasi Lilin 2011 dan juga terganggunya aktivitas masyarakat sebagai akibat dari penyeberangan tidak bisa digunakan, sehingga terjadi keresahan masyarakat. kemudian dilakukan tindakan penegakan hukum untuk pembebasan jembatan penyeberangan feri dari pendudukan massa.

Tuntutan massa agar SK bupati Bima Nomor 188 tahun 2010 yang memberikan izin pertambangan kepada PT Sumber Mineral Nusantara dicabut dan meminta agar tersangka atas nama AS yang sudah diserahkan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) supaya dilepaskan.

Tersangka AS diduga terkait provokator pembakaran kantor Camat Lambu pada tanggal 10 Maret 2011 yang melibatkan perempuan dan anak-anak dijadikan tameng oleh massa di penyeberangan feri. (*)