Jakarta (ANTARA News) - Ketahanan ekonomi Indonesia pada 2012 diprediksikan cukup kuat, karena memiliki fundamental ekonomi yang baik, kata Ketua Bidang Ekonomi dan Kewirausahaan DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Aunur Rofiq.

Dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu, Aunur mengatakan, perekonomian Indonesia pada tahun 2011 menunjukkan kinerja yang cukup menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi pada 2011 akan dapat mencapai 6,5 persen dengan tren inflasi yang menurun. Inflasi IHK pada November 2011 tercatat sebesar 0,34 persen (mtm) atau 4,15 persen (yoy).

"Nilai tukar cenderung stabil dan kinerja neraca pembayaran tahun 2011 mencatat surplus yang cukup besar, meski terdapat tekanan pada semester II-2011," katanya.

Dari sisi kinerja perbankan tetap terjaga dengan penyaluran kredit yang cukup tinggi, meskipun terjadi gejolak di pasar keuangan akibat pengaruh global. Rasio kecukupan modal (CAR/Capital Adequacy Ratio) berada jauh di atas minimum 8 persen dan terjaganya rasio kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) gross di bawah 5 persen.

Sementara itu, pertumbuhan kredit hingga akhir Oktober 2011 mencapai 25,7 persen (yoy) dengan kredit investasi sebesar 31,1 persen (yoy), kredit modal kerja sebesar 24,7 persen (yoy), dan kredit konsumsi sebesar 23,8 persen (yoy).

Aunur mengatakan, dengan kondisi fundamental yang cukup baik ini, ketahanan ekonomi ditahun 2012 masih cukup kuat.

Meski demikian, katanya, terdapat tiga hal penting yang harus diwaspadai oleh pemerintah yakni, pertama, memburuknya kondisi ekonomi dan keuangan global akibat berlarutnya pemulihan ekonomi Amerika Serikat dan lambatnya pemulihan krisis Eropa.

Dampaknya terhadap perekonomian domestik sudah terjadi sejak September dengan terjadinya pelarian modal asing, melemahnya rupiah, naiknya yield obligasi Pemerintah, sampai anjloknya harga saham yang sudah terasa sejak September 2011.

Kedua, terjadinya perlambatan pertumbuhan sebagai dampak dari penurunan harga komoditas internasional yang berdampak pada penurunan kinerja ekspor dan investasi. Kinerja ekonomi Indonesia tahun mendatang akan sangat tergantung pada kemampuan memobilisasi kekuatan domestik.

Ketiga, masih besarnya kebutuhan untuk penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. Jumlah pengangguran dan penduduk miskin masih relatif besar. Jumlah penduduk miskin pada tahun 2010 mencapai 31 juta orang atau 13.3% dari jumlah penduduk. Demikian pula jumlah pengangguran terbuka pada Agustus 2011 mencapai 6,6% dari angkatan kerja sebesar 117,4 juta orang.

Oleh kerana itu, katanya, menyadari berbagai kemungkinan tersebut, pemerintah perlu mengoptimalkan tiga potensi dan peluang yakni pertama, struktur ekonomi Indonesia yang masih berorientasi pada kekuatan permintaan domestik yang ditopang oleh kinerja sector UMKM dan informal. Sektor ini telah menunjukkan kemampuannya dalam memberikan andil dalam perekonomian nasional terutama dalam menghadapi krisis.

Kedua, kuatnya fundamental ekonomi Indonesia dengan pasar dan sumber daya alam yang besar masih menjadi daya tarik bagi investasi ke depan, baik PMA maupun PMDN. Peluang ini semakin terbuka lebar dengan kenaikan peringkat Indonesia yang telah kembali menjadi "investment grade" sejak krisis tahun 1997/1998.

Dalam dua tahun terakhir jumlah PMA dan PMDN, baik dalam bentuk pemberian izin maupun nilai investasi, memang telah meningkat pesat. Sebagai contoh, aliran dana asing yang masuk dalam bentuk PMA naik dari 13,4 miliar dolar AS pada 2010 menjadi 18,6 miliar dolar AS pada 2011. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat sepanjang terus dilakukan perbaikan iklim investasi dan percepatan implementasi berbagai proyek infrastruktur.

Ketiga, jumlah dana di lembaga keuangan khususnya perbankan Indonesia yang belum mampu dimanfaatkan sektor riil masih besar. Kelebihan likuiditas inilah yang selama ini terpaksa diserap oleh Bank Indonesia, yang dewasa ini berjumlah sekitar Rp430 triliun.

Menurut Aunur, strategi dan arah kebijakan dalam tahun 2012 selain harus memperkuat ketahanan dalam menangkal risiko penularan krisis global terhadap stabilitas makroekonomi dan keuangan Indonesia, juga harus mendorong potensi dan kekuatan perekonomian nasional.

Dari sisi kebijakan makroekonomi, kebijakan fiskal pemerintah dan kebijakan moneter Bank Indonesia perlu diarahkan untuk dapat menstimulus perekonomian khususnya dari sisi permintaan dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.

Sementara itu, dari sisi kebijakan sektoral dan struktural, peningkatan investasi dan kapasitas perekonomian untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi penawaran perlu dilakukan melalui percepatan berbagai program yang selama ini telah dicanangkan untuk peningkatan investasi dan infrastruktur, khususnya dalam Master Plan untuk Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).

Adanya suatu protokol manajemen krisis secara nasional merupakan kebutuhan, seperti layaknya di negara lain seperti Korea Selatan. Apa yang sekarang ada di Indonesia belum memadai sebagai suatu protokol nasional karena protokol di masing-masing instansi belum terintegrasi secara utuh ke dalam suatu protokol manajemen krisis nasional, yang perlu dituangkan dalam Undang-undang seperti ke dalam rencana RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).

"Ini tidak hanya akan memperkuat landasan hukum, tetapi juga memperjelas kegiatan surveillance indikator, penetapan status, respon kebijakan maupun organisasi dan proses pengambilan keputusannya, " demikian Aunur Rofiq.(*)