Jakarta (ANTARA) - Ketua DPR RI Puan Maharani menyinggung soal Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) sebagai bentuk dukungan perlindungan bagi perempuan ketika bertemu Presiden Majelis Umum PBB Abdulla Shahid.

“DPR RI baru saja mengesahkan undang-undang antikekerasan berbasis gender, yaitu UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Hal ini menjadi terobosan penting pengaturan hukum acara yang komprehensif serta pengakuan dan jaminan hak korban,” kata Puan dalam keterangannya diterima di Jakarta, Kamis.

Puan menjelaskan bagaimana perjuangan Indonesia membuat berbagai kebijakan dan produk hukum untuk mendukung perempuan, salah satunya dengan pengesahan UU TPKS sebagai dukungan bagi perlindungan perempuan yang banyak menjadi korban kekerasan seksual.

Puan berharap komitmen Indonesia terhadap perlindungan perempuan mendapat dukungan di tingkat internasional.

“Saya tahu Presidency of Hope dari Presiden Sidang Majelis Umum PBB saat ini juga berisi perkuatan kesetaraan gender. Karenanya, saya siap untuk bekerja sama dengan yang mulia untuk memajukan pembahasan isu gender pada berbagai forum internasional, termasuk pada pembahasan P20,” kata Puan.

Puan Maharani melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Abdulla Shahid. Pertemuan tersebut membahas sejumlah isu global, termasuk tentang perlindungan terhadap perempuan.

Pertemuan antara Puan dan Abdulla Shahid dilakukan di sela-sela acara The 7th Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) 2022 yang berlangsung di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Bali, Kamis (26/5).

Baca juga: Puan tekankan pentingnya kerja sama parlemen dalam mitigasi bencana
Pada awal pertemuan, Puan mengucapkan selamat datang kepada Abdulla Shahid ke Indonesia yang ditunjuk sebagai tuan rumah platform global untuk Pengurangan Risiko Bencana Ke-7.

“Hal ini menunjukkan komitmen tinggi yang mulia terhadap isu pengurangan risiko bencana. Saya mendukung kepemimpinan Bapak Abdulla Shahid pada Sidang Majelis Umum PBB yang membawa visi 'Presidency of Hope', yang ingin membawa harapan dan optimisme dunia keluar dari krisis,” kata Puan.

Perempuan pertama yang menjabat sebagai Ketua DPR RI itu menyampaikan harapannya agar Sidang Majelis Umum PBB di bawah kepemimpinan Abdulla Shahid dapat menjawab berbagai tantangan dunia yang sedang menghadapi krisis multidimensi.

Puan merinci mulai dari krisis terkait pandemi COVID-19, ekonomi, inflasi, perubahan iklim, pangan, energi, dan ketegangan geopolitik.

“Saya berpandangan bahwa krisis global saat ini memerlukan respons global. Kita harus meningkatkan komitmen akan kerja sama internasional dan multilateral untuk membangun respons global,” ucapnya.

Puan menyinggung mengenai parlemen yang memiliki peran penting untuk memberi dukungan politik bagi kebijakan luar negeri dan berbagai kesepakatan internasional. Dukungan politik di dalam negeri, menurutnya, akan memperkuat legitimasi bagi komitmen internasional.

Baca juga: Ketua DPR: COVID-19 jadi alarm pentingnya kerja sama global
“Parlemen berperan dalam implementasi kesepakatan internasional di dalam negeri melalui ratifikasi dan dukungan konstituen pada berbagai kesepakatan internasional,” kata Puan.


DPR RI sendiri, kata dia, berkomitmen untuk berperan aktif dalam merespons berbagai tantangan global.
Di tingkat multilateral, DPR RI berkontribusi pada pembahasan di Inter-Parliamentary Union (IPU) di mana Puan terlibat aktif dalam beberapa agenda, termasuk menjadi Presiden Majelis IPU Ke-144 di Nusa Dua, Bali, pada Maret 2022.

“Pertemuan telah mengadopsi Deklarasi Nusa Dua tentang komitmen parlemen untuk memajukan penanganan perubahan iklim. Termasuk di dalamnya pengurangan risiko bencana yang disebabkan perubahan iklim,” kata dia.

Menurut Puan, perspektif parlemen dalam menjawab berbagai tantangan global sangat diperlukan. Apalagi saat ini, dunia selalu dilanda berbagai krisis sehingga perlu dilakukan pendekatan baru untuk mencapai ketertiban dan kesejahteraan di dunia.

“Parlemen merupakan representasi rakyat yang secara langsung terdampak oleh berbagai isu global. Dalam hal ini, perlu keterlibatan parlemen dan IPU yang lebih besar dalam pembahasan berbagai isu global di PBB dan 'specialized agencies'-nya,” kata Puan.

Suara parlemen, menurutnya, harus lebih didengarkan pada forum-forum internasional. Hal itu bisa dilakukan dengan mengundang para pembicara parlemen pada Sidang Majelis Umum PBB pada September setiap tahunnya atau pada kegiatan-kegiatan besar PBB lainnya.

Puan menegaskan sinergi lebih besar antara PBB dengan parlemen akan meningkatkan dukungan politik, membantu implementasi, dan mendiseminasi berbagai program PBB. Selain itu, katanya, PBB akan mendapatkan masukan dari parlemen bagi perbaikan program PBB di masa depan.

Pada pertemuan itu, Puan membicarakan soal Indonesia yang tahun ini memegang Presidensi G20. Sejalan dengan forum tersebut, DPR RI akan menjadi tuan rumah The Eighth G20 Parliamentary Speakers’ Summit (P20) pada 6-7 Oktober 2022, di Gedung DPR RI Jakarta.

Baca juga: Ketua DPR: Harus ada strategi matang terkait rencana pencabutan PPKM
“Pelaksanaan P20 diharapkan dapat memberi masukan bagi G20 dan memberikan perspektif parlemen dalam pembahasan agenda G20. Saya mengharapkan dukungan dan masukan PBB terhadap pelaksanaan P20 Tahun 2022,” katanya.

Dalam kesempatan tersebut, dia mengatakan turut dibahas mengenai isu pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender.

Puan menegaskan Indonesia memiliki komitmen yang kuat terhadap isu-isu perempuan di mana seperti telah diketahui, Indonesia telah memiliki presiden dan ketua DPR perempuan, serta banyak menteri, kepala daerah, dan anggota dewan dari kaum perempuan.

Pertemuan Puan dan Abdulla Shahid turut membahas mengenai implementasi "Sendai Framework on Disaster Risk Reduction" (SFDRR). Indonesia dipastikan siap bekerja sama, termasuk lewat peran parlemen dalam memperkuat kesiapsiagaan terkait "health security preparedness" guna mengantisipasi terjadinya pandemi di masa mendatang.