TMMIN pilih kerja sama ketimbang kompetisi kembangkan mobil listrik
25 Mei 2022 23:43 WIB
Direktur Corporate Affairs External PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam saat meninjau deretan mobil elektrifikasi Toyota yang dipamerkan di Universitas Diponegoro, Semarang, Rabu (25/5/2022). ANTARA/Risbiani Fardaniah
Semarang (ANTARA) - Direktur Corporate Affairs External PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam mengatakan pihaknya memilih melakukan kerja sama dengan produsen otomotif lainnya dalam pengembangan mobil listrik guna memperbesar jumlah kendaraan ramah lingkungan di Tanah Air.
"Karena pasarnya (mobil listrik) kecil sekali, di bawah 3 persen, jadi too much (terlalu berlebihan) kalau kami berkompetisi," kata Bob Azam di Semarang, Jawa Tengah, Rabu.
Menurut dia, kerja sama diperlukan terutama untuk harga mobil listrik lebih terjangkau dengan biaya produksi yang lebih efisien dan ekonomis sehingga populasi mobil listrik di Indonesia kian bertambah.
Bob mencontohkan Toyota Motor Corp (TMC) melakukan kerja sama dengan industri otomotif Eropa, Scania, untuk membuat bus listrik.
"Toyota menyediakan teknologi fuel cell-nya," kata Bob.
Selain itu, dia juga menyebut rantai pasok (supply chain) kendaraan listrik juga harus diperluas seperti produk otomotif lainnya yang rantai pasoknya bisa capai 20 negara.
"Jadi, misalnya baterai (mobil listrik) jangan hanya dibuat oleh segelintir pengusaha atau negara," katanya.
Hal itu, lanjut dia, akan membuat mobil listrik menjadi mahal dan tidak luas penggunanya.
Padahal, kendaraan listrik menjadi salah satu upaya banyak negara, termasuk Indonesia, yang dalam jangka panjang menjadikan mobil listrik sebagai salah satu kegiatan mitigasi dalam perubahan iklim.
Sementara itu, Direktur Mitigasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Emma Rachmawati mengatakan pada Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia pertama tahun 2016 kendaraan listrik belum diidentifikasi sebagai kegiatan mitigasi untuk menekan Gas Rumah Kaca (GRK).
"Yang ada penurunan GRK dari sektor transportasi hanya B30," katanya pada seminar nasional "100 Years of Indonesia Automotive Industry, Realizing Indonesia Net Zero Emission" di kampus Universitas Diponegoro (Undip), Rabu.
Baru pada tahun 2019 Indonesia memasukkan kendaraan listrik sebagai aksi mitigasi sektor energi subsektor efisiensi energi transportasi dengan prakondisi ketersediaan peraturan, infrastruktur, dan insentif.
Ia justru berharap pengembangan kendaraan listrik bukan untuk kendaraan pribadi, melainkan untuk transportasi publik, serta mengoptimalkan kebiasaan masyarakat menggunakan transportasi publik tersebut.
Baca juga: Bahlil: Indonesia kenakan pajak ekspor lebih tinggi untuk bahan baku
Baca juga: DFSK libatkan minibus listrik Gelora E di KTT G20
"Karena pasarnya (mobil listrik) kecil sekali, di bawah 3 persen, jadi too much (terlalu berlebihan) kalau kami berkompetisi," kata Bob Azam di Semarang, Jawa Tengah, Rabu.
Menurut dia, kerja sama diperlukan terutama untuk harga mobil listrik lebih terjangkau dengan biaya produksi yang lebih efisien dan ekonomis sehingga populasi mobil listrik di Indonesia kian bertambah.
Bob mencontohkan Toyota Motor Corp (TMC) melakukan kerja sama dengan industri otomotif Eropa, Scania, untuk membuat bus listrik.
"Toyota menyediakan teknologi fuel cell-nya," kata Bob.
Selain itu, dia juga menyebut rantai pasok (supply chain) kendaraan listrik juga harus diperluas seperti produk otomotif lainnya yang rantai pasoknya bisa capai 20 negara.
"Jadi, misalnya baterai (mobil listrik) jangan hanya dibuat oleh segelintir pengusaha atau negara," katanya.
Hal itu, lanjut dia, akan membuat mobil listrik menjadi mahal dan tidak luas penggunanya.
Padahal, kendaraan listrik menjadi salah satu upaya banyak negara, termasuk Indonesia, yang dalam jangka panjang menjadikan mobil listrik sebagai salah satu kegiatan mitigasi dalam perubahan iklim.
Sementara itu, Direktur Mitigasi Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Emma Rachmawati mengatakan pada Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia pertama tahun 2016 kendaraan listrik belum diidentifikasi sebagai kegiatan mitigasi untuk menekan Gas Rumah Kaca (GRK).
"Yang ada penurunan GRK dari sektor transportasi hanya B30," katanya pada seminar nasional "100 Years of Indonesia Automotive Industry, Realizing Indonesia Net Zero Emission" di kampus Universitas Diponegoro (Undip), Rabu.
Baru pada tahun 2019 Indonesia memasukkan kendaraan listrik sebagai aksi mitigasi sektor energi subsektor efisiensi energi transportasi dengan prakondisi ketersediaan peraturan, infrastruktur, dan insentif.
Ia justru berharap pengembangan kendaraan listrik bukan untuk kendaraan pribadi, melainkan untuk transportasi publik, serta mengoptimalkan kebiasaan masyarakat menggunakan transportasi publik tersebut.
Baca juga: Bahlil: Indonesia kenakan pajak ekspor lebih tinggi untuk bahan baku
Baca juga: DFSK libatkan minibus listrik Gelora E di KTT G20
Pewarta: Risbiani Fardaniah
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022
Tags: