Surabaya (ANTARA News) - Raja Dangdut H. Rhoma Irama menegaskan bahwa jihad lewat musik itu lebih efektif untuk mengubah perilaku manusia, karena itu dirinya memadukan musik dan dakwah.

"Jihad lewat musik itu lebih efektif, karena idol (idola) yang negatif akan melahirkan fans atau masyarakat yang negatif dan sebaliknya," kata pendiri dan pemusik kelompok musik Soneta itu di kampus Institut Agama Islam Negera (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, Jumat.

Ia mengemukakan, hal itu saat menyampaikan studium general bertajuk "Musik sebagai Media Dakwah" dan mendeklarasikan "Soneta Fans Club Indonesia" (SFCI) Jawa Timur yang diketuai H. Surya Aka di IAIN.

Menurut dia, peran strategis dari seni untuk mengubah manusia itu diakui salah seorang pemimpin dunia, Stalin, yang lebih suka memiliki seni atau budaya dibandingkan dengan kekuatan militer untuk kepemimpinannya.

"Stalin mengakui itu, tapi saya sempat dikritik Gus Dur bahwa tidak ada pintu dakwah untuk musik, karena musik itu otonom. Saya membenarkan Gus Dur, karena pintu untuk itu memang tidak ada. Tapi, saya sebagai seniman melihat celah ada, meski celah itu kecil, dan kecil itu sulit," katanya.

Menurut dia, celah yang kecil itu, karena musik dakwah itu bukan lirik religi dan agamis yang dinyanyikan, tapi lirik religi yang disatukan melalui "kawinisasi" atau harmonisasi antara lirik, melodi, dan "beat".

"Kawinisasi itu yang sulit, karena bukan sekadar lirik religi yang dinyanyikan, tapi lirik berunsur agama yang disatukan dengan melodi dan beat, tentu berbeda. Misalnya, saya menulis lirik `hai manusia... hormati ibumu...`, maka saya harus memadukan dengan melodi dan beat," katanya.

Pedangdut kelahiran Tasikmalaya pada 11 Desember 1946 itu menyebut kesulitan non-teknis juga ada yakni musik pada era tahun 1960-an itu identik dengan kemaksiatan.

"Kalau ada seniman shalat pasti dicemooh, karena seniman itu identik dengan meninggalkan shalat, minuman keras, pergaulan bebas, dan kemaksiatan lainnya, bahkan orkes gambus sekalipun ada yang tidak lepas dari mabuk," katanya.

Namun, katanya, realitas itu justru membuat dirinya resah. "Sebagai orang yang dikarunia jiwa seni, saya resah, karena itu saya berdoa dalam setiap shalat. Ya, Allah, seandainya musik itu memperlebar jalan ke neraka, tolong hentikan langkah saya," katanya.

Penyanyi yang akrab disapa "Bang Haji" itu sempat menangis saat menceritakan doa yang dibacakan dalam setiap shalat itu. "Akhirnya, saya mendirikan grup Soneta. Saya bertekad melakukan jihad lewat musik," ujarnya.

Untuk mengawali jihad itu, dirinya berusaha mengucapkan "assalamu`alaikum" saat memulai pentas. "Saya masih ingat, ucapan salam dalam pentas di Ancol itu sempat dilempari sandal dan lumpur, bahkan media massa juga mencerca saya melakukan komersialisasi agama," katanya.

Namun, ia mengemukakan, perjalanan waktu akhirnya membenarkan langkahnya. "Saat syuting `Menggapai Matahari` (1986) ada seorang dosen Unair yang tiba-tiba memeluk saya dan menyampaikan terima kasih. Ia menyatakan solusi untuk seluruh problematika kehidupannya ada dalam lagu-lagu saya," katanya.

Pengalaman bertemu dosen Universitas Airlangga (Unair) itulah yang diceritakan ulang saat dirinya diundang untuk berbicara dalam Konferensi Kebudayaan Islam Internasional di Amerika Serikat (AS).

"Profesor AS yang mengundang itu bilang bahwa lagu-lagu saya dipelajari di beberapa universitas, karena lirik lagu yang didengar dunia selama ini sepi dari makna, tapi lagu-lagu saya bermakna positif," katanya.

Oleh karena itu, katanya, di hadapan seniman dan budayawan dunia dalam konferensi itu, dirinya menyatakan bahwa musik itu bukan alat hura-hura, tapi di dalamnya ada pertanggungjawaban kepada Tuhan.

"Meski dalam pentas saya kadang-kadang ada juga anak-anak muda yang mabuk, tapi itu ibarat jamaah masjid yang pulang mencuri sandal, maka manfaat musik dakwah itu jauh lebih besar untuk jutaan orang daripada segelintir penggemar yang munkar itu," katanya. (*)