PAN usung sistem proporsional terbuka
21 Desember 2011 20:29 WIB
Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa (tengah), Ketua Majelis Pertimbangan, Amien Rais (kanan), dan Sekjen Taufik Kurniawan, saat rakor dan pengarahan di Rumah PAN, Jakarta, Rabu (21/12). (FOTO ANTARA/Reno Esnir)
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Pemenangan Pemilu Partai Amanat Nasional (PAN), Viva Yoga Mauladi, menegaskan bahwa partainya akan mengusung sistem proporsional terbuka atau penentuan calon anggota legislatif terpilih berdasarkan suara terbanyak pada Pemilu 2014.
"Direvisi UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, sikap PAN tetap mendukung sistem proposional terbuka (suara terbanyak) untuk menentukan calon legislatif terpilih. Di internal PAN telah diatur penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak. Caranya dengan menggunakan celah konstitusional di UU Pemilu," kata Viva Yoga di Jakarta, Rabu.
Dikatakannya, sejak Pemilu 1999 dalam menentukan caleg terpilih, PAN sudah menerapkan sistem tersebut meski di Pemilu 1999 dan 2004, menggunakan sistem proposional tertutup atau berdasarkan nomor urut.
Menurut Viva Yoga, dasar pemikiran PAN mengusung dan mendukung sistem proporsional terbuka karena sistem itu mampu meningkatkan hubungan yang intensif antara caleg terpilih dengan pemilihnya.
"Meski partai menempatkan yang bersangkutan di 'nomor sepatu', dan dia mendapatkan suara terbanyak, maka dapat terpilih," ujar anggota Panitia Khusus Revisi UU 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
Pertimbangan selanjutnya, kata Viva Yoga, sistem proporsional terbuka bersifat adil karena bagi calon legislatif yang bekerja keras dan membangun konstituen secara kontinu pasti akan terpilih di nomor urut berapa pun.
Jikalau sistem pemilu berdasarkan nomor urut, misalnya, memperoleh suara terbanyak di daerah pemilihan (dapil), dan perolehan suaranya itu tidak mencapai 100 persen bilangan pembagi pemilih (BPP), jangan harap terpilih. "Karena yang berhak adalah nomor urut satu. Sikap ini jelas tidak adil," ujarnya.
Anggota Komisi IV DPR RI itu menambahkan, untuk menjadi anggota dewan, akan terjadi persaingan yang terbuka dan masing-masing akan menunjukkan kemampuannya di hadapan konstituen. Dan, tentunya membuka kompetisi antarcaleg secara terbuka.
Ia memisalkan ada kecurangan dan penyimpangan yang dilakukan caleg, maka di dalam UU atau di internal partai perlu dirumuskan kode etik sebagai landasan nilai moral dalam berkompetisi. Hal ini juga akan menghilangkan budaya nepotisme dan oligarki dari pimpinan partai karena suasana kompetisi bebas akan mampu meningkatkan kualitas pemilu.
Selain itu, kata Viva Yoga, soal biaya kampanye dan sosialiasasi caleg, dalam sistem pemilu apa pun pasti akan lebih besar ditanggung oleh caleg dibanding partai.
"Bagi caleg yang bekerja sejak awal dalam rangka membangun konstituen, maka tidak akan mengeluarkan biaya terlalu besar. Tapi bila caleg hanya vote buying, tentu akan mengeluarkan biaya besar meski setelah diberi uang rakyat juga belum tentu memilihnya," ujar Viva Yoga.
Ia menyebutkan ada logika yang salah kalau soal kedisplinan anggota DPR akibat sistem proporsional terbuka akan menjadi lemah.
Soal disiplin atau tidak itu, menurut dia, bukan soal sistem pemilu yang diterapkan, melainkan tergantung kualitas anggota DPR RI, visi politik, dan komitmen moral, serta peraturan perundangan-undangan yang diterapkan.
Seluruh partai tentunya sudah mempunyai tata cara dan pedoman untuk memonitor kinerja anggota DPR RI, termasuk kedisiplinan. Semua tergantung kepada political will partai dan pimpinan DPR RI untuk melaksanakan peraturan dan kebijakan internal partai secara konsisten.
"Dari semua itu, sistem pemilu dengan suara terbanyak akan banyak memberikan manfaat bagi peningkatan kualitas demokrasi dan sistem kepartaian yang sehat dan kuat," kata Viva Yoga.
Sejauh ini, tiga fraksi di DPR RI, yakni Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), Fraksi Keadilan Sejahtera (FPKS),dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) mengusung sistem proporsional tertutup atau penentuan calon legislatif dengan sistem nomor urut. (PSO-134/S024)
"Direvisi UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, sikap PAN tetap mendukung sistem proposional terbuka (suara terbanyak) untuk menentukan calon legislatif terpilih. Di internal PAN telah diatur penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak. Caranya dengan menggunakan celah konstitusional di UU Pemilu," kata Viva Yoga di Jakarta, Rabu.
Dikatakannya, sejak Pemilu 1999 dalam menentukan caleg terpilih, PAN sudah menerapkan sistem tersebut meski di Pemilu 1999 dan 2004, menggunakan sistem proposional tertutup atau berdasarkan nomor urut.
Menurut Viva Yoga, dasar pemikiran PAN mengusung dan mendukung sistem proporsional terbuka karena sistem itu mampu meningkatkan hubungan yang intensif antara caleg terpilih dengan pemilihnya.
"Meski partai menempatkan yang bersangkutan di 'nomor sepatu', dan dia mendapatkan suara terbanyak, maka dapat terpilih," ujar anggota Panitia Khusus Revisi UU 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
Pertimbangan selanjutnya, kata Viva Yoga, sistem proporsional terbuka bersifat adil karena bagi calon legislatif yang bekerja keras dan membangun konstituen secara kontinu pasti akan terpilih di nomor urut berapa pun.
Jikalau sistem pemilu berdasarkan nomor urut, misalnya, memperoleh suara terbanyak di daerah pemilihan (dapil), dan perolehan suaranya itu tidak mencapai 100 persen bilangan pembagi pemilih (BPP), jangan harap terpilih. "Karena yang berhak adalah nomor urut satu. Sikap ini jelas tidak adil," ujarnya.
Anggota Komisi IV DPR RI itu menambahkan, untuk menjadi anggota dewan, akan terjadi persaingan yang terbuka dan masing-masing akan menunjukkan kemampuannya di hadapan konstituen. Dan, tentunya membuka kompetisi antarcaleg secara terbuka.
Ia memisalkan ada kecurangan dan penyimpangan yang dilakukan caleg, maka di dalam UU atau di internal partai perlu dirumuskan kode etik sebagai landasan nilai moral dalam berkompetisi. Hal ini juga akan menghilangkan budaya nepotisme dan oligarki dari pimpinan partai karena suasana kompetisi bebas akan mampu meningkatkan kualitas pemilu.
Selain itu, kata Viva Yoga, soal biaya kampanye dan sosialiasasi caleg, dalam sistem pemilu apa pun pasti akan lebih besar ditanggung oleh caleg dibanding partai.
"Bagi caleg yang bekerja sejak awal dalam rangka membangun konstituen, maka tidak akan mengeluarkan biaya terlalu besar. Tapi bila caleg hanya vote buying, tentu akan mengeluarkan biaya besar meski setelah diberi uang rakyat juga belum tentu memilihnya," ujar Viva Yoga.
Ia menyebutkan ada logika yang salah kalau soal kedisplinan anggota DPR akibat sistem proporsional terbuka akan menjadi lemah.
Soal disiplin atau tidak itu, menurut dia, bukan soal sistem pemilu yang diterapkan, melainkan tergantung kualitas anggota DPR RI, visi politik, dan komitmen moral, serta peraturan perundangan-undangan yang diterapkan.
Seluruh partai tentunya sudah mempunyai tata cara dan pedoman untuk memonitor kinerja anggota DPR RI, termasuk kedisiplinan. Semua tergantung kepada political will partai dan pimpinan DPR RI untuk melaksanakan peraturan dan kebijakan internal partai secara konsisten.
"Dari semua itu, sistem pemilu dengan suara terbanyak akan banyak memberikan manfaat bagi peningkatan kualitas demokrasi dan sistem kepartaian yang sehat dan kuat," kata Viva Yoga.
Sejauh ini, tiga fraksi di DPR RI, yakni Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP), Fraksi Keadilan Sejahtera (FPKS),dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) mengusung sistem proporsional tertutup atau penentuan calon legislatif dengan sistem nomor urut. (PSO-134/S024)
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2011
Tags: