Semarang (ANTARA News) - Nama Marwah Daud Ibrahim, perempuan kelahiran Soppeng, Sulawesi Selatan, 8 November 1956 itu sempat malang melintang di kancah perpolitikan Indonesia, namun beberapa tahun belakangan namanya seakan menghilang.

Ditemui di sela "Pelatihan Program Pendidikan Karakter Bagi Mahasiswa Perguruan Tinggi Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah" di Semarang, Selasa, ia mengaku sudah "meninggalkan" hiruk-pikuk perpolitikan sejak sekitar 2009 silam.

"Sekarang saya mengajar pendidikan karakter seperti ini, kebetulan Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengajak kerja sama untuk program pendidikan karakter bagi mahasiswa," katanya.

Marwah mengaku, sampai saat ini ada beberapa kawannya yang mengajak untuk kembali berpolitik, namun ia merasa menemukan kenyamanan dengan mengajar pendidikan karakter, meski berkeliling daerah harus dilakoninya.

"Ada kawan mengajak saya berpolitik lagi, tetapi saya masih nyaman mengajar seperti ini," kata Dewan Pembina Institut Integritas Indonesia (Intiga) yang diajak kerja sama Dikti menyelenggarakan program pendidikan karakter itu.

Mantan Ketua DPP Partai Golkar itu mengaku prihatin dengan kondisi mahasiswa sekarang ini yang tidak memiliki perencanaan masa depan, padahal orang tua mereka sudah mengeluarkan banyak uang untuk membiayai kuliahnya.

Akhirnya, kata dia, banyak lulusan perguruan tinggi yang menganggur karena tidak bisa bersaing mendapatkan pekerjaan, sebab saat kuliah mereka sekadar mengikuti kuliah tanpa perencanaan cita-cita dan masa depan kelak.

Perempuan yang kerap bersuara vokal tatkala masih berkecimpung di dunia politik itu menjelaskan, permasalahan yang dihadapi sektor pendidikan di Indonesia sebenarnya terletak pada perhatian pemerintah yang melulu fisik.

"Pengembangan pendidikan di Indonesia selama ini sifatnya lebih ke fisik, pembangunan kampus, dan sebagainya. Padahal, pengembangan karakter tak boleh dilupakan," kata penulis buku "Mengelola Hidup Merencanakan Masa Depan" (MHMMD) itu.

Buku yang berisi konsep pengembangan pendidikan karakter MHMMD itu kemudian menjadi rujukan program pendidikan karakter yang dilakukannya bersama Dikti dengan sasaran kalangan mahasiswa, baik PTN maupun PTS.

Untuk tahun ini, rencananya ada 12 kota, seperti Ambon, Mataram, Kupang, Kendari, Medan, Makassar, Banjarmasin, dan Semarang yang digelar program pendidikan karakter bekerja sama dengan PTN, PTS, dan Kopertis setempat.

Mantan pengajar program master Universitas Indonesia yang juga anggota Presidium Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) itu menjelaskan, setidaknya ada empat tahapan yang harus dilakukan dalam pendidikan karakter.

"Pertama, mengubah `mindset`, dari semula pesimistis menjadi optimistis. Kedua, pendampingan melalui berbagai pelatihan, misalnya menumbuhkan minat baca. Lebih pada pembiasaan-pembiasaan," katanya.

Ketiga, kata Marwah yang meraih gelar doktornya di American University Washington itu, pencarian tokoh-tokoh panutan yang bisa diteladani, dan terakhir adalah melalui kompetisi untuk membudayakan karakter-karakter unggul.
(U.KR-ZLS/I007)