Analis: Dampak inflasi dapat pengaruhi pendapatan emiten paruh kedua
23 Mei 2022 11:08 WIB
Ilustrasi - Pekerja membersihkan dinding dekat layar pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (28/4/2022). . ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/tom.
Jakarta (ANTARA) - Equity analyst PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Stifanus Sulistyo menilai dampak inflasi yang saat ini cenderung meningkat dapat mempengaruhi pendapatan emiten pada paruh kedua 2022.
Stifanus mengatakan laporan keuangan emiten pada kuartal pertama rata-rata cenderung kuat dengan hasilnya sesuai ekspektasi yang cenderung lebih baik. Sedangkan pada kuartal kedua, pemulihan aktivitas ekonomi dan dampak musiman perayaan Lebaran akan membantu pendapatan perusahaan.
"Untuk paruh kedua 2022, kita masih perlu terus melihat seberapa besar dampak dari inflasi terhadap daya beli dan profitabilitas perusahaan," ujar Stifanus lewat keterangan di Jakarta, Senin.
Ia memperkirakan inflasi walaupun meningkat secara relatif tetap lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lain, atau dibandingkan pada masa lalu saat bank sentral AS (Federal Reserve/Fed) melakukan pengetatan moneter.
Baca juga: Dolar bangkit dari kerugian besar, Fed AS berjuang kendalikan inflasi
Sementara itu di tengah peningkatan inflasi dan tantangan lain yang mempengaruhi kelancaran distribusi rantai pasokan dan berdampak besar terhadap harga komoditas dunia, ia memperkirakan kinerja sektor konsumer cenderung kurang bergairah karena tekanan biaya produksi dan daya beli.
"Dari sisi daya beli, inflasi akan menekan daya beli, namun akan sedikit diredam oleh peningkatan aktivitas ekonomi yang akan meningkatkan perputaran bisnis," kata Stifanus.
Sementara itu, lanjutnya, perusahaan konsumer juga menghadapi peningkatan biaya produksi yang akan membutuhkan kenaikan harga jual, jika produsen ingin menjaga profitabilitas.
"Perusahaan dengan pricing power, biasanya karena memiliki merek yang kuat dan basis konsumen yang loyal, akan lebih mudah meningkatkan harga tanpa mengurangi volume penjualan," ujar Stifanus.
Baca juga: BPS catat inflasi cukup tinggi pada April, capai 0,95 persen
Untuk sektor telekomunikasi ia menilai kompetisi perusahaan telekomunikasi saat ini cukup kondusif dan berangsur bergerak ke arah yang lebih baik. Apalagi baru saja terjadi konsolidasi antara dua pemain penting yaitu Indosat dan Hutchinson yang enderung akan mengurangi kompetisi di kemudian hari.
"Kita melihat sektor ini akan membukukan kinerja yang stabil dan cenderung bertumbuh. Namun dari sisi valuasi, model bisnisnya yang padat modal sedikit banyak akan terpengaruh oleh sentimen kenaikan suku bunga global," kata Stifnanus.
Untuk perusahaan infrastruktur telekomunikasi (menara telekomunikasi), dalam jangka pendek ia memperkirakan akan mendapat tantangan dari berkurangnya operator telekomunikasi karena konsolidasi. Hal itu juga akan memperkuat permintaan pada jangka panjangnya karena konsolidasi dapat meningkatkan kapasitas belanja modal.
Baca juga: Saham Australia merugi 4 hari beruntun, tertekan dampak inflasi AS
Stifanus mengatakan laporan keuangan emiten pada kuartal pertama rata-rata cenderung kuat dengan hasilnya sesuai ekspektasi yang cenderung lebih baik. Sedangkan pada kuartal kedua, pemulihan aktivitas ekonomi dan dampak musiman perayaan Lebaran akan membantu pendapatan perusahaan.
"Untuk paruh kedua 2022, kita masih perlu terus melihat seberapa besar dampak dari inflasi terhadap daya beli dan profitabilitas perusahaan," ujar Stifanus lewat keterangan di Jakarta, Senin.
Ia memperkirakan inflasi walaupun meningkat secara relatif tetap lebih baik dibandingkan dengan negara-negara lain, atau dibandingkan pada masa lalu saat bank sentral AS (Federal Reserve/Fed) melakukan pengetatan moneter.
Baca juga: Dolar bangkit dari kerugian besar, Fed AS berjuang kendalikan inflasi
Sementara itu di tengah peningkatan inflasi dan tantangan lain yang mempengaruhi kelancaran distribusi rantai pasokan dan berdampak besar terhadap harga komoditas dunia, ia memperkirakan kinerja sektor konsumer cenderung kurang bergairah karena tekanan biaya produksi dan daya beli.
"Dari sisi daya beli, inflasi akan menekan daya beli, namun akan sedikit diredam oleh peningkatan aktivitas ekonomi yang akan meningkatkan perputaran bisnis," kata Stifanus.
Sementara itu, lanjutnya, perusahaan konsumer juga menghadapi peningkatan biaya produksi yang akan membutuhkan kenaikan harga jual, jika produsen ingin menjaga profitabilitas.
"Perusahaan dengan pricing power, biasanya karena memiliki merek yang kuat dan basis konsumen yang loyal, akan lebih mudah meningkatkan harga tanpa mengurangi volume penjualan," ujar Stifanus.
Baca juga: BPS catat inflasi cukup tinggi pada April, capai 0,95 persen
Untuk sektor telekomunikasi ia menilai kompetisi perusahaan telekomunikasi saat ini cukup kondusif dan berangsur bergerak ke arah yang lebih baik. Apalagi baru saja terjadi konsolidasi antara dua pemain penting yaitu Indosat dan Hutchinson yang enderung akan mengurangi kompetisi di kemudian hari.
"Kita melihat sektor ini akan membukukan kinerja yang stabil dan cenderung bertumbuh. Namun dari sisi valuasi, model bisnisnya yang padat modal sedikit banyak akan terpengaruh oleh sentimen kenaikan suku bunga global," kata Stifnanus.
Untuk perusahaan infrastruktur telekomunikasi (menara telekomunikasi), dalam jangka pendek ia memperkirakan akan mendapat tantangan dari berkurangnya operator telekomunikasi karena konsolidasi. Hal itu juga akan memperkuat permintaan pada jangka panjangnya karena konsolidasi dapat meningkatkan kapasitas belanja modal.
Baca juga: Saham Australia merugi 4 hari beruntun, tertekan dampak inflasi AS
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2022
Tags: