Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai sekitar 5,3 persen sampai 5,9 persen pada 2023 dengan mempertimbangkan berbagai risiko dan potensi pemulihan ekonomi nasional.

“Pokok-pokok kebijakan makro dan fiskal tahun depan berbeda dengan tahun sebelumnya karena berbagai hal,” katanya dalam Rapat Paripurna DPR RI terkait Penyampaian KEM dan PPKF RAPBN 2023 di Jakarta, Jumat.

Sri Mulyani menjelaskan Kerangka Ekonomi Makro (KEM) dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PPKF) tahun 2023 sendiri disusun berdasarkan kondisi Indonesia yang memasuki tahap transisi ke masa endemi.

Baca juga: Sri Mulyani: Anggaran perlindungan sosial ditambah Rp18,6 triliun

Selain pertumbuhan ekonomi, pemerintah juga mengusulkan kisaran indikator ekonomi makro lainnya yang digunakan sebagai asumsi dasar penyusunan RAPBN 2023.

Indikator ekonomi makro ini meliputi inflasi tahun depan yang berada di kisaran 2,0 persen hingga 4,0 persen, nilai tukar rupiah Rp14.300 hingga Rp14.800 per dolar AS dan tingkat suku bunga SBN 10 tahun sekitar 7,34 persen hingga 9,16 persen.

Kemudian harga minyak mentah Indonesia 80 dolar AS sampai 100 dolar AS per barel, lifting minyak bumi 619 ribu sampai 680 ribu barel per hari dan lifting gas 1,02 juta hingga 1,11 juta barel setara minyak per hari.

Sri Mulyani menegaskan dinamika terkait kenaikan inflasi, biaya bunga dan pengetatan moneter dunia harus direspons dengan disiplin fiskal yang tepat.

Oleh sebab itu, kebijakan fiskal tahun 2023 didesain agar mampu merespons dinamika perekonomian, menjawab tantangan dan mendukung pencapaian target pembangunan secara optimal.

Terlebih lagi, proses penguatan pemulihan ekonomi nasional juga harus terus dijaga untuk memperkuat fondasi ekonomi dan akselerasi tingkat pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, upaya mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif turut penting untuk pencapaian sasaran pembangunan jangka menengah dan panjang agar Indonesia dapat keluar dari jebakan kelas menengah.

Baca juga: Menkeu: Beban subsidi dan kompensasi capai Rp443,6 triliun pada 2022

Sri Mulyani mengatakan pemerintah akan memperkokoh struktur perekonomian nasional dan tingkat produktivitas nasional melalui percepatan transformasi ekonomi.

Akselerasi agenda reformasi struktural pasca pandemi COVID-19 mutlak diperlukan melalui peningkatan kualitas SDM, pembangunan infrastruktur serta reformasi birokrasi dan regulasi.

Penguatan program pendidikan, kesehatan serta perlindungan sosial sangat krusial dalam mengatasi isu fundamental perekonomian termasuk rendahnya tingkat produktivitas nasional.

“Peningkatan produktivitas turut diakselerasi untuk memperkuat sisi supply,” ujarnya.

Penguatan hilirisasi manufaktur, adopsi ekonomi digital dan pengembangan ekonomi hijau diyakini akan menjadi sumber pertumbuhan baru di masa depan.

Dorongan kepada keberlanjutan tahapan industri manufaktur akan memacu pengembangan produk-produk dalam negeri yang memiliki nilai tambah lebih tinggi dan mampu berkompetisi di pasar global.