Pengamat: KTT Durban membuat PR bagi Indonesia
14 Desember 2011 08:37 WIB
Konferensi Perubahan Iklim Ketua Delegasi RI yang juga Utusan Khusus Presiden RI Bidang Pengendalian Perubahan Iklim Rachmat Witoelar membacakan pidato dalam sesi "Joint High-Level Segment Plenary COP17/CMP7" di Konferensi Perubahan Iklim dari Badan Dunia untuk Perubahan Iklim di Durban, Afrika Selatan, Kamis (8/12). Indonesia merupakan salah satu dari 194 negara yang mengikuti Konferensi Perubahan Iklim tahunan di Durban, berlangsung 28 November - 9 Desember 2011. (FOTO ANTARA/Nur R Fajar) ()
Jakarta (ANTARA News) - Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim ke-17 di Durban, Afrika Selatan, yang menghasilkan beberapa kesepakatan menimbulkan lebih banyak pertanyaan lanjutan akan keseriusan negara-negara yang terlibat untuk menanggulangi perubahan iklim dan membuat pekerjaan rumah bagi Indonesia, kata seorang pengamat perubahan iklim di Australian National University.
"Hasil kesepakatan tersebut juga malahan membuat pekerjaan rumah tambahan bagi Indonesia dan negara lain untuk bekerja lebih keras karena sampai saat ini belum ada payung perjanjian global yang bisa menjamin bahwa stabilisasi iklim bisa dicapai secara global," kata Fitrian Ardiansyah dalam surat elektroniknya yang diterima ANTARA di Jakarta, Rabu.
KTT yang berlangsung dua pekan dan dengan perpanjangan waktu satu setengah hari berakhir pada Minggu (11/12).
Negosiasi yang cukup melelahkan di KTT Durban akhirnya menghasilkan beberapa kesepakatan, yang dikenal sebagai Landasan Durban (Durban Platform) di antaranya berupa disepakatinya periode kedua Protokol Kyoto, peta jalan untuk pembahasan kesepakatan yang mengikat untuk pengurangan emisi seluruh negara, Green Climate Fund, Komite Adaptasi dan REDD+.
Fitrian, yang menanggapi hasil kesepakatan tersebut dan terlebih dampaknya terhadap bumi serta Indonesia secara khusus, mengatakan bahwa didapatkannya kesepakatan tentang periode kedua Protokol Kyoto, yang akan dimulai pada Januari 2013 sepertinya sangat penting dikarenakan satu-satunya perjanjian yang mengikat 37 negara industri (maju) untuk pengurangan emisi sekitar lima persen berdasarkan tingkatan tahun 1990, akan berakhir periode pertamanya pada tahun 2012.
"Hanya saja, yang perlu dipertanyakan, apakah di periode kedua tersebut, Protokol Kyoto akan mempunyai kekuatan yang sama karena beberapa negara maju seperti Kanada, Jepang dan Rusia sempat menyatakan untuk tidak akan terlibat di periode kedua ini apalagi ditambah bahwa Amerika Serikat memang tidak pernah meratifikasi protokol ini," katanya.
Mengenai kesepakatan akan peta jalan untuk mendapatkan kesepakatan yang mengikat bagai pengurangan emisi seluruh negara yang diharapkan bisa dicapai pada tahun 2015, dan berlaku pada 2020, dia mengatakan kesepakatan itu terkesan sebagai taktik mengulur waktu dan dikhawatirkan bahwa emisi yang dilepaskan ke atmosfir sudah melewati ambang batas untuk manusia bisa melakukan stabilisasi iklim agar tidak menimbulkan dampak yang parah.
Menurut dia, tidak ada jaminan bahwa kesepakatan tersebut nantinya bisa mengatur suhu rata-rata muka bumi menjadi di bawah dua derajat Celsius dikarenakan tidak adanya komitmen baru dari negara-negara yang terlibat sejak Kopenhagen.
"Komitmen yang ada sekarang terhitung malahan bisa menjurus kepada peningkatan suhu rata-rata muka bumi yang bisa mencapai 3.5 derajat Celsius lebih," kata Firian.
Dia juga mengatakan tidak ada jaminan bahwa kesepakatan yang dicapai nantinya bisa diratifikasi oleh negara-negara yang terlibat.
Pengalaman Protokol Kyoto, katanya, menunjukkan butuh waktu yang cukup lama untuk banyak negara meratifikasi protokol tersebut.
Mengenai kesepakatan akan desain dan rencana kerja Green Climate Fund, dia berpendapat terdapat kesepakatan untuk mobilisasi pendanaan dari sumber-sumber pemerintah dan swasta, namun yang jadi pertanyaan adalah bagaimana realisasinya ke depan.
Hal ini dikarenakan banyak negara yang biasanya akan berdalih dengan krisis keuangan global dan kemudian tidak akan menepati janjinya mengucurkan pendanaan yang diperlukan untuk mengurangi emisi dan beradaptasi terhadap perubahan iklim, terutama untuk negara berkembang.
Kesepakatan akan pendanaan REDD+ dari sumber publik, swasta dan juga mekanisme pasar walau tidak tercapai kesepakatan akan jendela khusus dari Green Climate Fund untuk REDD+ bisa membuka peluang untuk investasi baru dan jangka panjang untuk REDD+, katanya.
"Hanya saja banyak aspek lainnya tentang REDD+ tidak didapatkan kesepakatan di Durban dan hal ini bisa dikategorikan akan mempersulit pengembangan REDD+ yang lebih kredibel ke depannya," kata Fitrian, penerima "Australian Leadership Award and Allison Sudradjat Award".
Tentang kesepakatan akan terbentuknya Komite Adaptasi, dia berpendapat terbentuknya komite itu merupakan satu langkah penting untuk membantu negara-negara yang rentan akan dampak perubahan iklim, termasuk Indonesia. (M016)
"Hasil kesepakatan tersebut juga malahan membuat pekerjaan rumah tambahan bagi Indonesia dan negara lain untuk bekerja lebih keras karena sampai saat ini belum ada payung perjanjian global yang bisa menjamin bahwa stabilisasi iklim bisa dicapai secara global," kata Fitrian Ardiansyah dalam surat elektroniknya yang diterima ANTARA di Jakarta, Rabu.
KTT yang berlangsung dua pekan dan dengan perpanjangan waktu satu setengah hari berakhir pada Minggu (11/12).
Negosiasi yang cukup melelahkan di KTT Durban akhirnya menghasilkan beberapa kesepakatan, yang dikenal sebagai Landasan Durban (Durban Platform) di antaranya berupa disepakatinya periode kedua Protokol Kyoto, peta jalan untuk pembahasan kesepakatan yang mengikat untuk pengurangan emisi seluruh negara, Green Climate Fund, Komite Adaptasi dan REDD+.
Fitrian, yang menanggapi hasil kesepakatan tersebut dan terlebih dampaknya terhadap bumi serta Indonesia secara khusus, mengatakan bahwa didapatkannya kesepakatan tentang periode kedua Protokol Kyoto, yang akan dimulai pada Januari 2013 sepertinya sangat penting dikarenakan satu-satunya perjanjian yang mengikat 37 negara industri (maju) untuk pengurangan emisi sekitar lima persen berdasarkan tingkatan tahun 1990, akan berakhir periode pertamanya pada tahun 2012.
"Hanya saja, yang perlu dipertanyakan, apakah di periode kedua tersebut, Protokol Kyoto akan mempunyai kekuatan yang sama karena beberapa negara maju seperti Kanada, Jepang dan Rusia sempat menyatakan untuk tidak akan terlibat di periode kedua ini apalagi ditambah bahwa Amerika Serikat memang tidak pernah meratifikasi protokol ini," katanya.
Mengenai kesepakatan akan peta jalan untuk mendapatkan kesepakatan yang mengikat bagai pengurangan emisi seluruh negara yang diharapkan bisa dicapai pada tahun 2015, dan berlaku pada 2020, dia mengatakan kesepakatan itu terkesan sebagai taktik mengulur waktu dan dikhawatirkan bahwa emisi yang dilepaskan ke atmosfir sudah melewati ambang batas untuk manusia bisa melakukan stabilisasi iklim agar tidak menimbulkan dampak yang parah.
Menurut dia, tidak ada jaminan bahwa kesepakatan tersebut nantinya bisa mengatur suhu rata-rata muka bumi menjadi di bawah dua derajat Celsius dikarenakan tidak adanya komitmen baru dari negara-negara yang terlibat sejak Kopenhagen.
"Komitmen yang ada sekarang terhitung malahan bisa menjurus kepada peningkatan suhu rata-rata muka bumi yang bisa mencapai 3.5 derajat Celsius lebih," kata Firian.
Dia juga mengatakan tidak ada jaminan bahwa kesepakatan yang dicapai nantinya bisa diratifikasi oleh negara-negara yang terlibat.
Pengalaman Protokol Kyoto, katanya, menunjukkan butuh waktu yang cukup lama untuk banyak negara meratifikasi protokol tersebut.
Mengenai kesepakatan akan desain dan rencana kerja Green Climate Fund, dia berpendapat terdapat kesepakatan untuk mobilisasi pendanaan dari sumber-sumber pemerintah dan swasta, namun yang jadi pertanyaan adalah bagaimana realisasinya ke depan.
Hal ini dikarenakan banyak negara yang biasanya akan berdalih dengan krisis keuangan global dan kemudian tidak akan menepati janjinya mengucurkan pendanaan yang diperlukan untuk mengurangi emisi dan beradaptasi terhadap perubahan iklim, terutama untuk negara berkembang.
Kesepakatan akan pendanaan REDD+ dari sumber publik, swasta dan juga mekanisme pasar walau tidak tercapai kesepakatan akan jendela khusus dari Green Climate Fund untuk REDD+ bisa membuka peluang untuk investasi baru dan jangka panjang untuk REDD+, katanya.
"Hanya saja banyak aspek lainnya tentang REDD+ tidak didapatkan kesepakatan di Durban dan hal ini bisa dikategorikan akan mempersulit pengembangan REDD+ yang lebih kredibel ke depannya," kata Fitrian, penerima "Australian Leadership Award and Allison Sudradjat Award".
Tentang kesepakatan akan terbentuknya Komite Adaptasi, dia berpendapat terbentuknya komite itu merupakan satu langkah penting untuk membantu negara-negara yang rentan akan dampak perubahan iklim, termasuk Indonesia. (M016)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011
Tags: