Pelaku film nasional tolak investor asing
12 Desember 2011 17:30 WIB
Salah satu poster film nasional yang diangkat dari cerita klasik Sunda dipajang di satu bioskop di Bandung, beberapa bulan lalu. Produktivitas film nasional yang bermutu dengan kualitas cerita dan akting yang baik harus diutamakan ketimbang yang cuma mengejar keuntungan finansial belaka. (FOTO ANTARA/Agus Bebeng)
Jakarta (ANTARA News) - Di balik kenikmatan menyimak film di gedung bioskop, ada industri besar dan politik perdagangan di baliknya. Karena itulah maka masyarakat perfilman nasional menolah wacana pembukaan jaringan bioskop asing (lagi) di Indonesia.
"Akan makin menyulitkan produksi film nasional untuk bisa bertumbuh lebih baik. Kami tidak setuju bioskop asing masuk ke Indonesia, karena kehadirannya bukan meningkatkan produksi film nasional bahkan sebaliknya," kata Oldy Mulya, di Jakarta, Senin.
Tampaknya akan lain halnya jika jaringan bioskop mancanegara itu justru mampu merangsang produktivitas film-film nasional yang bermutu.
Selain jaringan sinema 21 yang dimotori kepentingan industri film Amerika Serikat, jaringan bioskop serupa Korea Selatan dari Lotte Group, akan masuk Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, mereka akan membangun 100 bioskop di seluruh Indonesia.
Salah satu alasan yang diajukan pihak Korea Selatan adalah lebih mendekatkan kebudayaan negeri itu kepada masyarakat Indonesia.
Rencana investor asing itu bermula dari rencana pencabutan bioskop dari Daftar Negative Investasi (DNI) sehingga membuka kran investasi asing di bidang perfilman.
Mulya yang juga pemilik Maxima Pictures menambahkan, kehadiran bioskop asing justru akan mematikan film nasional, karena itu perlu diwaspadai. Investor asing dari Korea itu, menurut dia berencana akan membuka bioskopnya di Gandaria, Jakarta Pusat.
Dia mengatakan, eksistensi perfilman nasional, salah satunya dikarenakan keberadaan bioskop domestik. Karena bioskop domestik tetap memberikan jatah tayang, meskipun jumlah penontonnya tidak sebanyak penonton film impor dari Amerika.
"Apabila Lotte Group diperbolehkan membuka bioskop, apakah film nasional akan mendapat jatah tayang yang sama dengan filmnya," ujarnya.
Dia mengaku pesimis bioskop asing akan memperhatikan film nasional, karena itu pemerintah harus melindungi perfilman nasional dengan memperhitungkan dampak bagi industri film nasional.
Jadi pemerintah tidak hanya melihat nilai investasi yang masuk saja melainkan juga melihat kepentingan strategis dari investor asing itu.
"Situasi ini, akan membuat film nasional makin tertekan. Karena harus bersaing dengan film asing, selain film impor dari Amerika," katanya.
"Saya tidak setuju menyebut film Korea Selatan lebih baik dari film nasional, apalagi jika industri film nasional didukung oleh kebijakan pemerintah. Namun kebijakan pemerintah cenderung menekannya seperti yang terjadi saat ini," ujarnya.
Akan tetapi, kenyataan di tengah masyarakat berkata beda. Banyak sekali film nasional yang bertema dangkal dengan kualitas cerita yang tidak mendidik beredar. Sangat berbeda dengan film-film nasional yang banyak memenangi aneka festival film internasional namun justru jarang beredar di Tanah Air. (ANT)
"Akan makin menyulitkan produksi film nasional untuk bisa bertumbuh lebih baik. Kami tidak setuju bioskop asing masuk ke Indonesia, karena kehadirannya bukan meningkatkan produksi film nasional bahkan sebaliknya," kata Oldy Mulya, di Jakarta, Senin.
Tampaknya akan lain halnya jika jaringan bioskop mancanegara itu justru mampu merangsang produktivitas film-film nasional yang bermutu.
Selain jaringan sinema 21 yang dimotori kepentingan industri film Amerika Serikat, jaringan bioskop serupa Korea Selatan dari Lotte Group, akan masuk Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, mereka akan membangun 100 bioskop di seluruh Indonesia.
Salah satu alasan yang diajukan pihak Korea Selatan adalah lebih mendekatkan kebudayaan negeri itu kepada masyarakat Indonesia.
Rencana investor asing itu bermula dari rencana pencabutan bioskop dari Daftar Negative Investasi (DNI) sehingga membuka kran investasi asing di bidang perfilman.
Mulya yang juga pemilik Maxima Pictures menambahkan, kehadiran bioskop asing justru akan mematikan film nasional, karena itu perlu diwaspadai. Investor asing dari Korea itu, menurut dia berencana akan membuka bioskopnya di Gandaria, Jakarta Pusat.
Dia mengatakan, eksistensi perfilman nasional, salah satunya dikarenakan keberadaan bioskop domestik. Karena bioskop domestik tetap memberikan jatah tayang, meskipun jumlah penontonnya tidak sebanyak penonton film impor dari Amerika.
"Apabila Lotte Group diperbolehkan membuka bioskop, apakah film nasional akan mendapat jatah tayang yang sama dengan filmnya," ujarnya.
Dia mengaku pesimis bioskop asing akan memperhatikan film nasional, karena itu pemerintah harus melindungi perfilman nasional dengan memperhitungkan dampak bagi industri film nasional.
Jadi pemerintah tidak hanya melihat nilai investasi yang masuk saja melainkan juga melihat kepentingan strategis dari investor asing itu.
"Situasi ini, akan membuat film nasional makin tertekan. Karena harus bersaing dengan film asing, selain film impor dari Amerika," katanya.
"Saya tidak setuju menyebut film Korea Selatan lebih baik dari film nasional, apalagi jika industri film nasional didukung oleh kebijakan pemerintah. Namun kebijakan pemerintah cenderung menekannya seperti yang terjadi saat ini," ujarnya.
Akan tetapi, kenyataan di tengah masyarakat berkata beda. Banyak sekali film nasional yang bertema dangkal dengan kualitas cerita yang tidak mendidik beredar. Sangat berbeda dengan film-film nasional yang banyak memenangi aneka festival film internasional namun justru jarang beredar di Tanah Air. (ANT)
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2011
Tags: