Jakarta (ANTARA News) - Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Hartadi A. Sarwono, mengatakan bahwa nilai tukar rupiah pada 2012 rata-rata akan berada di posisi Rp9.000 per dolar Amerika Serikat (AS).

Nilai tukar itu lebih rendah dibanding asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 sebesar Rp8.800 per dolar AS, katanya usai acara CEO Forum di Jakarta, Senin.

"Nilai tukar harian rupiah maksimal Rp9.100 per dolar AS, kemudian akan menguat lagi di bawah itu. Jadi dibanding asumsi APBN 2012, akan terjadi pelemahan karena waktu dibuat kan belum ada krisis. Jadi rata-rata setahun rupiah sekitar Rp8.900 hingga Rp9.000 per dolar AS," kata Hartadi.

Dikatakannya, krisis ekonomi di Eropa mendorong terjadinya pelarian modal asing yang ada di Indonesia, sehingga akan mempengaruhi pelemahan rupiah dan akan terus berlanjut pada 2012 mendatang.

"Kita belum tahu sampai kapan krisis Eropa akan berakhir. Namun pada 2012, neraca pembayaran diperkirakan masih surplus, sehingga akan memberi pengaruh positif terhadap pergerakan rupiah," katanya.

Begitu juga mengenai kebijakan pencatatan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2012, lanjut Hartadi akan membantu BI menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

Dikatakannya, meski sejak September lalu nilai tukar rupiah mulai melemah akibat krisis ekonomi di Eropa, namun secara rata-rata setahun masih menguat 0,68 persen dibanding posisi pada akhir tahun 2010.

Menghadapi dampak krisis Eropa ini, katanya, BI tetap menyiapkan dua strategi, yaitu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan Surat Berharga Negara (SBN). Kedua upaya itu dilakukan berbarengan yaitu dengan menjual valas yang dibutuhkan investor, namun hasilnya dalam bentuk rupiah diberikan SBN.

Kebijakan ini, sudah terlihat hasil positifnya karena nilai SBN tidak anjlok, meski banyak investor asing yang melepasnya. Sementara nilai tukar rupiah juga tidak terlalu berfluktuatif karena valas yang disediakan BI cukup memenuhi permintaan.

Cadangan devisa yang sebesar 111,32 miliar dolar AS, kata Hartadi, cukup kuat untuk menjaga kestabilan moneter dan sistem keuangan Indonesia. Apalagi ditunjang dengan necara pembayaran yang masih surplus sekitar 5 miliar dolar AS.

Dengan kondisi seperti itu, menurut dia, pertumbuhan ekonomi pada 2012 diperkirakan akan tetap tumbuh antara 6,3 hingga 6,7 persen.
(T.D012/A027)