Purwokerto (ANTARA) - Ilmuwan komunikasi Herbert Marshall McLuhan pernah mengatakan bahwa jenis media yang dipergunakan oleh seseorang akan mempengaruhi kebiasaan dan juga cara berpikirnya.

Pernyataan tersebut sangat relevan jika dikaitkan dengan pembahasan mengenai membaca melalui buku cetak (printed) serta membaca melalui buku elektronik (e-book).

Dalam artian, kebiasaan membaca buku cetak dan kebiasaan membaca buku elektronik bisa saja membentuk cara berfikir yang berbeda.

Koordinator Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Dr. Edi Santoso mengatakan kebiasaan membaca buku cetak akan membangun tradisi berpikir secara runtut, linier, sistematis dan mendalam.

Sementara membaca buku elektronik membentuk cara berpikir yang lebih kompleks dan tidak beraturan. Karena itu, buku dalam bentuk cetakan tetap perlu dijaga keberadaannya.

Kendati demikian, seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta perkembangan tren penggunaan perangkat digital. Maka, penyediaan buku-buku elektronik juga merupakan langkah tak terelakkan.

Hal itu diperlukan mengingat tantangan untuk menumbuhkan minat baca memang berhadapan dengan budaya digital yang lebih memanjakan indera.

Terlebih lagi, media digital telah menjadi semacam "candu" bagi generasi Y dan Z, yang semakin dapat menjauhkan mereka dari tradisi membaca buku yang lebih berdimensi teks.

Baca juga: Perpustakaan dituntut ambil peran utama peningkatan literasi

Momentum Hari Buku

Untuk itulah, Hari Buku Nasional yang diperingati setiap tanggal 17 Mei dapat menjadi momentum yang tepat untuk meningkatkan minat dan budaya membaca. Khususnya yang berdimensi teks tadi.

Menurut pengajar mata kuliah Filsafat Komunikasi itu, perlu sejumlah program strategis dalam meningkatkan minat baca bagi generasi muda.

Salah satunya adalah dengan cara merevitalisasi perpustakaan yang ada, agar menarik minat orang untuk datang. Menurutnya, perpustakaan bisa dijadikan ruang publik untuk berbagai kegiatan, sehingga orang secara tidak langsung bisa mendekat.

Sebut saja kegiatan pentas seni, kegiatan seminar atau diskusi buku atau kegiatan atraktif lainnya yang dapat menarik minat masyarakat khususnya generasi muda untuk datang.

Untuk itulah, perpustakaan harus dibuat se-inklusif mungkin. Sehingga siapapun bisa datang dan merasakan kenyamanan di dalamnya. Bisa saja dengan membuat kafe atau toko di dalamnya.

Pada intinya, perlu adanya inovasi dan juga kreativitas guna membuat perpustakaan itu menjadi tempat yang menarik. Khususnya bagi para milenial.

Pemerintah daerah dan pihak terkait lainnya perlu membuat program strategis yang menarik guna mendorong masyarakat mau berkunjung ke perpustakaan.

Misalkan dengan membuat aturan yang mudah untuk peminjaman buku, lalu menyediakan ruang yang nyaman untuk para pengunjung. Hingga dengan cara menawarkan buku-buku yang variatif dari berbagai masa.
​​​​​​
Yang juga tidak kalah penting adalah mengintensifkan kampanye-kampanye cinta baca, misalnya membuat kampanye dengan branding bahwa buku itu keren, bahwa milenial itu perlu membaca buku dan lain sebagainya.

Tentu saja efektifitas program ini perlu terus dikaji dan ditimbang, agar ke depan dapat terus berjalan dengan optimal sesuai dengan target dan perlu penyesuaian kampanye dengan khalayak yang menjadi sasaran.

Bahkan jika diperlukan, peran-peran influencer yang semakin signifikan bisa dioptimalkan dengan menjadikan mereka sebagai duta baca.

Baca juga: Guru dan orang tua berperan tumbuhkan kebiasaan baca anak

Bangun Tradisi

Sosiolog dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Nanang Martono menambahkan bahwa upaya lain yang perlu dilakukan adalah membangun tradisi membaca di sekolah dan di kampus-kampus. Tugas-tugas guru harus berbasis buku, sehingga tidak hanya menjadikan media sosial sebagai media pembelajaran.

Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unsoed bidang sosiologi pendidikan tersebut mengatakan guru-guru dan para dosen perlu membiasakan siswa membaca buku.

Secara teknis hal ini dapat dilakukan dengan memberi tugas membaca buku, memberi tugas meringkas buku, membuat lomba resensi buku, atau juga tugas lainnya yang terkait dengan buku. Dengan demikian maka akan ada pembiasaan membaca buku, bisa juga dilakukan setiap hari sebelum pembelajaran dimulai.

Kendati demikian, dia juga mengingatkan bahwa perkembangan era digital telah mendorong terjadinya transformasi bentuk buku dan mendorong hadirnya buku dalam bentuk buku elektronik.

Sebagai bentuk adaptasi terhadap perkembangan zaman, menurut dia, yang terpenting adalah penekanannya mengenai bagaimana memotivasi siswa agar mereka mau membaca buku, entah buku cetak atau buku elektronik.

Langkah ini tentunya dapat dilakukan kepada siswa sekolah mulai dari tingkat dasar hingga tingkat atas bahkan kepada mahasiswa di bangku kuliah. Sehingga kebiasaan membaca yang dipupuk sejak dini akan menjadikan aktivitas tersebut sebagai bagian dari gaya hidup mereka.

Walaupun upaya meningkatkan minat baca memiliki tantangan yang lebih berat terutama untuk membaca buku cetak karena tradisi membaca yang selama ini masih terus dibangun dengan baik, kemudian digempur dengan beragam perangkat digital multimedia yang lebih atraktif.

Namun, dengan bergerak secara bersama-sama menggencarkan kampanye gemar membaca, maka diharapkan akan terus meningkatkan minat baca di kalangan generasi muda.

Mengingat adanya kata-kata bijak bahwa buku adalah jendela dunia, maka sudah seharusnya budaya membaca buku diperkuat lagi dan lagi.

Dengan membaca buku, maka seperti melihat ke luar jendela. Menyaksikan berbagai pemandangan. Hal baru, ilmu baru. Sehingga banyak hal yang bisa direkam di dalam ingatan.

Bukankah buku juga adalah teman yang paling baik yang bisa diandalkan untuk menemani segala kondisi?

Baca juga: Perpustakaan digital yang mudah diakses dapat menjaga minat baca
Baca juga: Ketua DPD minta generasi milenial tingkatkan minat baca