Jakarta (ANTARA News) - Socrates Brasileiro Sampaio de Souza Vieira de Oliveira. Nama panggungnya Socrates, lahir pada 19 February 1954 di Belem do Para, Brasil. Punya sederet predikat jempolan, sebagai mantan kapten tim nasional Brasil, sebagai gelandang handal, dan sebagai aktivis laga politik. Oke!

Aneka predikat itu seakan turut merayakan Brasil sebagai "negara sepak bola" (o pais do futebol). Sampai-sampai ajang pemilihan umum di negeri itu kerapkali disekrup dengan penyelenggaraan Piala Dunia FIFA. Wah.

Sehebat apapun politik merayu sepak bola, sekuat apapun politik meracuni sepak bola, akhirnya sang Maestro menyerah kalah kepada jawaban atas pertanyaan, bahwa keberadaan manusia menuju kepada kematian (Sein-zum-Tode), meminjam istilah filsuf Heidegger.

Dapat dibaca bahwa keberadaan manusia bukan menuju kepada politik, tetapi kepada sukacita sepak bola. Buktinya? Dan Socrates menggenapi keniscayaan itu.

Ia meninggal dunia karena menderita infeksi usus, Minggu (4/12/2011), kata juru bicara Rumah Sakit Albert Einsten, Sao Paulo, Brasil. Socrates meninggal di usia 57 tahun. Ia mengeja alfabet laga kehidupan bahwa setiap orang mendapati dirinya dalam kondisi sama bahwa setiap manusia "terkutuk" untuk mati.

Disebut-sebut sebagai pesepakbola yang berusaha memahami siapa sebenarnya manusia, Socrates punya asa menggenapi sepak terjang filsuf Yunani Socrates. Tidak kebetulan punya nama sama, keduanya menonjolkan syahwat laga politik.

Socrates yang pesepakbola, turut ambil bagian dalam arus perjuangan politik demokrasi bagi warga Corinthian di pertengahan tahun 1980-an untuk menentang bercokolnya rezim militer di Brasil. Ia disandera oleh bara revolusi yang dikobarkan oleh sosok fenomenal di laga sosialisme Kuba pada tahun 1950-an, Fidel Castro dan Che Guevara.

Socrates yang filsuf, menurut staf pengajar STF Drijarkara, Simon Petrus L. Tjahjadi, berpendapat bahwa tugas negara adalah memajukan kesejahteraan warganya dan membuat jiwa mereka aman sentosa. Akibatnya, penguasa negara dituntut memiliki pengertian mengenai "yang baik". Socrates tidak menyetujui sistem pemerintahan demokratis yang berlaku di Athena.

Waktu itu, para elite politik di Athena dipilih berdasarkan mayoritas suara dalam suatu undian, padahal mereka tentu mempunyai pengertian tentang yang baik. "Kalau kita mempercayakan kesehatan kita hanya kepada seorang ahli dalam itu, yaitu seorang dokter, mengapa kita mempercayakan urusan negara kepada seseorang yang tidak mempunyai pengetahuan dan pengenalan mengenai 'yang baik'," kata Socrates.

Dipandu oleh Castro dan Guevara, pesepakbola Socrates menyatakan kepada wartawan BBC, "Rakyat memberi aku daya kekuasaan sebagai pemain sepak bola tersohor." "Jika rakyat tidak memiliki hak bersuara, maka saya berkewajiban mewakil dan menyuarakan mereka. Jika saja saya berseberangan dengan mereka, maka tidak ada seorang pun yang bakal mendengar pendapat saya," katanya.

Dalam Apologia atau pembelaan Socrates, sang filsuf mengingatkan kepada warga Athena agar sekuat tenaga mengupayakan tercapainya "jiwa yang baik" (eudaimonia) atau kebahagiaan. Caranya? "Dengan memiliki keutamaan pengetahuan akan yang baik. Kalau kita mengetahui yang 'yang baik', kita tentunya akan melakukan yang baik pula," kata Socrates mengungkapkan.

Nah, bagi Socrates asal Brasil, hal 'yang baik' dalam sepak bola yakni dapat mengetahui dan memahami siapa sebenarnya manusia. "Saya mendapati bahwa sepak bola memberi kesempatan kepada saya untuk bersua dan berbela rasa dengan mereka yang miskin dan terlantar di masyarakat. Saya dapat menyaksikan mereka yang berkelimpahan harta dengan mereka yang serba kekurangan," katanya.

Socrates asal Yunani mengajarkan kepada Socrates asal Brasil bahwa upaya mencari dan menemukan "yang baik" dalam kehidupan politik terpulang kepada penalaran atau argumentasi (ho logos). Jika kesalehan atau ketaatan tidak dikendalikan oleh nalar, maka kesalehan dan ketaatan dapat dengan mudah tergelincir menjadi "kebengisan yang saleh". Weleh...weleh.

Sang filsuf sampai-sampai menolak bujukan sahabatnya Krito agar Socrates segera melarikan diri untuk meluputkan diri dari hukuman mati kemudian bergegas lari ke pembuangan. Sebaliknya, Socrates si pesepakbola justru menghambakan diri kepada bujuk rayu alkohol. Dua sisi dari satu mata uang.

Socrates, yang menjadi kapten Brazil pada Piala Dunia 1982 dan dikenal sebagai pemain Brazil terhebat yang tidak pernah menjuarai Piala Dunia, telah dirawat di rumah sakit sebanyak dua kali pada Agustus dan September tahun ini. Ia mengalami pendarahan pada sistem pencernaannya, yang disebabkan oleh masalahnya dengan alkohol, khususnya ketika ia masih aktif sebagai pesepakbola.

Dalam sebuah wawancara televisi terakhirnya, Socrates mengatakan, baginya alkohol merupakan ’teman’. "Alkohol tidak mempengaruhi karierku, di sisi lain hal itu disebabkan (karena) saya tidak pernah membangun fisik untuk permainan ini," tuturnya saat itu.

Kalau Socrates mencari "yang baik" dalam sepak bola yang dialiri dengan alkohol, maka ia diganjar dengan keterasingan diri (alienasi).

Sosialisme yang dieluk-elukan oleh Socrates mengajarkan bahwa kematian mengajarkan bahwa makna hidup tidak terletak dalam "memiliki". Kematian menghapus segala milik pribadi. Kematian mengajarkan bahwa setiap manusia lahir dan besar sebagai sesama manusia.

Barcelona, 5 Juli 1982, Italia menundukkan Brasil 3-2. Socrates bersama dengan Zico, Serginho dan Eder mengalami kekalahan menyesakkan akibat kepongahan dan kepercayaan diri berlebihan akan politik pencitraan diri bahwa Brasil adalah "negara sepak bola" (o pais do futebol).

Socrates boleh jadi keblinger dengan politik pencitraan diri bahwa Brasil berkarakter menyerang, sementara Italia berkarakter bertahan. Socrates terbuai dengan kenangan sejarah yang meninabobokan bahwa Brasil telah melibas Italia pada final Piala Dunia 1970 di Mexico City dengan skor 4-1. Waktu itu Brasil diperkuat Pele, Jairzinho, Tostao, Rivelino.

Jika sepak bola diracuni politik, maka tuahnya kematian. Dari liang lahat, Socrates berpesan, "Pep (Pep Guardiola, pelatih Barcelona) latihlah timnas Brasil. Ia memiliki keberanian. Siapa yang bermain di pertahanan Barcelona? Mereka tidak butuh defender." Brasil menjemput ajal dengan kehilangan gaya pemainan khasnya, yakni Jogo Bonito, kombinasi antara "yang baik" dan "yang indah".
(T.A024)