Ahli: Kolaborasi tindakan penting guna wujudkan RI tangguh bencana
11 Mei 2022 20:40 WIB
Tangkapan layar Mantan Kepala BNPB Prof. Syamsul Ma’arif (kanan) dalam Webinar “Membangun Kesiapsiagaan yang Kolaboratif” yang diikuti di Jakarta, Rabu (11/5/2022). ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti
Jakarta (ANTARA) - Mantan Kepala BNPB Prof. Syamsul Ma’arif menekankan kolaborasi yang dilakukan semua sektor dalam pengambilan tindakan secara langsung dalam menghadapi bencana menjadi hal yang sangat penting guna mewujudkan Indonesia tangguh hadapi bencana.
“Saya ingatkan bahwa kolaborasi itu bisa diwujudkan secara bertahap. Antara lain harus dikaitkan dengan kebutuhan nyata dari setiap anggota kolaborasi,” kata Syamsul dalam Webinar “Membangun Kesiapsiagaan yang Kolaboratif” yang diikuti di Jakarta, Rabu.
Syamsul menuturkan dalam menciptakan sikap siaga menghadapi bencana, pemerintah Indonesia tidak bisa hanya sebatas memberikan gambaran melalui presentasi ataupun sekadar imbauan saja.
Pemerintah harus melakukan tindakan langsung dalam kehidupan nyata untuk membuat masyarakat menjadi paham akan sebuah kondisi bencana, salah satunya adalah melakukan penguatan kolaborasi multi pihak.
Baca juga: BNPB: Keluarga Tangguh Bencana jadi tolok ukur keberhasilan Destana
Baca juga: BNPB luncurkan HKB 2022, tekankan tema keluarga tangguh bencana
Pada tingkat pemerintah misalnya, pemerintah dapat membentuk klaster penanganan bencana di tiap provinsi yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masih pihak, sambil memberikan pemahaman langsung apa arti sesungguhnya dari kesiapsiagaan bencana.
Kemudian pada penyusunan organisasi, diharapkan orang yang nantinya memimpin kolaborasi adalah orang yang dapat menyatukan semua pihak termasuk pihak swasta. Pemimpin tersebut juga merupakan orang yang memiliki wewenang, sehingga setiap kolaborasi yang terjalin dapat difasilitasi dan dikelola dengan baik.
Seorang pemimpin dalam pemerintahan, kata dia, penting untuk mengenal kondisi dari tiap rantai pasok yang ada. Setiap kebutuhan dari korban bencana dapat diatasi baik sebelum atau sesudahnya.
Misalnya, suatu inovasi teknologi dengan mengajak pihak swasta tertentu ataupun menyediakan pasokan makanan dari bahan lokal seperti beras dari daerah sekitar yang pendanaannya disediakan oleh negara.
“Itu harus dilakukan, jangan hanya berbicara kesiapsiagaan. Tapi dijelaskan bagaimana cara mewujudkannya, seperti apa lingkupnya,” ujar dia.
Baca juga: BNPB luncurkan program keluarga tangguh bencana di Aceh
Baca juga: BNPB: Pariaman harus wujudkan keluarga tangguh bencana
Di tingkat keluarga, pemerintah bisa mulai mengajarkan antisipasi sikap sejak sebelum bencana terjadi. Misalnya, menyusun strategi pengungsian ataupun persediaan makanan saat terjadi gunung meletus ataupun tsunami. Masyarakat juga dapat dilibatkan dalam pengambilan keputusan sesuai kondisi yang dirasakan ataupun menggelar rapat untuk mencari solusi bersama-sama.
Menurut Syamsul, konsep keluarga tangguh adalah saling mencintai, saling berbagi, saling berempati, tidak saling melukai dan tidak saling menyakiti. Apa yang dilakukan semua demi kebaikan bersama, bukan keuntungan satu pihak saja.
Selanjutnya bersama akademisi, pemerintah dapat ikut bekerja sama dengan pihak universitas untuk menggelar Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik untuk menemukan cara menghadapi kondisi cuaca yang berpotensi menyebabkan bencana ekstrem.
“Begitu mereka yang ikut KKN datang, sampaikan ini cara membuat tandon air, ini cara membuat apa yang murah meriah saja. Jangan sampai ketika hujan, kita tidak bisa mengatasinya dan kemudian kekeringan,” ucap Syamsul.
Baca juga: Mensos dirikan lumbung sosial di Kampung Tangguh Bencana di Bogor
Baca juga: Presiden: Pembangunan infrastruktur jangan menambah risiko bencana
Baca juga: BNPB: Upaya wujudkan tangguh bencana harus libatkan perempuan
“Saya ingatkan bahwa kolaborasi itu bisa diwujudkan secara bertahap. Antara lain harus dikaitkan dengan kebutuhan nyata dari setiap anggota kolaborasi,” kata Syamsul dalam Webinar “Membangun Kesiapsiagaan yang Kolaboratif” yang diikuti di Jakarta, Rabu.
Syamsul menuturkan dalam menciptakan sikap siaga menghadapi bencana, pemerintah Indonesia tidak bisa hanya sebatas memberikan gambaran melalui presentasi ataupun sekadar imbauan saja.
Pemerintah harus melakukan tindakan langsung dalam kehidupan nyata untuk membuat masyarakat menjadi paham akan sebuah kondisi bencana, salah satunya adalah melakukan penguatan kolaborasi multi pihak.
Baca juga: BNPB: Keluarga Tangguh Bencana jadi tolok ukur keberhasilan Destana
Baca juga: BNPB luncurkan HKB 2022, tekankan tema keluarga tangguh bencana
Pada tingkat pemerintah misalnya, pemerintah dapat membentuk klaster penanganan bencana di tiap provinsi yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masih pihak, sambil memberikan pemahaman langsung apa arti sesungguhnya dari kesiapsiagaan bencana.
Kemudian pada penyusunan organisasi, diharapkan orang yang nantinya memimpin kolaborasi adalah orang yang dapat menyatukan semua pihak termasuk pihak swasta. Pemimpin tersebut juga merupakan orang yang memiliki wewenang, sehingga setiap kolaborasi yang terjalin dapat difasilitasi dan dikelola dengan baik.
Seorang pemimpin dalam pemerintahan, kata dia, penting untuk mengenal kondisi dari tiap rantai pasok yang ada. Setiap kebutuhan dari korban bencana dapat diatasi baik sebelum atau sesudahnya.
Misalnya, suatu inovasi teknologi dengan mengajak pihak swasta tertentu ataupun menyediakan pasokan makanan dari bahan lokal seperti beras dari daerah sekitar yang pendanaannya disediakan oleh negara.
“Itu harus dilakukan, jangan hanya berbicara kesiapsiagaan. Tapi dijelaskan bagaimana cara mewujudkannya, seperti apa lingkupnya,” ujar dia.
Baca juga: BNPB luncurkan program keluarga tangguh bencana di Aceh
Baca juga: BNPB: Pariaman harus wujudkan keluarga tangguh bencana
Di tingkat keluarga, pemerintah bisa mulai mengajarkan antisipasi sikap sejak sebelum bencana terjadi. Misalnya, menyusun strategi pengungsian ataupun persediaan makanan saat terjadi gunung meletus ataupun tsunami. Masyarakat juga dapat dilibatkan dalam pengambilan keputusan sesuai kondisi yang dirasakan ataupun menggelar rapat untuk mencari solusi bersama-sama.
Menurut Syamsul, konsep keluarga tangguh adalah saling mencintai, saling berbagi, saling berempati, tidak saling melukai dan tidak saling menyakiti. Apa yang dilakukan semua demi kebaikan bersama, bukan keuntungan satu pihak saja.
Selanjutnya bersama akademisi, pemerintah dapat ikut bekerja sama dengan pihak universitas untuk menggelar Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik untuk menemukan cara menghadapi kondisi cuaca yang berpotensi menyebabkan bencana ekstrem.
“Begitu mereka yang ikut KKN datang, sampaikan ini cara membuat tandon air, ini cara membuat apa yang murah meriah saja. Jangan sampai ketika hujan, kita tidak bisa mengatasinya dan kemudian kekeringan,” ucap Syamsul.
Baca juga: Mensos dirikan lumbung sosial di Kampung Tangguh Bencana di Bogor
Baca juga: Presiden: Pembangunan infrastruktur jangan menambah risiko bencana
Baca juga: BNPB: Upaya wujudkan tangguh bencana harus libatkan perempuan
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022
Tags: