Jakarta (ANTARA) - Sejak setahun terakhir ini naskah RUU Keimigrasian telah digodok di DPR sebagai langkah awal yang akan melalui berbagai tahapan yang cukup panjang sebelum menjadi Undang-undang.

RUU Keimigrasian sebagai revisi UU Nomor 6/2011 tentang Keimigrasian yang masih berlaku. Bila sedikit menengok ke belakang pada satu dasawarsa silam terdapat atmosfer yang cukup berbeda dengan pada saat UU Nomor 6/2011 masih menjadi RUU Keimigrasian di DPR.

Kala itu sekitar tahun 2005-2010 semangat untuk mewarnai RUU Keimigrasian dari para pengampu tugas dan fungsi (tusi) keimigrasian, publik dan para akademisi pada berbagai strata begitu antusias dan semarak.

Bila dibandingkan dengan RUU Keimigrasian saat ini tidak senyaring satu dekade lalu. Pada masa kini kemungkinan disebabkan efek domino Covid-19 di mana sebagian besar aktivitas masyarakat lebih banyak dilakukan secara daring. Adapun komunikasi secara daring memiliki keterbatasan pesan dan tidak seluas komunikasi secara tatap muka.

Seperti diketahui undang-undang merupakan ketentuan umum tertinggi. Sehingga harus dapat mengakomodir segala dinamika problematika yang ada dan dapat mengantisipasi potensi permasalahan yang akan hadir di masa depan. Oleh sebab itu dibutuhkan upaya yang maksimal dari berbagai pihak sebagai suatu bentuk tanggung jawab bernegara agar UU Keimigrasian nantinya bisa mendekati paripurna.

Sehubungan dengan hal itu, berikut ini terdapat dua kategori pokok yang perlu digarisbawahi dan menjadi perhatian bersama.

Substansi RUU Keimigrasian
Mengenai substansi RUU Keimigrasian dapat dikategorikan dalam beberapa poin antara lain yaitu terdapat frasa pada UU Nomor 6/2011 yang perlu diperjelas baik dari segi pemaknaan maupun pengkategorian. Sebagaimana lazimnya perkembangan diksi dan kebutuhan implementasi ketentuan yang bergerak dinamis.

Adanya frasa baru yang perlu ditampung ke dalam RUU Keimigrasian misalnya frasa rumah kedua yang terdapat pada Permenkumham 2021 tentang Penjamin Keimigrasian.

Demikian juga dengan diksi konsultan keimigrasian. Dimana pada 20 September 2021 telah diundangkan Permenkumham Nomor 35/2021 tentang Konsultan Keimigrasian. Kedua Permenkumham di atas lahir sebagai suatu bentuk diskresi dalam mengakomodir perkembangan urgensi keimigrasian yang begitu pesat.

Selanjutnya fungsi Rumah Detensi Keimigrasian terkait pengungsi belum disinggung pada UU Nomor 6/2011. Fungsi Rudenim harus dielaborasi secara eksplisit sehingga terdapat ketentuan umum yang menyelaraskan dengan aturan turunan yang nantinya akan dihasilkan. Kausanya, fungsi Rudenim terkait pengungsi belum ada aturan teknis keimigrasian yang menjabarkan hal tersebut.

Hal lain perlu dipertimbangkan juga menyisipkan preskripsi pengungsi dalam satu pasal untuk menjembatani ketentuan lain yang berada di bawah UU yang telah eksis.

Selain itu pada UU Nomor 6/2011 secara garis besar terdapat hal-hal yang merupakan celah hukum atau tumpang tindih dengan aturan turunannya untuk itu diperlukan elaborasi pasal per pasal secara rigid.

Pastinya masih banyak masalah substansi RUU Keimigrasian yang perlu diperdalam dan para pakar di bidang keimigrasianlah yang lebih berkompeten untuk merumuskan secara lebih berbobot lagi.

Pasalnya, hal ihwal keimigrasian secara aktual telah menyangkut berbagai aspek kehidupan masyarakat sehingga memerlukan keterlibatan berbagai disiplin limu.

Peran lembaga
Lembaga yang dominan terkait RUU Keimigrasian adalah DPR dan pemerintah (Kemenkumham/Ditjenim). RUU Keimigrasian adalah pekerjaan rumah bersama yang membutuhkan kajian, diskusi yang berkualitas dan dilakukan secara berkelanjutan dengan melibatkan para pakar di berbagai bidang keilmuan. Mengingat dinamika keimigrasian di masa depan akan lebih beragam baik secara kapasitas maupun kadar permasalahannya.

Untuk itu dalam hal ini Badan Keahlian DPR dapat bersinergi dengan DItjenim lebih intens lagi. BK DPR telah menggagas pada akhir Februari 2022 dengan melakukan anjangsana ke Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah Rai, Kantor Wilayah Kemenkumham Bali. Kunjungan BK DPR untuk melakukan diskusi dalam rangka uji konsep Naskah Akademik dan Rancangan Undang-undang tentang Keimigrasian.

Ini merupakan langkah awal yang baik sebaiknya dilanjutkan secara maraton dan virtual ke-32 Kanwil Kemenkumham yang tersebar di seluruh Indonesia. Ihwalnya, jika dilaksanakan secara virtual akan lebih efisien dan efektif dari segi biaya, waktu dan tenaga. Mengingat banyaknya agenda RUU lain yang masih menumpuk di BK DPR.

Di samping itu pada tiap Kanwil Kemenkumham tentunya terdapat para pengampu tusi yang memiliki pandangan dan masukan yang beragam karena dilatarbelakangi oleh pengalaman yang berbeda dengan karakteristik yang spesifik. Walaupun teranyar Indonesia terdiri dari 34 propinsi namun Kanwil Kemenkumham baru terdapat pada 33 propinsi.

Selain itu BK DPR juga telah bekerja sama dengan perguruan tinggi untuk membedah RUU Keimigrasian. Agar hasil kajian universitas lebih bermakna dan membumi lagi maka rekomendasi tersebut juga harus diklarifikasi dengan pihak Ditjenim sebagai pemangku tusi. Pasalnya, pemangku tusilah yang mengetahui secara presisi apa yang terjadi di lapangan (bukan bermaksud mengecilkan perguruan tinggi namun hanya ingin berkontribusi agar output lebih maksimal).

Bagi BK DPR berkoordinasi dengan para pemangku kepentingan terkait juga penting dalam rangka menyelaraskan dengan UU lain yang sudah ada. Agar nantinya UU Keimigrasian dapat merupakan payung hukum yang semakin mengokohkan sistem hukum Indonesia secara komprehensif.

Hal lain RUU Keimigrasian belum masuk agenda Prolegnas Prioritas di DPR. Ini merupakan peluang bagi DPR dan Ditjenim. Artinya DPR dan Ditjenim memiliki cukup banyak waktu untuk bergandengan tangan melakukan pembahasan yang bermutu dan terarah demi terciptanya UU Keimigrasian yang mumpuni. Memang ini bukan pekerjaan yang mudah tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan sebab yang diperlukan hanyalah keseriusan dan konsistensi dari kedua belah pihak.

Bagi Ditjenim perlu mengupayakan dibentuk Tim Khusus yang mengkaji dan membedah secara detil RUU Keimigrasian serta bertujuan mengawal RUU Keimigrasian sampai diketok palu oleh DPR sebagai UU.

Tim ini dapat beranggotakan para pengampu tusi yang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang teruji. Tim dengan masa kerja setahun berdasarkan Tahun Anggaran berjalan dan dapat diperpanjang selama RUU Keimigrasian belum disahkan. Tentu saja dengan pembagian tugas yang jelas dan agenda kerja yang terjadual. Kausanya, untuk memperoleh hasil yang optimal suatu kegiatan harus dilakukan secara terstruktur, terukur dan presisten.

Hal lain sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 6/2011 fungsi keimigrasian mencakup empat fungsi. Seiring dengan besarnya kebutuhan publik akan pelayanan paspor, visa dan izin tinggal membuat paradigma fungsi keimigrasian mulai bergeser ke arah fungsi pelayanan keimigrasian.

Padahal fungsi hakiki keimigrasian adalah sebagai penjaga pintu gerbang negara kesatuan Republik Indonesia. Fungsi inilah yang sepatutnya menjadi ‘roh’ dalam UU Keimigrasian yang tentu saja perlu diadaptasikan dengan situasi dan kondisi terkait bidang keimigrasian di era digital.

Sebagai penghujung, risalah singkat ini adalah suatu bentuk urun rembug anak negeri. Momen yang berbarengan dengan masa reses DPR dari medio April hingga medio Mei 2022 dan merupakan kesempatan bagi para anggota dewan legislatif untuk mendengarkan aspirasi rakyat sebagai bekal menyejahterakan bangsa.

*) Fenny Julita,S.Sos.,M.Si, adalah Analis Keimigrasian Ahli Madya, Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM.