Pakar transportasi UGM nilai mudik Lebaran 2022 lebih baik dari 2019
11 Mei 2022 16:25 WIB
Sejumlah pemudik berada di dalam kapal KMP Nusa Jaya di Perairan Selat Sunda, Minggu (8/5/2022). ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/foc.
Yogyakarta (ANTARA) - Pakar teknik lalu lintas dan transportasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Dewanti menilai perjalanan mudik dan balik pada Lebaran 2022 jauh lebih baik dibandingkan 2019.
"Meski mepet waktu dari pengumuman dibukanya mudik, upaya-upaya perbaikan sudah dilakukan secara beragam baik dari sisi manajemen lalu lintas, infrastruktur dan sistem informasi," kata Dewanti di Pusat Studi Transportasi dan Logistik UGM, Yogyakarta, Rabu.
Dewanti mengapresiasi berbagai uji coba yang dilakukan pemerintah melalui pengaturan perjalanan mudik dari skema one way, ganjil genap, dan model lainnya yang dinilai cukup memberi solusi mengingat sebagian besar tol di pulau Jawa sudah tersambung.
Meski demikian, menurut dia, kebijakan itu mengundang sejumlah protes dari para pengendara ketika mereka terkena dampak dari pengaturan.
Sejumlah penumpukan, menurut dia, memang terlihat dari arah Jakarta menuju arah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
"Terakhir mudik kan di tahun 2019 lalu, kalau tidak salah ada kasus Brexit. Sementara tahun ini sedemikian riuh dan heboh setelah dua tahun tidak ada mudik. Tentu tidak mudah mengatur kondisi seperti itu, menjadi hal lumrah masih ada kurang di sana-sini," kata dia.
Menurut Dewanti, persoalan lalu lintas akan muncul ketika terjadi pergerakan besar di tempat dan pada waktu yang sama. Apalagi, mudik 2022 melibatkan 85 juta pemudik yang melakukan perjalanan dalam tempat dan waktu yang hampir bersamaan.
Menurutnya, kondisi normal untuk melayani situasi tidak normal tentu menimbulkan sejumlah masalah. Oleh karena itu, menurutnya, perlu mempertimbangkan jalur sisi selatan sebagai upaya pengembangan jalan ke depan.
Kendati diakui topografi jalur selatan berbeda dengan jalur tengah dan sisi utara, menurut dia, kondisi sisi selatan Jawa Barat memiliki kontur tanah naik turun dan berkelok-kelok sehingga menjadi kendala tersendiri bagi pengendara, dan memakan biaya cukup besar untuk pengembangan.
"Dengan berkelok-kelok dan naik turun relatif jalan sempit karenanya menjadikan orang akan mikir dan cenderung lebih memilih jalan tol sisi tengah," kata dia.
Karena itu, kata dia, ke depan diharapkan dapat mengoptimalkan jalan-jalan non tol sebagai satu sistem jaringan jalan.
"Sehingga jika tol sudah melampaui kemampuan maka perlu kiranya melimpahkan ke jalan-jalan non tol. Karenanya sistem informasi begitu penting bagi pengguna jalan," kata dia.
Baca juga: Menteri Budi: Jalan Tol Jawa dan Sumatera beri euforia baru saat mudik
Baca juga: Korlantas akhiri rekayasa lalu lintas jalan tol
Baca juga: Hutama Karya sebut 2,6 juta kendaraan lintasi JTTS saat mudik Lebaran
"Meski mepet waktu dari pengumuman dibukanya mudik, upaya-upaya perbaikan sudah dilakukan secara beragam baik dari sisi manajemen lalu lintas, infrastruktur dan sistem informasi," kata Dewanti di Pusat Studi Transportasi dan Logistik UGM, Yogyakarta, Rabu.
Dewanti mengapresiasi berbagai uji coba yang dilakukan pemerintah melalui pengaturan perjalanan mudik dari skema one way, ganjil genap, dan model lainnya yang dinilai cukup memberi solusi mengingat sebagian besar tol di pulau Jawa sudah tersambung.
Meski demikian, menurut dia, kebijakan itu mengundang sejumlah protes dari para pengendara ketika mereka terkena dampak dari pengaturan.
Sejumlah penumpukan, menurut dia, memang terlihat dari arah Jakarta menuju arah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
"Terakhir mudik kan di tahun 2019 lalu, kalau tidak salah ada kasus Brexit. Sementara tahun ini sedemikian riuh dan heboh setelah dua tahun tidak ada mudik. Tentu tidak mudah mengatur kondisi seperti itu, menjadi hal lumrah masih ada kurang di sana-sini," kata dia.
Menurut Dewanti, persoalan lalu lintas akan muncul ketika terjadi pergerakan besar di tempat dan pada waktu yang sama. Apalagi, mudik 2022 melibatkan 85 juta pemudik yang melakukan perjalanan dalam tempat dan waktu yang hampir bersamaan.
Menurutnya, kondisi normal untuk melayani situasi tidak normal tentu menimbulkan sejumlah masalah. Oleh karena itu, menurutnya, perlu mempertimbangkan jalur sisi selatan sebagai upaya pengembangan jalan ke depan.
Kendati diakui topografi jalur selatan berbeda dengan jalur tengah dan sisi utara, menurut dia, kondisi sisi selatan Jawa Barat memiliki kontur tanah naik turun dan berkelok-kelok sehingga menjadi kendala tersendiri bagi pengendara, dan memakan biaya cukup besar untuk pengembangan.
"Dengan berkelok-kelok dan naik turun relatif jalan sempit karenanya menjadikan orang akan mikir dan cenderung lebih memilih jalan tol sisi tengah," kata dia.
Karena itu, kata dia, ke depan diharapkan dapat mengoptimalkan jalan-jalan non tol sebagai satu sistem jaringan jalan.
"Sehingga jika tol sudah melampaui kemampuan maka perlu kiranya melimpahkan ke jalan-jalan non tol. Karenanya sistem informasi begitu penting bagi pengguna jalan," kata dia.
Baca juga: Menteri Budi: Jalan Tol Jawa dan Sumatera beri euforia baru saat mudik
Baca juga: Korlantas akhiri rekayasa lalu lintas jalan tol
Baca juga: Hutama Karya sebut 2,6 juta kendaraan lintasi JTTS saat mudik Lebaran
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2022
Tags: