Jakarta (ANTARA News) - Asa membara Garuda Muda terus membuncah untuk lekas-lekas melibas Harimau Muda jelang ajang final SEA Games final cabang sepak bola SEA Games XXVI. Atas nama rivalitas, baik Indonesia maupun Malaysia saling berebut siapa digdaya di planet bola Asia Tenggara.

Trio Papua angkat suara, "kami berada di depan membela Garuda tetap di dada." Titus Bonai (Tibo), Oktovianus Maniani, Patrich Wanggai, yang digadang-gadang sebagai trisula maut justru telah dibenum dalam api misteri dari "yang ilahi". Ketiganya bertelut takzim lalu bersujud syukur.

Ketiganya menjawab "ya" kepada sentuhan "yang ilahi", bukan justru mengobarkan dendam, tetapi menimba kasih dari bejana ilahi. Kalah satu gol dari Malaysia pada laga pekan lalu, membuat publik pecinta bola tanah air berteriak lantang, "gol dibalas gol. Menangkan hati kami dengan kejayaan di laga bola Asia Tenggara".

Mengapa trio Papua begitu klik menjalin kerjasama? Jawabnya, ketiganya terus mencecap energi ilahi. Tangan teracung ke atas setelah menceploskan bola ke gawang lawan mengilustrasikan bahwa segala sesuatunya berasal dari Yang Ilahi. Dan kepala menengadah ke atas melukiskan hati yang hendak terangkat bersama asap dupa sebagai sesembahan bagi Yang Ilahi.

Tibo, Okto, Patrich disingkat TOP. Ketiganya memaknai laga bola sebagai ritual pembebasan dari segala duka bangsa. Ketiganya mewakili duka anak bangsa untuk bersegera keluar dari frustrasi sosial yang membelit negeri ini. Caranya, dengan sepak bola. Meminjam paparan text book, Garuda Muda mengobarkan nasionalisme.

Berawal sepakbola, berakhir kepada "yang ilahi". Lihat saja ekspresi penyerang Indonesia Patrich Wanggai ketika mengatupkan tangan kemudian menundukkan kepala seraya berlutut di lapangan ketika wasit meniup peluit akhir pertandingan Indonesia melawan Vietnam yang berakhir dengan skor 2-0.

Lihat saja Tibo yang menari setelah mencetak gol ke gawang Vietnam. Seakan hendak berkidung bersama nyanyi surgawi, Tibo hendak mengiringi sembah bakti kepada Yang Ilahi. Sama halnya dengan Okto yang sesegera memeluk Tibo untuk memberi salam damai karena gol semata-mata anugerah Ilahi.

Mengapa trio Papua begitu melekatkan hati kepada Yang Ilahi di laga bola? Mereka cemas! Ketiganya hendak cepat-cepat menghalau rasa cemas kalau-kalau mereka sampai kalah. Cemas hati, bagi filsuf Soren Kierkegaard, merupakan hal yang khas bagi manusia. Hanya manusia yang dapat merasa cemas.

Bagi filsuf Heidegger, perasaan "takut yang mendalam" membuat manusia mengalami jurang ketiadaan. Dengan merasa cemas dan takut, manusia menyadari kerapuhan dan kefanaannya. Dengan cemas dan takut, trio Papua di laga bola lantas memunculkan perilaku keagamaan.

"Aku bersyukur kepada Tuhan. Itu semua berkat Tuhan. Ada kepercayaan diri bahwa bisa cetak gol melalui tendangan bebas," kata Wanggai usai pertandingan semifinal melawan Vietnam. Bomber tim nasional Indonesia U-23 itu total telah mengemas lima gol di ajang SEA Games XXVI. "Aku tidak terlalu memikirkan soal top skor. Tidak terlalu menargetkan jadi top skor," katanya.

Kalau Wanggai menunjukkan kerendahan hati, maka Tibo mengungkapkan rasa syukur kepada Yang Ilahi. "Puji syukur kepada Tuhan karena telah memberikan yang terbaik. Terus terang saya tidak menyangka mampu menciptakan gol," kata pemain dengan nomor punggung 25 itu.

Tibo bersyukur mampu mencetak gol pada pertandingan penentuan itu. Dengan tambahan satu gol di laga melawan Vietnam, ia telah mengoleksi empat gol selama SEA Games 2011. Sementara itu gelandang enerjik Oktovianus Maniani mengaku gembira dengan hasil yang dicapai oleh timnas. "Semoga hasil ini bisa memotivasi diri saya dan pemain lainnya pada pertandingan nanti. Mohon doanya," katanya usai pertandingan.

Baik Tibo maupun Wanggai melakoni peran sebagai "The target men" dalam sepak bola modern. Keduanya tajam melepaskan tembakan ke gawang lawan dan piawai mengambil bola-bola atas. Duet Papua ini mengimani bahwa pengambilan ruang dan waktu yang tepat sasaran menjadi hal mendasar bagi strategi sepak bola menyerang.

Itu artinya, keduanya melafalkan amin dengan kerendahan hati setelah bersembah kepada Yang Ilahi ketika melakoni laga kehidupan.

Sementara Oktovianus sepanjang 90 menit pertandingan tampil bermain dengan maksimal. Pemain ini kerapkali membantu lini pertahanan jika timnas mendapat tekanan lawan. Nah, bagi trio Papua, salah satu cara efektif membentengi pertahanan Garuda Muda yakni melepas umpan-umpan cepat dan terukur dari lini tengah menuju lini pertahanan Harimau Muda.

Jika saja trio Papua tampil dinamis dengan tetap rendah hati ketika menguasai sirkulasi alur bola, maka trio Papua telah menghirup dan menggenapi energi Ilahi yang menginginkan kepada setiap insan agar terbebas dari situasi cemas.

Dan sepak bola menjadikan manusia sebagai pengungsian serentak pelarian dari kecemasan akan kekalahan. Doa dalam keheningan: Ada Yang Ilahi dalam laga bola.
(A024)