Pengamat sarankan subsidi langsung atasi masalah penyaluran BBM
1 Mei 2022 11:47 WIB
Petugas memasukkan data menggunakan kartu kendali (Fuel Card) bagi konsumen yang mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) solar bersubsidi di SPBU 24.351.126 Jalan Pangeran Antasari, Bandar Lampung, Lampung, Selasa (19/4/2022). ANTARA FOTO/Ardiansyah/wsj.
Jakarta (ANTARA) - Lonjakan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) karena membludaknya pemudik Lebaran 2022 menjadi momentum yang tepat bagi pemerintah untuk tidak ragu menjalankan kebijakan subsidi langsung dalam penyaluran BBM.
Kebijakan tersebut diyakini bisa menjadi solusi utama untuk menyelesaikan masalah penyaluran BBM yang sudah terjadi bertahun-tahun, kata pengamat energi yang juga Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Iress) Marwan Batubara dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu.
Marwan Batubara mengatakan sudah terlalu banyak masalah yang ditimbulkan dari mekanisme penyaluran BBM bersubsidi seperti sekarang. Salah satu buktinya, pemerintah menambah kuota Solar subsidi dari 15 juta kiloliter (kl) menjadi 17 juta kl. Sedangkan Pertalite yang menjadi BBM penugasan ditingkatkan kuotanya dari 23 juta menjadi 28 juta kl.
“Kebijakan pemerintah saat ini yang memberikan subsidi kepada produk BBM dapat dipahami tapi cara tersebut justru menyulitkan pemerintah sendiri,” ujar Marwan.
Menurut Marwan, pemerintah tidak perlu membandingkan dengan negara seperti Arab Saudi atau negara yang bisa produksi minyak dalam jumlah besar. Pemerintah hanya tinggal menerapkan harga dengan prinsip keekonomian yang jelas setelah mempertimbangkan berbagai komponen pembentuk harga seperti harga bahan mentah, harga impor crude oil, ditambah biaya pengilangan, biaya penyimpanan. Belum lagi ada biaya distribusi, margin dan pajak.
Baca juga: DEN: Perlu pola distribusi tertutup untuk BBM dan LPG subsidi
"Itu menjadi harga keekonomian. Jadi merujuk kemana-mana," katanya.
Harga keekonomian itu bisa dibandingkan dengan harga-harga BBM yang dipasarkan oleh badan usaha selain Pertamina. Harga jual produk BBM Pertamina saat ini seluruhnya berada di bawah pesaing, termasuk Solar subsidi. Harga Solar subsidi mencapai Rp5.150 per liter sedangkan harga Solar nonsubsidi (Dexlite) Rp12.950 per liter, dan harga Pertamina Dex Rp13.700 per liter.
Marwan mengakui masyarakat Indonesia memang masih membutuhkan bantuan berupa subsidi untuk urusan bahan bakar. Namun bukan dengan mekanisme seperti sekarang yang justru merugikan negara karena subsidi tidak tepat sasaran sehingga menyebabkan nilainya terus membengkak.
"Negara harus mensubsidi orang yang memang layak mendapat sehingga nanti anggaran APBN untuk mensubsidi orang itu akan lebih rendah ketimbang mensubsidi barang. Kalau barangnya yang disubsidi bisa 2-3 kali lipat," jelas Marwan.
Menurut Marwan, badan usaha juga memiliki hak untuk bertahan dan beroperasi meskipun dibebani untuk menyalurkan BBM penugasan maupun subsidi. Untuk itu. cara terbaik memang membiarkan badan usaha menjalankan operasi tanpa harus terus menanggung beban keuangan.
"Soal berapanya bisa dicarikan angka harga keekonomiannya juga bisa. Yang penting di situ sudah ada margin supaya perusahaan survive, seperti Pertamina. Untuk survive kan harus untung tapi di situ kan ada faktor pajak, pajak daerah, ongkos angkut, dan sebagainya. Sebenarnya formulanya sudah ada. Yang saya maksud itu supaya harga keekonomian yang diterapkan. Dan subsidinya langsung," kata Marwan.
Baca juga: Ekonom: Subsidi BBM lebih tepat diberikan ke individu, bukan komoditas
Baca juga: Peneliti BRIN: Konsumsi BBM terus naik, kendalikan subsidi energi
Kebijakan tersebut diyakini bisa menjadi solusi utama untuk menyelesaikan masalah penyaluran BBM yang sudah terjadi bertahun-tahun, kata pengamat energi yang juga Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (Iress) Marwan Batubara dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu.
Marwan Batubara mengatakan sudah terlalu banyak masalah yang ditimbulkan dari mekanisme penyaluran BBM bersubsidi seperti sekarang. Salah satu buktinya, pemerintah menambah kuota Solar subsidi dari 15 juta kiloliter (kl) menjadi 17 juta kl. Sedangkan Pertalite yang menjadi BBM penugasan ditingkatkan kuotanya dari 23 juta menjadi 28 juta kl.
“Kebijakan pemerintah saat ini yang memberikan subsidi kepada produk BBM dapat dipahami tapi cara tersebut justru menyulitkan pemerintah sendiri,” ujar Marwan.
Menurut Marwan, pemerintah tidak perlu membandingkan dengan negara seperti Arab Saudi atau negara yang bisa produksi minyak dalam jumlah besar. Pemerintah hanya tinggal menerapkan harga dengan prinsip keekonomian yang jelas setelah mempertimbangkan berbagai komponen pembentuk harga seperti harga bahan mentah, harga impor crude oil, ditambah biaya pengilangan, biaya penyimpanan. Belum lagi ada biaya distribusi, margin dan pajak.
Baca juga: DEN: Perlu pola distribusi tertutup untuk BBM dan LPG subsidi
"Itu menjadi harga keekonomian. Jadi merujuk kemana-mana," katanya.
Harga keekonomian itu bisa dibandingkan dengan harga-harga BBM yang dipasarkan oleh badan usaha selain Pertamina. Harga jual produk BBM Pertamina saat ini seluruhnya berada di bawah pesaing, termasuk Solar subsidi. Harga Solar subsidi mencapai Rp5.150 per liter sedangkan harga Solar nonsubsidi (Dexlite) Rp12.950 per liter, dan harga Pertamina Dex Rp13.700 per liter.
Marwan mengakui masyarakat Indonesia memang masih membutuhkan bantuan berupa subsidi untuk urusan bahan bakar. Namun bukan dengan mekanisme seperti sekarang yang justru merugikan negara karena subsidi tidak tepat sasaran sehingga menyebabkan nilainya terus membengkak.
"Negara harus mensubsidi orang yang memang layak mendapat sehingga nanti anggaran APBN untuk mensubsidi orang itu akan lebih rendah ketimbang mensubsidi barang. Kalau barangnya yang disubsidi bisa 2-3 kali lipat," jelas Marwan.
Menurut Marwan, badan usaha juga memiliki hak untuk bertahan dan beroperasi meskipun dibebani untuk menyalurkan BBM penugasan maupun subsidi. Untuk itu. cara terbaik memang membiarkan badan usaha menjalankan operasi tanpa harus terus menanggung beban keuangan.
"Soal berapanya bisa dicarikan angka harga keekonomiannya juga bisa. Yang penting di situ sudah ada margin supaya perusahaan survive, seperti Pertamina. Untuk survive kan harus untung tapi di situ kan ada faktor pajak, pajak daerah, ongkos angkut, dan sebagainya. Sebenarnya formulanya sudah ada. Yang saya maksud itu supaya harga keekonomian yang diterapkan. Dan subsidinya langsung," kata Marwan.
Baca juga: Ekonom: Subsidi BBM lebih tepat diberikan ke individu, bukan komoditas
Baca juga: Peneliti BRIN: Konsumsi BBM terus naik, kendalikan subsidi energi
Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2022
Tags: