Jakarta (ANTARA News) - Ketua Dewan Pembina Asosiasi Eksportir dan Importir Pupuk Indonesia (Aeksipi) Naldy Nazar Haroen meragukan, efektivitas dari rencana pemerintah melakukan uji coba sistem distribusi pupuk bersubsidi yang didasarkan pada pengajuan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) petani. "Pemerintah dalam hal ini Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian harus bertanggungjawab, jika sistem itu gagal dan petani tidak mendapatkan pupuk bersubsidi sesuai harga eceran tertinggi (HET)," kata Naldy, di Jakarta, Rabu. Naldy mengingatkan agar pemerintah tidak menjadikan petani sebagai "kelinci percobaan" dalam hal pendistribusian pupuk bersubsidi. RDKK harus disusun oleh kelompok tani berdasarkan bimbingan penyuluh pertanian lapangan (PPL), padahal PPL sekarang sudah ditarik kembali menjadi karyawan Departemen Pertanian, katanya. Artinya, efektifitas PPL dalam membentuk dan membimbing petani dalam bentuk kelompok tani di lapangan masih diragukan, karena sejak PPL diserahkan ke Pemda sejalan diterapkannya otonomi daerah, sebagian besar kelompok tani tersebut sudah membubarkan diri dan mengusahakan areal pertaniannya sendiri-sendiri. Menurut dia, rencana pemerintah yang akan mempersiapkan dulu daerah-daerah mana yang sudah siap dan nanti akan diujicoba, menandakan bahwa sebenarnya kelompok tani yang mampu menyusun RDKK itu sampai saat ini masih fiktif. "Saya tak yakin dalam waktu yang relatif singkat pemerintah mampu mendirikan banyak kelompok tani di daerah. Jika pun ada, mereka hanya kelompok tani jadi-jadian, yang RDKK-nya bisa saja dibikin oleh Kantor Dinas Tanaman Pangan setempat, jadi bukan murni oleh petani yang mengetahui persis berapa banyak pupuk yang dibutuhkan," kata Naldy. Seandainya kelompok tani itu mampu menyusun RDKK, mereka akan menghadapi kendala rantai birokrasi yang panjang karena RDKK itu harus disahkan Kepala Desa dan Camat, bahkan oleh Dinas Tanaman Pangan setempat. "Hal itu dikhawatirkan selain akan menyuburkan pungutan liar di pedesaan, juga mengakibatkan ketersediaan data kebutuhan pupuk bisa terlambat sehingga target distribusi pupuk tepat jumlah, tepat waktu dan tepat harga sulit diharapkan," kata Naldy. Ia mengingatkan pula pengalaman sebelumnya, saat SK Memperindag No 70/MPP/Kep/2/2003 tentang pengadaan dan penyaluran pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian gagal, tidak ada pejabat terkait yang mau bertanggungjawab, bahkan cenderung saling menyalahkan satu sama lainnya. Padahal sejak lama, pihak Aeksipi sudah mengingatkan bahwa sistem itu harus dikaji ulang karena SK tersebut sangat merugikan petani dan harus dicabut, kata Naldy.(*)