Jakarta (ANTARA News) - Datang berduyun-duyun ditingkahi oleh T-shirt merah bergambar Garuda, dilengkapi aneka aksesoris warna-warni ditambah tempelan Merah Putih di sepasang pipi kuning langsat merona, maka ribuan tubuh Anak Baru Gede (ABG) disihir oleh tiupan mantra sepakbola.
Wajah mereka bersinar disiram aneka lampu stadion. Bernyanyi dan bersorak serentak, mereka ramai-ramai membaptis laga Indonesia melawan Malaysia dalam penyisihan lanjutan Grup A SEA Games XXVI, sebagai perayaan yang menyenangkan hati, yang menggugah nurani.
Kok begitu? Bukankah Garuda Muda kalah dengan skor tipis 0-1 dari Harimau Muda Malaya. Tidak jadi soal bahwa "kekitaan" terkoyak dengan kekalahan, karena yang aktual bersemayam di hati yakni kegembiraan. Biar kalah 0-1, asal "happy", kata seorang pelajar putri sebuah SLTA di Jakarta Pusat.
Tiada henti, mereka mengisi atmosfer stadion Gelora Bung Karno (GBK) dengan mengudarakan tembang, "yo, ayo, hari ini kita harus menang" seraya menggoyang kedua tangan ke kanan ke kiri. Terdengar juga koor umpatan berulang-ulang, "maling, maling" setiap kali pemain tim Malaysia menguasai bola. Ah, mereka melampiaskan kekesalannya atas ulah Malaysia yang mengklaim batik dan reog Ponorogo sebagai milik Malaysia.
Mereka `memerahkan` stadion dengan kostum, bendera dan atribut yang didominasi warna merah. Yel-yel dan teriakan "Indonesia..Indonesia" terus bergaung di semua lini stadion. Seluruh tribun disesaki oleh suporter, utamanya suporter Indonesia. Bahkan di sejumlah tribun, banyak penonton yang rela berdiri sepanjang menonton pertandingan ini.
Setiap kali, aksi Titus Bonai, Lukas Mandowen, Okto Maniani mengancam gawang Malaysia, suporter Indonesia berdiri diiringi tiupan trompet dan kibaran bendera. Mereka tersihir oleh satu kata klasik Yunani, yakni "Arete", yang berarti kebahagiaan, kesuksesan dan kegembiraan.
Dalam drama Yunani kuno, "arete" terang-terangan terwakili dalam permainan atau olah raga, sebut saja kali ini sepak bola. Mereka bertekad meraup kesempurnaan dan kegembiraan dengan olah raga. Dalam olah raga, publik mengorganisasikan seluruh tenaganya untuk memperoleh kemenangan dan kejayaan dengan cara-cara indah.
"Apanya yang indah? Apanya yang gembira? Lha wong, ngantre tiket masuk aja perlu perjuangan berdesak-desakan," kata Tommy, seorang pelajar SLTP di kawasan Kemayoran. "Dari jaman Nurdin (Nurdin Halid, ketua umum PSSI yang lama) sampai yang baru, mau beli tiket aja berebut meski kami bayar lho," kata Indah, pelajar putri yang mengantre di sebuah loket dekat kolam renang kawasan Senayan.
Mereka memerdekakan diri dengan berjuang memperoleh tiket kategori IV seharga Rp25.000. Dan panitia hanya membuka dua loket di Restoran Lagunas dan loket TVRI yang dikhususkan bagi penukaran tiket yang sudah dipesan. Beberapa pendukung bahkan merelakan diri untuk membeli tiket melalui calo yang berkeliaran di sekitar stadion.
Mereka layaknya merayakan drama keberanian Antigone menghadapi Creon. Keberanian yang tidak lahir dari pemaksaan hukum melainkan keberanian yang lahir dari gairah hidup. Di bawah terik matahari siang bolong, mereka rela ngantre untuk mendapatkan tiket demi merayakan kegembiraan laga sepak bola.
Peluh meleleh dari pipi bening tersembul di tengah untaian rambut hitam. Mereka mencumbu langit siang dengan hem putih lengan pendek dan celana panjang abu-abu lengkap dengan sepatu kets.
Mereka mengulangi apa yang difirmankan oleh filsuf Nietzsche bahwa manusia adalah binatang yang berani. "Dalam diriku ada sesuatu yang aku sebut keberanian. Keberanian yang menyembuhkan yang berduka dan menghidupkan segala yang layu," kata filsuf itu melanjutkan.
Ketika laga digelar, pada menit ke-83, Ramlan Izzaq Faris merangsek ke depan gawang Andrittany Ardhiyasa. Ia hendak menyontekkan bola ke gawang di depannya. Serta merta, Yericho Christiantoko menyelamatkan gawang Indonesia dengan menendang untuk menghalau bola keluar lapangan. Dan penonton berteriak, "arrghh...."
Kegundahan dan kedukaan hendak mereka halau jauh. Tubuh mereka bereaksi tidak ingin menyaksikan bola untuk kali kedua bergulir masuk ke gawang Garuda Muda. Mereka tercekat sejenak dengan peristiwa "nyaris gol".
Meminjam istilah filsuf Slavoj Zizek, subyek dalam bergumul dengan dunia ini tidak pernah mengalami titik henti karena ia senantiasa berada dalam proses ketergesaan dan ketergeseran terus menerus.
Tubuh dari mereka yang menyaksikan duel Indonesia kontra Malaysia seakan pecah berkeping-keping, antara suka ketika melihat Garuda memenangi laga dan duka ketika Garuda kalah 0-1 dari Harimau Muda.
Kalah, menang atau imbang di hadapan pencarian "arete" di laga bola menjadikan publik mencecap gizi jiwa kehidupan bernama "oposisi". Artinya, pengirim serentak penerima, produsen sekaligus konsumen, dan penguasa sekaligus yang dikuasai.
So, mengapa takut kalah? Biar kalah, asal "happy". Dan mereka berdiri di garda yang ogah berlama-lama rapat,
berbunga-bunga janji, berkubang intrik dari kelas teri sampai kelas wahid. Mereka hendak ramai-ramai meruntuhkan arsitektur negara pasar yang hanya dapat berkata "Ya" atau "Tidak" berlabel Konferensi Tingkat Tinggi.
Mereka hendak menyeruput energi hidup dari cangkir kegembiraan. Dan pelatih timnas Rahmad Darmawan menimpali, "Saya mohon maaf, harapan suporter malam ini tidak terjawab dengan hasil yang bagus. Kita akan perbaiki tanggal 19 (saat menghadapi Vietnam)."
(A024)
Biar kalah 0-1, asal "happy"
18 November 2011 16:39 WIB
Pesepakbola Indonesia Diego Michels (kanan) mencoba merebut bola dari pesepakbola Malaysia Ramlan Izzaq (kiri) pada babak kualifikasi cabang sepakbola SEA Games XXVI, di Stadion Utama Gelora Bung Karno Jakarta, Kamis (17/11). (FOTO ANTARA/Yudhi Mahatma)
Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2011
Tags: