Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2012 berada pada kisaran 6,3 hingga 6,7 persen setelah memasukkan dampak gejolak ekonomi global.

"Pengaruh gejolak ekonomi global diperkirakan akan mulai berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia 2012," kata Deputi Gubernur BI Bidang Kebijakan, Stabilitas dan Pengaturan, Muliaman D. Hadad, dalam seminar "Indonesia Economic Outlook 2012" di Jakarta, Rabu.

Menurut Muliaman, gejolak global yang dimaksud adalah kondisi perekonomian Amerika Serikat yang masih lemah yang ditandai dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Okotober 2011 hanya sebesar 1,6 persen.

Selain itu, menurut dia, krisis utang Yunani sebesar 350 miliar Euro yang menjadi beban bagi negara-negara Eropa. Juga adanya tekanan inflasi atau indeks harga konsumen (IHK) dengan tren meningkat di negara maju.

"Dampak ekonomi global masuk ke Indonesia melalui dua cara yaitu arus modal masuk dan keluar yang memiliki volatilitas yang tinggi, dan saluran perdagangan dengan kemungkinan permintaan dan harga ekspor yang turun," katanya.

Menurut dia, neraca perdagangan Indonesia (NPI) 2011 diperkirakan masih akan surplus karena didukung surplus transaksi berjalan (TB) dan transaksi modal dan finansial (TMF).

Meski pada triwulan III 2011, TB mencatat surplus 0,2 miliar dolar AS, namun surplus tersebut tidak menutup defisit 3,4 miliar dolar AS yang terjadi pada TMF.

Terkait nilai tukar, Muliaman mengatakan bahwa rupiah mengalami tekanan meski intensitasnya lebih rendah, yaitu rata-rata melemah 1,36 persen ke level Rp8.865 pada Oktober 2011 dari Rp8.744 per dolar AS pada September 2011.

"Secara keseluruhan pada 2011, nilai tukar rupiah memang mengalami depresiasi dibanding dengan rata-rata selama 2010 yaitu sebesar 4,06 poin, namun kita tidak sendirian karena Singapura, Myanmar, Thailand, Jepang maupun Filipina juga mengalaminya," ujarnya.

Untuk proyeksi inflasi pada 2012, Muliaman memperkirakan, mencapai 4,5 plus-minus satu persen.

"Prospek inflasi tahun depan terkendali dan berada pada 4,5 plus- minus satu persen karena lambatnya perekonomian global sehingga mengurani tekanan inflasi dari sisi harga impor, ditambah kurangnya tekanan dari sisi domestik karena terbatasnya pertumbuhan," jelas Muliaman.

Menurut dia, BI juga mencatat tren pertumbuhan kredit yang meningkat, mencapai 25,3 persen year on year (yoy) yang terdiri atas kredit investasi yang meningkat 31 persen, kredit modal kerja yang tumbuh 24 persen dan kredit konsumsi yang tumbuh 23 persen.

"Namun, pertumbuhan kredit ini sebaiknya tidak meninggalkan bom waktu, misalnya kredit untuk kendaraan bermotor yang diberikan lebih banyak oleh lembaga pembiayaan non-bank yang mungkin kebijakannya tidak seperti bank, bank hanya memberikan sepertiga dari kredit tersebut," jelasnya.

BI juga menilai bahwa posisi kredit bermasalah (non performing loan/NPL) masih terjaga dengan NPL gross 2,7 persen dan NPL netto stabil 0,6 persen sehingga kredit perbankan diperkirakan masih akan tumbuh sekitar 22 hingga 24 persen pada 2012.

Arah kebijakan moneter BI pada 2012, menurut Muliaman, adalah menjaga konsistensi suku bunga BI (BI rate) untuk menjaga target inflasi dan stabilitas sistem keuangan. Per 10 November BI rate menjadi turun menjadi 6,0 persen dibanding sebelumnya 6,5 persen.

"BI sesungguhnya juga bertugas untuk menetapkan kebijakan `macropurdential` yang terkait dengan arus modal yang mengatur manajemen likuiditas sehingga mengurangi resiko penggelembungan aset, semuanya sudah masuk dalam UU tentang Otoritas Jasa Keuangan yang baru disahkan, namun penerapannya masih akan kami bahas lagi," ujarnya.

Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang OJK yang mendapat persetujuan pengesahan dari DPR pada 27 Oktober 2011 antara lain berisi mengenai tugas pengawasan bank dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen.
(T.SDP-03/A039)