Baleg DPR: UU TPKS beri penegasan menindak kasus kekerasan seksual
27 April 2022 15:45 WIB
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya dalam diskusi bertajuk “Rakyat Menagih DPR: Revisi UU ITE, RUU TPKS, RUU PDP” yang disiarkan di kanal YouTube PARA Syndicate, dipantau dari Jakarta, Kamis (24/3/2022). ANTARA/Putu Indah Savitri.
Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya mengatakan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) memberikan penegasan pada undang-undang lainnya yang telah mengatur beberapa jenis kekerasan seksual.
Menurut Willy, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu, meskipun UU TPKS berpotensi tumpang tindih dengan UU lainnya yang telah mengatur beberapa jenis kekerasan seksual, seperti UU Pornografi, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan UU Perkawinan, regulasi ini memberikan penegasan, terutama terkait dengan pidana tambahan yang memperberat hukuman bagi pelaku.
“UU TPKS ini memberikan penegasan. Selain penegasan, aturan ini menjadi bentuk landasan hukum (legal standing) bagi aparat penegak hukum," ujar dia.
Baca juga: MPR-LPSK jadikan rumah aspirasi pusat pengaduan kekerasan seksual
Di samping itu, tambah dia, UU TPKS memiliki hukum acara pidana sendiri yang membedakan dengan produk legislasi lain.
“Jadi, kekuatan dari UU TPKS ini ada pada hukum acara pidana di mana cukup dengan satu alat bukti itu bisa diproses,” kata Willy.
Hal tersebut, lanjut dia, diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UU TPKS yang di dalamnya disebutkan bahwa keterangan saksi dan/atau korban cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan satu alat bukti sah lainnya dan hakim memperoleh keyakinan bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan terdakwa yang bersalah melakukannya.
Baca juga: Layanan UPTD PPA diperluas fasilitasi perempuan-anak korban kekerasan
“Ini memberikan semacam perlindungan kepada korban, saksi korban, keluarga korban, kaum disabilitas, dan anak-anak. Kesaksian mereka dalam hukum acara pidana itu sangat memudahkan mereka," jelas Willy.
Dengan demikian, menurut dia, UU TPKS merupakan undang-undang yang memiliki perspektif korban dan berpihak kepada korban secara luar biasa.
Willy menyampaikan bahwa UU TPKS bisa menjadi rujukan UU lain yang memuat aturan tentang tindak kekerasan seksual.
Baca juga: Kemen PPPA: UPTD PPA dapat ajukan restitusi untuk korban kekerasan
Hal tersebut, katanya, menjadikan UU TPKS tidak bertentangan, meskipun bisa menimbulkan tumpang tindih dengan UU lain.
“Jadi, kekerasan seksual atau jenis kekerasan seksual yang ada di beberapa undang-undang yang sudah ada bisa menggunakan hukum acaranya merujuk kepada TPKS,” kata Willy.
Menurut Willy, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu, meskipun UU TPKS berpotensi tumpang tindih dengan UU lainnya yang telah mengatur beberapa jenis kekerasan seksual, seperti UU Pornografi, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan UU Perkawinan, regulasi ini memberikan penegasan, terutama terkait dengan pidana tambahan yang memperberat hukuman bagi pelaku.
“UU TPKS ini memberikan penegasan. Selain penegasan, aturan ini menjadi bentuk landasan hukum (legal standing) bagi aparat penegak hukum," ujar dia.
Baca juga: MPR-LPSK jadikan rumah aspirasi pusat pengaduan kekerasan seksual
Di samping itu, tambah dia, UU TPKS memiliki hukum acara pidana sendiri yang membedakan dengan produk legislasi lain.
“Jadi, kekuatan dari UU TPKS ini ada pada hukum acara pidana di mana cukup dengan satu alat bukti itu bisa diproses,” kata Willy.
Hal tersebut, lanjut dia, diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UU TPKS yang di dalamnya disebutkan bahwa keterangan saksi dan/atau korban cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan satu alat bukti sah lainnya dan hakim memperoleh keyakinan bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan terdakwa yang bersalah melakukannya.
Baca juga: Layanan UPTD PPA diperluas fasilitasi perempuan-anak korban kekerasan
“Ini memberikan semacam perlindungan kepada korban, saksi korban, keluarga korban, kaum disabilitas, dan anak-anak. Kesaksian mereka dalam hukum acara pidana itu sangat memudahkan mereka," jelas Willy.
Dengan demikian, menurut dia, UU TPKS merupakan undang-undang yang memiliki perspektif korban dan berpihak kepada korban secara luar biasa.
Willy menyampaikan bahwa UU TPKS bisa menjadi rujukan UU lain yang memuat aturan tentang tindak kekerasan seksual.
Baca juga: Kemen PPPA: UPTD PPA dapat ajukan restitusi untuk korban kekerasan
Hal tersebut, katanya, menjadikan UU TPKS tidak bertentangan, meskipun bisa menimbulkan tumpang tindih dengan UU lain.
“Jadi, kekerasan seksual atau jenis kekerasan seksual yang ada di beberapa undang-undang yang sudah ada bisa menggunakan hukum acaranya merujuk kepada TPKS,” kata Willy.
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2022
Tags: