Nusa Dua, Bali (ANTARA) - Kamis pekan ini, tanggal 17 November, jika tak ada aral melintang, para pemimpin ASEAN akan membuat Bali untuk kesekian kali menjadi tempat deklarasi penting antarbangsa dikumandangkan.

Mereka akan menandantangi ikrar "Deklarasi Bali tentang Komunitas ASEAN dalam Komunitas Global bangsa-bangsa".

Sejumlah kalangan menilai tekad itu terlampau ambisius mengingat jomplangnya skala ekonomi dan perbedaan warna politik ASEAN. Namun ada isyarat dari ASEAN bahwa mereka merasa terancam kekuatan-kekuatan besar yang hanya bisa dihadapi dengan bersatu.

Di antara kekuatan-kekuatan besar yang mengelilingi ASEAN, China adalah yang paling membuat was-was, apalagi negeri ini belakangan amat agresif di Laut China Selatan.

ASEAN tahu China terlalu kuat, tapi ASEAN perlu memastikan tak ada yang boleh "main kuasa" di Laut China Selatan.

Presiden Filipina Benigno Aquino, seperti dilaporkan AFP, malah mengajak ASEAN satu front menghadapi China.

ASEAN lalu mengenalkan "kode etik berprilaku" di Laut China Selatan demi meredam konflik, sekaligus menjadi rambu-rambu bagi pengusahaan sumber daya yang adil di Laut China Selatan.

Ade Padmo Sarwono, Direktur Politik dan Keamanan ASEAN pada Kementrian Luar Negeri, secara implisit mengistilahkan kerjasama pengelolaan kawasan Laut China Selatan itu dengan "proyek".

Tapi itu tak boleh dibarengi konsesi-konsesi besar yang menutup peluang bertumbuh ekonomi domestik, apalagi selama ini ekspansi produk China sudah terlampau mengusik kelangsungan industri domestik, daya saing lokal dan kesempatan kerja di banyak negara ASEAN.

Benar, interaksi sosial yang kian kerap dan ekonomi kawasan yang makin seksi apalagi satu anggotanya (Indonesia) masuk perkumpulan elite G-20, adalah pendorong utama Asia Tenggara untuk membentuk komunitas ASEAN. Tapi tekanan eksternallah yang agaknya turut memperkeras tekad ASEAN menyatu menjadi satu masyarakat pada 2015.

Perbedaan intra-ASEAN yang kadang diametral seperti gaya liberal Indonesia dan Filipina versus sosialisme sentralistis di sebagian Indochina pun dikesampingkan.

Mengilhami

Kini semua menengok Bali, pulau indah yang juga terkenal inklusif, toleran, tapi sukses mempertahankan lokalitasnya. Dan tiga ciri ini kerap menjadi fondasi hadirnya masyarakat menyatu yang kokoh.

Memilih Bali sebagai tempat deklarasi Komunitas ASEAN disampaikan, bagai Eropa dan Belanda memilih Maastricht sebagai tempat di mana Uni Eropa besar.

Seperti Bali, Maastricht adalah simbol inklusivitas, jembatan kebudayaan dan identitas. Di kota ini, beragam bangsa dan bahasa Eropa membaur menyatu menjadi satu masyarakat inklusif yang kokoh.

Dan harmoni di tempat-tempat eksotis seperti Maastricht dan Bali kerap menginspirasi manusia menginisiasi langkah-langkah besar ke masa depan.

Bali yang digambarkan pengarang "Eat Pray Love" novelis Elizabeth Gilbert sebagai Taman Firdaus yang dihampari lautan gemintang, bisa menginspirasi ASEAN dalam mewujudkan ide besar Masyarakat ASEAN.

Di pulau yang digambarkan seniman Walter Spies sebagai `daratan indah mempesona yang berdamai dengan alam dan dirinya itu`, manusia-manusia Asia Tenggara akan mencipta harmoni dengan dirinya sendiri, tepat seperti diinginkan ASEAN.

ASEAN memang merasa harus menyatu karena berada di pusaran sama melalui mana kekuatan-kekuatan yang bisa memusuhi sekaligus berkawan, melewatinya.

Standard

Kini, di Nusa Dua, elite-elite ASEAN menggodok pesan menyatu itu kepada dunia dan masyarakat. Empat dokumen penting kawasan tengah dipersiapkan.Dan pesan kesatuan ASEAN itu akan segera disampaikan kepada dunia dan warga ASEAN.

Keempatnya, mengutip Kementerian Luar Negeri Indonesia, adalah dokumen Deklarasi Bali mengenai Komunitas ASEAN dalam Komunitas Global Bangsa-Bangsa. Lalu, Deklarasi KTT Asia Timur mengenai Prinsip-Prinsip Hubungan Saling Menguntungkan.

Kemudian, Deklarasi KTT Asia Timur mengenai Konektivitas ASEAN. Terakhir, Deklarasi Bersama mengenai Kemitraan Komprehensif antara ASEAN dan PBB.

Retasan-retasan jalan yang pernah disiangi Eropa sebelum menyatu menjadi Uni Eropa, kini dijalani ASEAN. Inisiatif Visa Bersama ASEAN adalah contoh lainnya.

Visa bersama ASEAN mirip konklusi Perjanjian Schengen 1985 yang diantaranya menelurkan Visa Bersama Schengen yang terbukti makin membuat kerap hubungan sosial ekonomi antar masyarakat Eropa.

ASEAN telah banyak belajar dari Uni Eropa, namun ada satu pelajaran menarik dari Uni Eropa mengenai bagaimana "kesalingpercayaan dan kesetaraan" dibangun dengan cara menghilangkan organisasi kawasan berada dalam bayang aktor-aktor besarnya.

Untuk setidaknya membunuh bayang itu, Uni Eropa memilih Brussels menjadi markas besar, bukan Paris, bukan Berlin, bukan pula London.

Ini adalah salah satu upaya Uni Eropa menjaga kesetaraan dan kesalingpercayaan. ASEAN bisa menirunya. dan kota seperti Bandar Sri Begawan mungkin bisa masuk konteks itu.

Pelajaran penting lain adalah standard kehidupan kawasan. Sedikit saja melenceng dari standard, maka kawasan bisa goyah seperti krisis utang Eropa dewasa ini.

Yunani yang ternyata ekonominya tak cukup kuat memenuhi standard zona Euro babak belur, kemudian menularkan penyakit krisis. Karena Yunani sudah dalam tubuh Uni Eropa, maka epidemi krisis utang pun menular cepat ke zona Euro.

Uni Eropa pun menghadapi ujian terberat. Jika Uni Eropa mampu mengatasinya, ASEAN bakal mewarisi resep baru dalam mana masalah kawasan bisa diatasi, tapi jika Eropa gagal maka ASEAN mesti lebih banyak lagi berdikusi mengenai karakteristik "penyakit dalam satu tubuh" seperti Yunani dalam Uni Eropa.

Intinya. ASEAN perlu terus mengenal perbedaan-perbedaan di antara mereka. (*)