Nusa Dua, Bali (ANTARA News) - Bandung pernah memancarkan semangat kebangkitan negara-negara dunia ketiga dalam persaudaraan dan kerja sama sejati. Kini Bali menjadi tuan rumah KTT Ke-19 ASEAN pada 17-19 November nanti. Mungkinkah Semangat Bandung pada 1955 itu bisa terpancar lagi bagi kawasan ASEAN dan kawasan lain dunia?

Sebetulnya, kesamaan kultur dan cara hidup serta kepentingan di Asia Tenggara bisa menjadi modal besar menuju perwujudan hal itu. "ASEAN harus dapat menghidupkan kembali spirit Bandung," kata Ketua Koalisi Anti Utang, Dani Setiawan, Senin.

Semangat Bandung pada 1955 dalam Konferensi Asia-Afrika itu, katanya, merupakan bentuk dari perlawanan berbagai negara Asia dan Afrika terhadap dominasi kekuatan kolonialisme. Soekarno dapat meyakinkan para pemimpin negara di Asia dan Afrika bahwa dengan bersama-sama, maka semua rintangan bisa dihadapi.

Manifestasi masa kini dan ke depan adalah kemandirian dan kedaulatan kawasan dan masing-masing negara dalam banyak dimensi. Paling kelihatan dan terasa bagi masyarakat adalah pada kekuatan ekonomi agar jangan lagi didominasi didominasi kekuatan ekonomi para adidaya.

Walau sedang bermasalah, Amerika Serikat masih menjadi magnet utama kekuatan ekonomi dunia. China mulai mengikuti jejak itu dengan cadangan devisanya yang sangat luar biasa, sebagaimana India yang mampu menunjukkan performa pertumbuhan ekonomi yang tidak kalah.

Visi para bapak bangsa pada awal kemerdekaan memang jauh ke depan. Modalnya adalah pengetahuan dan pemahaman mendalam terhadap diri Indonesia. Dengan menghidupkan kembali Semangat Bandung, maka Indonesia dapat mengembalikan peran sebagai satu negara yang dapat melawan hegemoni global saat ini.

"Semangat Bandung dapat menjadi ikatan penguat bagi negara-negara ASEAN dengan landasan historis perjuangan KAA," kata Ketua KAU.

Sementara itu, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), Henry Saragih, menginginkan agar solidaritas pangan di tingkat ASEAN dapat ditingkatkan agar kejadian seperti banjir besar yang terjadi di negara Thailand dapat tertangani segera secara internal.

"ASEAN harus menetapkan solidaritas yang jelas dan saling berbagi," kata Henry.

Menurut dia, indikasi solidaritas pangan ASEAN yang belum optimal dapat terlihat setelah terjadi peristiwa banjir besar yang melanda banyak wilayah Thailand. Banjir itu merusak hingga 72 persen lahan pertanian pangan negara penghasil beras utama dunia itu.

Selain memukul sektor pertanian, bencana banjir tersebut juga memukul industri manufaktur Thailand yang berdampak negatif terhadap negara-negara di kawasan ASEAN. (M040)