Restorasi film klasik Indonesia buka wawasan baru untuk generasi muda
24 April 2022 18:21 WIB
Petugas perawatan film Sinematek, Firdaus, melakukan perawatan gulungan pita film atau seluloid di salah satu ruang bawah tanah gedung Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI), HR Rasuna Said, Jakarta, Rabu (30/3/2022). ANTARA FOTO/Reno Esnir/YU (ANTARA FOTO/RENO ESNIR)
Jakarta (ANTARA) - Pengamat film sekaligus Wakil Ketua I Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Hikmat Darmawan berpendapat bahwa restorasi film-film klasik Indonesia dengan akses penayangan dapat membuka wawasan baru untuk penonton film muda.
"Kalau tidak ada forum penayangan (film-film klasik dan restorasi), rasanya menjadi susah untuk melihat film-film masterpiece dari generasi ke generasi, jadi film itu bisa terwariskan," kata Hikmat dalam diskusi daring, Minggu.
Sineas dan film progammer Ifan Ismail mengatakan, restorasi film tidak sesederhana kelihatannya. Terdapat sejumlah tantangan yang menanti.
Baca juga: BPI siapkan Dewan Etik ciptakan ruang aman pekerja film
"Pertama adalah dari segi teknologi, apalagi kalau restorasi seluloid, yang secara fisik (harus) diperbaiki. Kalau restorasi digital relatif lebih mudah karena yang disunting atau dibersihkan adalah gambar digitalnya," kata Ifan.
Selanjutnya, adalah masalah hak milik dari film tersebut.
"Masalah rights film ada di mana, siapa pemilik film ini. Kadang kalau film lama, kita menemukan bahwa produser sampai rumah produksinya sudah tidak ada, dan lainnya. Itu yang harus diselesaikan terlebih dahulu, dan itu prosesnya juga tidak mudah," paparnya.
Sementara itu, Madani International Film Festival akan menayangkan "Titian Serambut Dibelah Tujuh" (1982) yang telah direstorasi sebagai bagian dari acara "Ngabuburit Madani", pada Rabu (27/4) di CGV Grand Indonesia Jakarta, pukul 14.00 WIB.
Baca juga: Ruang aman & pasar majemuk dinilai masih jadi tantangan industri film
Menurut Hikmat, film ini memiliki kemampuan mengangkat kompleksitas umat Islam di Indonesia.
"Dan bagi saya, itu adalah sajian tema Islam yang lebih kuat karena ada keberanian untuk menggambarkan (keadaan masyarakat) apa adanya, seperti keruntuhan moral masyarakat saat itu dari sudut pandang keagamaan," kata Hikmat.
"Ini adalah film yang berani mengangkat masalah-masalah apa adanya dengan kemampuan metafora baik secara visual maupun naskah. Serta merupakan film yang berangkat dari ide namun tidak mengorbankan ide di bentuknya, memiliki kesadaran metaforik visual, kesadaran bicara lewat elemen visual dan ini susah ditandingi," imbuhnya.
"Titian Serambut Dibelah Tujuh" adalah film kolaborasi antara sutradara Chairul Umam dengan penulis skenario Asrul Sani para tahun 1982, dan merupakan film daurulang dari Film Asrul Sani tahun 1959 dengan judul yang sama.
Film ini meraih Citra di Skenario Terbaik dan nominee Film Terbaik FFI tahun 1983, serta piala PWI Jaya untuk Film Drama Terbaik.
Baca juga: Pengamat: Perempuan di dalam dan di balik film semakin beragam
Baca juga: "Ngeri Ngeri Sedap" kisahkan perjuangan empat bersaudara
Baca juga: Merangkul semangat, inklusivitas, dan asa melalui sinema
"Kalau tidak ada forum penayangan (film-film klasik dan restorasi), rasanya menjadi susah untuk melihat film-film masterpiece dari generasi ke generasi, jadi film itu bisa terwariskan," kata Hikmat dalam diskusi daring, Minggu.
Sineas dan film progammer Ifan Ismail mengatakan, restorasi film tidak sesederhana kelihatannya. Terdapat sejumlah tantangan yang menanti.
Baca juga: BPI siapkan Dewan Etik ciptakan ruang aman pekerja film
"Pertama adalah dari segi teknologi, apalagi kalau restorasi seluloid, yang secara fisik (harus) diperbaiki. Kalau restorasi digital relatif lebih mudah karena yang disunting atau dibersihkan adalah gambar digitalnya," kata Ifan.
Selanjutnya, adalah masalah hak milik dari film tersebut.
"Masalah rights film ada di mana, siapa pemilik film ini. Kadang kalau film lama, kita menemukan bahwa produser sampai rumah produksinya sudah tidak ada, dan lainnya. Itu yang harus diselesaikan terlebih dahulu, dan itu prosesnya juga tidak mudah," paparnya.
Sementara itu, Madani International Film Festival akan menayangkan "Titian Serambut Dibelah Tujuh" (1982) yang telah direstorasi sebagai bagian dari acara "Ngabuburit Madani", pada Rabu (27/4) di CGV Grand Indonesia Jakarta, pukul 14.00 WIB.
Baca juga: Ruang aman & pasar majemuk dinilai masih jadi tantangan industri film
Menurut Hikmat, film ini memiliki kemampuan mengangkat kompleksitas umat Islam di Indonesia.
"Dan bagi saya, itu adalah sajian tema Islam yang lebih kuat karena ada keberanian untuk menggambarkan (keadaan masyarakat) apa adanya, seperti keruntuhan moral masyarakat saat itu dari sudut pandang keagamaan," kata Hikmat.
"Ini adalah film yang berani mengangkat masalah-masalah apa adanya dengan kemampuan metafora baik secara visual maupun naskah. Serta merupakan film yang berangkat dari ide namun tidak mengorbankan ide di bentuknya, memiliki kesadaran metaforik visual, kesadaran bicara lewat elemen visual dan ini susah ditandingi," imbuhnya.
"Titian Serambut Dibelah Tujuh" adalah film kolaborasi antara sutradara Chairul Umam dengan penulis skenario Asrul Sani para tahun 1982, dan merupakan film daurulang dari Film Asrul Sani tahun 1959 dengan judul yang sama.
Film ini meraih Citra di Skenario Terbaik dan nominee Film Terbaik FFI tahun 1983, serta piala PWI Jaya untuk Film Drama Terbaik.
Baca juga: Pengamat: Perempuan di dalam dan di balik film semakin beragam
Baca juga: "Ngeri Ngeri Sedap" kisahkan perjuangan empat bersaudara
Baca juga: Merangkul semangat, inklusivitas, dan asa melalui sinema
Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2022
Tags: