Jakarta (ANTARA) - Dekan Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Inayah Rohmaniyah mengatakan RA Kartini telah membebaskan perempuan Indonesia dari belenggu tradisi yang merugikan.

“Kartini memimpin perubahan bagi perempuan Indonesia, pembebasan perempuan dari belenggu tradisi yang merugikan, membuka cakrawala urgensi pendidikan bagi perempuan,” kata Inayah dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA di Jakarta, Jumat.

Inayah menuturkan terlepasnya perempuan dari belenggu tradisi itu merupakan dampak dari keberanian yang dimiliki Kartini untuk melakukan kritik sosial terhadap budaya atau masyarakatnya sendiri.

Baca juga: MPR: Perjuangan Kartini jadi energi wujudkan cita-cita perempuan

Kartini memiliki pemikiran bahwa pendidikan adalah cara untuk meningkatkan kapasitas diri perempuan, melepaskan diri dari perjodohan, bahkan mempersiapkan diri sebagai seorang ibu.

Menurut Inayah, hal yang Kartini lakukan sama dengan apa yang diterapkan dalam agama Islam. Islam mengakomodasi prinsip kesetaraan gender antara lain menyatakan laki-laki dan perempuan sama-sama hamba dan khalifah Allah serta sama-sama menerima perjanjian primordial.

Keduanya sama-sama terlibat aktif dalam peristiwa drama kosmis dan berpotensi sama dalam meraih prestasi.

Nilai-nilai universal dalam Islam ikut memberikan ruang atas kesetaraan laki-laki dan perempuan yaitu tauhid, musawa (kesetaraan), ukhuwah (persaudaraan), ‘Adalah (keadilan), dan tawasut (moderat).

Baca juga: Ketua DPD RI: Semangat Kartini harus tetap menyala meski pandemi

“Namun, muncul pemahaman yang tidak menyiratkan nilai-nilai dasar tersebut sehingga banyak problem sosial terjadi dalam masyarakat seperti kekerasan seksual, angka kekerasan dalam rumah tangga yang tinggi, kekerasan dan kebijakan diskriminatif atas nama agama, dan pandangan kultur yang diskriminatif dengan justifikasi atau paham agama,” ucap Inayah.

Direktur Eksekutif Institut Leimena Matius Ho mengatakan pemikiran Kartini saat muda menjadi terobosan besar di tengah konteks masyarakat yang membatasi pendidikan untuk perempuan.

Matius menjelaskan pola pikir kritis Kartini tidak bisa lepas dari pergaulan lintas budaya yang dilakukannya sejak dini. Hingga usia 12 tahun, Kartini menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Eropa yang diutamakan untuk orang-orang Eropa.

Dari lingkungan yang memiliki perbedaan budaya itu, Kartini menggunakan bahasa Belanda guna bertukar pikiran melalui surat kepada para sahabatnya yang merupakan orang Eropa.

Baca juga: Bupati Jepara bantah keraguan perjuangan Kartini sebatas tataran ide

“Sangat mungkin surat menyurat yang intens dengan orang-orang berlatar belakang agama dan budaya yang berbeda berpengaruh besar dalam menghasilkan pemikiran-pemikirannya yang maju, terbuka, dan kritis, termasuk dalam pemahaman atau literasi keagamaannya,” ujar Matius.