Jakarta (ANTARA News) - Negara berkembang saat ini mulai merasakan adanya fluktuasi nilai tukar mata uangnya dan perlambatan ekonomi lainnya sebagai dampak dari krisis yang melanda Yunani, AS dan Uni Eropa dalam beberapa waktu terakhir.

"Dampak krisis AS, Yunani, dan EU mulai merambat masuk ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini tentunya harus menjadi perhatian," kata Ekonom Universitas Gadjah Mada, Anggito Abimanyu, di Jakarta, Rabu.

Ia menjelaskan, kinerja pasar modal negara berkembang akhir-akhir ini terus mengalami fluktuatif, namun intensitasnya masih lebih rendah dibanding pasar modal negara maju.

"Itulah sebabnya, imbal hasil di negara berkembang saat ini lebih baik dari negara maju, sehingga terjadi capital inflow," ujarnya.

Ditambahkannya, negra berkembang seperti Indonesia perlu memperhatikan penurunan harga komoditas primer serta inflasi, terutama inflasi yang disebabkan dari kelompok pangan, yakni beras.

Menurutnya, harga beras di dalam negeri saat ini lebih tinggi dibandingkan harga internasional, akibatnya beban anggaran negara juga bertambah. Hal ini yang membuat pertumbuhan ekonomi di hampir seluruh negara turun rata-rata 1,0 persen.

Untuk Indonesia sendiri, lanjut Anggito, pertumbuhan ekonomi Indonesia tengah mengalami fase ekspansi dalam situasi perekonomian dunia melambat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam kuartal III 2011 stabil, tapi di sisi lain pertumbuhan eksternal melambat.

"Namun perekonomian domestik tetap kuat, perekonomian Indonesia diperkirakan akan tumbuh sebesar 6,0-6,3 persen pada tahun 2012 dan inflasi akan tetap rendah pada kisaran 4,0 persen. `Capital inflow` masih akan terjadi di 2011 dan saatnya Indonesia perlu memperkuat arus masuk investasi dan perekonomian domestik," katanya.

Ia memaparkan, Indonesia perlu mengantisipasi krisis global lebih dini dan lebih komprehensif. Meskipun telah memiliki ketentuan pencegahan kondisi darurat melalui UU OJK dan UU APBN 2012, namun instrumen tersebut belum memadai.

"Ini karena adanya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terlalu banyak campur tangan dan intervensi dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), misalnya terlalu banyak pasal yang mengatur Dewan Komisioner (DK)," ujarnya.

Selain itu, pasal yang mengatur hubungan antara Bank Indonesia dan OJK tidak diatur dengan jelas. Padahal, ini merupakan hal yang mutlak dalam OJK untuk berkoordinasi dalam mengantisipasi krisis.

"Hubungan antara BI dan OJK tidak cukup detail, hanya satu pasal, padahal yang harus dibangun adalah koordinasi dalam mengantisipasi krisis," jelasnya.

Terlepas dari keberadaan UU tersebut, ia mengakui bahwa kondisi Indonesia dalam menghadapi krisis global saat ini cukup baik dari pada krisis 2008 dan 2009. Beberapa faktor fundamental ekonomi masih cukup mumpuni.

"Hal positif saat ini adalah cadangan devisa yang meningkat, rasio utang yang aman, Surat Berharga Negara cukup dalam dan efisien, serta investasi baik dalam bentuk portofolio dan FDI (Foreign Direct Investment) yang menggeliat," katanya.

(ANT-135/A027)