Jakarta (ANTARA) - Pakar ekonomi dan bisnis Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Tjahjanto Budisatrio menilai rencana pelabelan BPA pada air minum dalam kemasan (AMDK) galon guna ulang polikarbonat (plastik keras) oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akan membuat pasar AMDK galon lebih sehat.

"Persaingan yang sehat akan terjadi jika konsumen makin sadar akan kesehatannya," kata Tjahjanto dalam sebuah webinar di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, pelabelan BPA (Bisphenol A) akan membuat orang sadar untuk memilih, apakah dia menginginkan produk yang sudah dikasih label dan tahu implikasi kesehatannya atau produk yang tidak mengandung BPA.

Pada saat yang sama, produsen produk yang mengandung BPA pun akan terdorong untuk memperbaiki produknya dan berinovasi untuk dapat tetap bersaing.

“Inilah kondisi yang disebut dalam dunia ekonomi sebagai contestable market. Inilah kondisi yang kita harapkan, bahwa pasar mengarah kepada kondisi yang benar-benar bersaing secara sehat," ujarnya dalam tema “Pelabelan BPA: Menuju Masyarakat Sehat dengan Pasar Sehat".

BPA merupakan bahan kimia yang menjadi bahan baku dalam proses produksi kemasan plastik keras atau polikarbonat. Dalam ratusan publikasi ilmiah, BPA disebut bisa menyebabkan antara lain kanker dan gangguan hormonal terkait kesuburan.

Fakta ilmiah tersebut, menurut Tjahjanto, menimbulkan kondisi yang dalam dunia bisnis disebut dengan negative externality atau kondisi munculnya dampak negatif dari aktivitas usaha. Ketika kondisi ini terjadi, pemerintah harus ikut masuk untuk memperbaikinya.

“Ini karena kondisi tersebut bisa menimbulkan kegagalan pasar atau market failure di masa depan,” katanya.

Di sisi lain, Tjahjanto menilai pasar AMDK galon di Indonesia sebenarnya relatif kurang sehat. Ini karena terjadi apa yang disebut lock-in (penguncian pelanggan) pada produk tertentu. Konsumen harus mendeposit sejumlah uang untuk mendapatkan galon A tetapi tidak bisa menukarnya dengan galon B jika galon A tidak ada di toko.

“Adanya lock-in dan kemudian biaya penggantian (switching cost) menciptakan rintangan untuk masuk pasar (barrier to entry), dan produsen yang melakukan lock-in secara kuantitas akan menjadi sangat dominan di dalam pasar ini,” katanya, “dalam teori, kondisi ini disebut oligopoli model Stackelberg.”

Oleh karena itu, menurut Tjahjanto, selain bertujuan mengantisipasi negative externality, pelabelan BPA bisa menjadi pintu masuk untuk menghilangkan rintangan itu.

Menurut dia, pengusaha memang harus kreatif dan mau berinovasi dalam memenuhi tuntutan masyarakat, terutama dalam kaitan dengan masalah kesehatan.

Sementara itu, Manager Regional PT. Sariguna Primatirta Tbk, produsen salah satu AMDK galon Yohanes Catur Arkiyono, mengatakan pihaknya mendukung penerbitan peraturan BPOM terkait kewajiban pelabelan BPA pada AMDK galon.

Menurut dia, pengusaha AMDK galon tidak perlu khawatir dengan rencana regulasi BPOM tersebut karena regulasi tersebut demi kesehatan konsumen dan bisa mendorong mereka untuk terus berinovasi.

“Pelaku usaha yang menggunakan galon polikarbonat tapi paparan BPA-nya masih di bawah batas yang ditetapkan BPOM, kenapa mesti khawatir?" katanya.

Baca juga: Aspadin sebut pelabelan BPA di air kemasan bakal memukul industri AMDK

Baca juga: Ketua Aspadin optimis industri AMDK tumbuh 5 persen di tahun 2021