Jakarta (ANTARA) - Presidensi G20 Indonesia berfokus pada penguatan kemitraan global yang berorientasi pada hasil yang nyata dan berdampak (concrete tangible and impactful deliverables).

“Ini sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo , bahwa kita harus menghasilkan sesuatu yang konkret, yang dapat dirasakan dan berdampak luas pada masyarakat,” ujar Staf Ahli Menteri Luar Negeri bidang Hubungan Antarlembaga Muhsin Syihab dalam Kegiatan Sosial Presidensi G20 Indonesia Sektor Prioritas Transisi Energi secara virtual, Jumat.

Ia mengatakan Presidensi G20 Indonesia juga meneruskan komitmen dari Presidensi G20 terdahulu.

“Kemudian harus ada konsistensi dan kesinambungan antara apa yang dihasilkan Presidensi G20 sebelumnya, dan pada saat Presidensi G20 Indonesia, serta bisa dilanjutkan pada Presidensi berikutnya,” kata Muhsin.

Baca juga: Kemlu: Aksi 'walk out' di G20 tidak ditujukan terhadap presidensi

Ia juga mengatakan Presidensi G20 Indonesia juga merangkul dan menyuarakan kepentingan negara berkembang, kecil dan kepulauan, kaum rentan sehingga tak ada yang ditinggalkan.

Muhsin juga menjelaskan bahwa G20 menjadi signifikan karena 85 persen GDP global ada di G20, 75 persen perdagangan internasional berada di peredaran G20.

“Dan dari G20 ini terdiri dari 2/3 penduduk Dunia. Jadi pasar besar di dunia ada di G20,” kata Muhsin.

Ia mengatakan sebanyak 11 negara maju termasuk Uni Eropa serta 9 negara berkembang yang berpengaruh di kawasan ada di G20.

“Jadi pengaruh politik, ekonomi, sosial, dan berbagai macam keputusan itu dipengaruhi oleh pengaruh-pengaruh G20. Keputusan itu memiliki dampak sistemik,” kata dia.

Ia mengatakan setiap KTT G20 ada tema dan tema itu tidak bisa dilepaskan dari konteks yang berkembang pada saat itu.

Baca juga: India berharap Presidensi G20 Indonesia lahirkan hasil substantif

“Saat ini Indonesia mengusung tema Recover Together, Recover Stronger . Intinya kita perlu memperhatikan bahwa setiap tema yang diangkat oleh presidensi itu ada konteksnya,” kata dia.

Presidensi G20 Indonesia diikuti presidensi negara berkembang lainnya yaitu India , Brazil, Afrika Selatan.

Saat ini, lanjut dia, ada berbagai macam tantangan global. Akses dan distribusi vaksin yang tidak setara antarnegara dan kawasan.

Data WHO per awal Maret 2022 menunjukkan secara global 56 persen populasi dunia telah divaksin penuh, namun hanya 9 persen populasi dari negara berpendapatan rendah.

“Lebih dari 85 persen populasi di Benua Afrika belum menerima vaksinasi dosis pertama. Jadi bisa dibayangkan disparitasnya itu, karena itu kita mengangkat isu tersebut,” kata Muhsin.

Ia mengatakan ada kesenjangan yang semakin besar antara negara maju dan berkembang yang disebabkan kemampuan berbeda dalam proses pemulihan pascapandemi.

“Diprediksi bahwa pada 2023, ekonomi negara maju akan pulih sepenuhnya ke tingkat prapandemi. Dalam periode yang sama, negara berkembang masih 4 persen di bawah tingkat itu, bahkan bagi negara pulau dan kepulauan 8,5 persen di bawah tingkat sebelum pandemi,” kata dia.

Kemudian ada tantangan geopolitik seperti adanya ketegangan, ketidakpercayaan, perang dagang maupun kebijakan keuangan.

Baca juga: Mendorong akselerasi investasi berkelanjutan lewat Presidensi G20
Baca juga: Solusi global ala Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20