Jakarta (ANTARA News) - Awal hingga pertengahan November ini adalah hari-hari sibuk bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dia harus berkeliling dari konferensi ke konferensi di berbagai belahan dunia.

Pada 3-4 November 2011, Kepala Negara berada di Eropa untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di sebuah kota selatan Prancis yang terkenal dengan gelaran tahunan festival film bergengsinya, Cannes.

12 hingga 15 November 2011, Presiden yang selalu didampingi Ani Yudhoyono dalam setiap kunjungan kerja ke luar negeri akan berada di kepulauan di Samudera Pasifik yang menjadi impian para turis sedunia, Hawaii.

Di Honolulu di kepulauan itu, akan diselenggarakan KTT Asia Pacific Economic Cooperation (APEC).

Kunjungan kerja ke salah satu negara bagian Amerika Serikat itu akan dilanjutkan secara maraton ke Pulau Bali yang juga salah satu surga pariwisata dunia, untuk menghadiri KTT ASEAN pada 17-19 November 2011.

KTT ASEAN di Bali akan dirangkaikan dengan KTT ASEAN+3 yang melibatkan Jepang, Korea Selatan, dan China, serta KTT Asia Timur yang kabarnya bakal Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan Presiden Rusia Dmitri Medvedev. Kedua negara ini adalah mitra ASEAN.

Kesibukan Presiden itu mencerminkan posisi strategis Indonesia dalam pergaulan internasional.

Indonesia adalah anggota G20 (forum informal yang terdiri atas 20 negara maju dan berkembang dibentuk untuk mencari solusi krisis keuangan global pada 2008), APEC yang mengidamkan sebuah zona perdagangan bebas di kawasan Asia-Pasifik berlaku bagi 21 negara anggotanya pada 2020, dan Ketua ASEAN pada 2011 yang sedang mengejar cita-cita membentuk komunitas ASEAN pada 2015.

Dalam berbagai kesempatan, Presiden Yudhoyono selalu menekankan kerja sama internasional yang digalang Indonesia dengan negara-negara lain pasti mendahulukan kepentingan nasional. Ia juga menyatakan kehadirannya di setiap forum internasional pasti membawa misi kepentingan dalam negeri.

Dalam KTT G20 di Cannes yang baru saja berlalu, misalnya, Presiden mengingatkan agar krisis di Zona Euro tidak melupakan tujuan besar dibentuknya forum tersebut, yaitu menciptakan perekonomian dunia yang lebih stabil dan berimbang sehingga negara-negara berkembang bisa mendapatkan keadilan.

G20 juga bertujuan mereformasi lembaga moneter internasional sehingga suara negara-negara berkembang terwakili secara lebih adil dan berimbang. Sayangnya, tujuan itu sampai kini masih sebatas wacana meski KTT G20 telah digelar enam kali di berbagai negara belahan dunia.

Adalah wajar apabila G20 lebih fokus pada upaya mengatasi krisis zona Euro yang bermula di Yunani yang kini telah merambat ke Italia dan kian mencemaskan negara-negara zona Eropa lainnya, karena G20 memang dibentuk untuk mencari solusi krisis keuangan yang bermula di negara-negara maju belahan barat.

Sudah di jalur tepat

Amerika Serikat yang akan menjadi tuan rumah APEC 2011 sampai saat ini juga belum pulih dari krisis finansial akibat longgarnya aturan main dan tidak transparannya lembaga-lembaga keuangan dalam mengelola dana mereka.

Negara adidaya itu sampai saat ini masih didera angka pengangguran yang tinggi dan defisit anggaran yang menganga.

Seperti dikutip dari situs resmi APEC, AS menginginkan konferensi tersebut melahirkan ide guna merangsang pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja melalui peningkatan perdagangan dan arus investasi di kawasan Asia Pasifik.

Pada tahun-tahun terakhir AS memang memperlihatkan minat tinggi untuk bekerjasama dengan negara-negara Asia yang kini memotori pertumbuhan ekonomi dunia. Nilai perdagangan AS dengan negara-negara Asia Pasifik saat ini tercatat lebih besar dibandingkan dengan Uni Eropa.

Tahun ini APEC diharapkan lebih fokus pada upaya memperkuat integrasi ekonomi guna mewujudkan kawasan perdagangan bebas Asia Pasifik sehingga nantinya berbagai tarif perdagangan dihilangkan dan tidak ada lagi tarif-tarif baru yang akan muncul.

Sebuah penelitian telah dilakukan pada 2010 untuk mengetahui bagaimana kerangka kerja APEC dalam mengurangi tarif perdagangan diterapkan kepada lima negara maju dan delapan negara berkembang di Asia Pasifik.

Hasilnya, pada 1994 hingga 2009, volume perdagangan negara-negara anggota APEC meningkat 7,1 persen setiap tahun sedangkan nilai perdagangan intra-APEC meningkat tiga kali lipat dari periode sama.

Sedangkan investasi asing yang masuk dan keluar kawasan APEC tumbuh 13 persen pada periode 1994-2008. Nilai rata-rata tarif perdagangan di kawasan Asia Pasifik turun dari 10,8 persen pada 1996 menjadi 6,6 pada 2008.

Untuk itu, dalam setiap konferensi tahunan APEC, para pemimpin APEC menyatakan bahwa kaukus ini telah berada pada jalur yang tepat dalam mewujudkan stabilitas dan kemakmuran kawasan Asia Pasifik melalui perdagangan serta investasi yang bebas dan terbuka seperti dicita-citakan para pendahulu mereka dalam Bogor Goals 1994.

Harus menjadi kenyataan

17 tahun setelah deklarasi Bogor Goals, pelajaran penting muncul, bahwa perekonomian dunia yang terintegrasi dan bergantung satu sama lain itu mudah sekali diterjang badai krisis.

Sistem ekonomi yang terintegrasi membuat negara yang perekonomiannya tidak sehat mudah sekali menularkan ketidaksehatannya itu ke tetangga-tetangganya seperti terjadi di Zona Euro.

Krisis di belahan barat dunia itu layak dijadikan pelajaran bagi ASEAN yang sedang mengejar tenggat terbentuknya satu komunitas terintegritas pada 2015 dan tengah mengkaji kemungkinan penggunaan mata uang bersama.

Indonesia sudah mengambil pelajaran dari krisis moneter 1997/1998 bahwa satu-satunya kegiatan ekonomi yang masih bisa mempertahankan nyawa kala itu adalah usaha kecil dan menengah yang basisnya para pelaku usaha mandiri.

Indonesia juga sudah belajar dari krisis global pada 2008-2009 yang seketika menciutkan volume ekspor ke benua Eropa dan AS.

Indonesia bisa mengatasi krisis yang baru saja terjadi itu karena perekonomiannya bertumpu pada pasar domestik yang besar dan tidak terlalu bergantung pada ekspor.

Namun, pasar domestik Indonesia yang menggiurkan banyak negara di dunia itu rentan sekali "terjajah" barang-barang impor yang dengan mudah mengalir masuk akibat perjanjian perdagangan bebas. Ketidaksiapan pemerintah dalam menghadapi perdagangan bebas ASEAN-China telah menjadi bukti rentannya pasar domestik itu.

Konsumen yang akan memilih produk berharga lebih murah tidak bisa disalahkan dan kemudian hanya disuruh mencintai produk dalam negeri dengan slogan "100 persen Indonesia".

Jika sistem perekonomian dunia yang lebih stabil dan adil menjadi tujuan, perdagangan bebas dan terbuka menjadi keniscayaan, serta Indonesia yang maju dan mandiri menjadi cita-cita yang harus dikejar, maka janji Presiden Yudhoyono untuk mengedepankan kepentingan bangsa pada setiap forum internasional haruslah menjadi kenyataan.(*)

D013/A011