Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Hukum dan HAM memutuskan memberlakukan kebijakan pengetatan remisi dan bukan moratorium karena berdasarkan hasil kajian para pakar moratorium remisi melanggar undang-undang, kata Wakil Menteri Hukum dan HAM Deny Indrayana.

Menurut Deny, pengetatan remisi substansinya tidak menghapuskan sama sekali pemberian remisi, tetapi tetap ada pemberian remisi dengan persyaratan yang diperketat.

"Kebijakan ini adalah kebijakan Kemenkum HAM, bukan kebijakan saya pribadi. Kebijakan ini sudah diputuskan sehingga terus dilaksanakan," katanya pada diskusi bertajuk "Polemik: Permisi Numpang Remisi" di Jakarta, Sabtu.

Sementara pembicara lain, Pakar Hukum Pidana Universitas Universitas Indonesia Ganjar L Bondan, mengaku kaget dengan penjelasan kebijakan moratorium dari Deny Indrayana.

Menurutnya, moratorium maknanya adalah pembekuan yang terkait dengan anggaran.

"Namun, kalau Kemenkum dan HAM menerapkan kebijakan pengetatan, saya sepakat," katanya.

Ia mengusulkan, agar Kemenkum HAM memperketat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat terhadap koruptor karena selama ini pemberian remisi dan pembebasan bersyarat sangat mudah dan seperti diobral.

"Pemberian pemisi dan pembebasan bersyarat ini bahkan ditengarai sudah dikomersialisasi," katanya.

Mengenai tanggapan masyarakat terhadap munculnya isu moratorium remisi, Deny mengatakan,"Moratorium itu adalah istilah populernya. Sebelumnya, banyak dukungan dari publik agar diberlakukan moratorium remisi terhadap koruptor. Tapi setelah diumumkan, arusnya berbalik menjadi menentang."

Pada kesempatan tersebut, Deny mempertanyakan kuatnya arus yang menantang moratorium, apakah membela kepentingan publik atau koruptor.

Diantara Deny dan Ganjar L Bondan, hadir pula sebagai pembicara dalam dikusi itu Anggota Komisi III DPR RI Martin Hutabarat, serta Aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho.

(R024/K005)