Jakarta (ANTARA) - Mendengar mantan Dirjen Bimas Buddha membaca surat Al Fatihah dengan fasih, diam-diam, dalam hati mencuat ucapan begini: malu sebagai umat Muslim tak pandai melantunkan bacaan Al Quran.

“Kok, justru, malah orang Buddha, dia lebih pandai,” pikir penulis ketika dalam suatu obrolan di Kementerian Agama tempo doeloe.

Buset, demikian kami sering memanggilnya. Sebutan akrab kepada dirinya itu merupakan singkatan dari namanya Budi Setiawan. Orangnya humoris. Sudah tentu pandai gaul. Boleh jadi, karena kelebihan yang dimilikinya itu, ia pernah menjabat sebagai Wakapolda di Bali dan jabatan tinggi lainnya.

Kala Nyonya Besar di rumah memberi hadiah Al Quran di berbagai kegiatan sosial, malu terasa pada diri sendiri.

Ketika menyaksikan umat Muslim di Makkah dan Madinah mewakafkan Al Quran, air mata mengalir.

Mengapa? Sebab, bagi orang yang menggunakan pikirannya, Al Quran adalah bacaan "maha sempurna" dan "maha mulia".

Baca juga: Fadel Muhammad ajak umat Muslim terus mencintai Al Quran

Karya terbaik

Sejak peradaban baca tulis dikenal lima ribu tahun silam, tak ada bacaan paling sempurna kecuali Al Quran. Saat shalat, Al Quran dibaca hanya dalam bahasa Arab. Dari bacaan itu, banyak pakar mengapresiasi Al Quran sebagai sebuah karya terbaik di dunia.

Al Quran dipelajari dari sisi sejarah hingga ayat per ayat, dari segi waktu turunnya, dalam perjalanan atau di tempat berdomisili penerimanya (Nabi Muhammad SAW), sebab-sebab saat turunnya.

Sekadar membuka ingatan, Al Quran diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW pada 17 Ramadhan tahun 610 dan turun secara bertahap hingga 632 M. Surat Al-Alaq ayat 1-5 merupakan surat pertama dan kenabian Muhammad.

Sekali lagi, hingga kini Al Quran dipelajari susunan kalimatnya (redaksinya) dan cara membacanya melalui ilmu tajwid dan ilmu lainnya.

Kitab suci ini turun di malam Lailatulqadar dari Lauh Mahfudz ke langit lalu diturunkan ke Nabi Muhammad secara bertahap.

Ulama menyebut hari penghabisan turunnya Al Quran pada Jumat, 9 Dzulhijah tahun 10 Hijriah atau usia 63 dari kelahiran Nabi SAW. Saat itu, Nabi Muhammad tengah wukuf di Padang Arafah, ketika menyelenggarakan ibadah haji yang dikenal Haji Wada'.

Setelah itu tak ada lagi wahyu. Nabi Muhammad SAW. Setelah 18 hari kemudian, Beliau wafat pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 Hijriah.

Ayat terakhir berupa penegasan: Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-ucapkan kepadamu nikmati-Ku dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Q.S. Al-Maidah: 3).

Kini, jika kita baca Al Quran, tertulis surat-surat yang turun di Makkah dan Madinah. Hal itu didasari periodisasi turunnya. Periode Makkah (sebelum Nabi hijrah pada 17 Ramadan 610 M) dan Madinah (setelah hijrah).

Ketika di Makkah, turun 86 surat selama 12 tahun lima bulan. Isinya berkaitan dengan akidah, tauhid.

Di Madinah turun 28 surat dalam kurun waktu 9 tahun sembilan bulan.

Kandungan surat yang turun di Madinah kebanyakan berkaitan dengan muamalat (hubungan antarmanusia), syariat (aturan kehidupan Islam), dan hukum Islam.

Terlibat kurang lebih 42 juru tulis menulis ayat-ayat suci tersebut pada bahan berupa kertas, kain, pecahan tulang dan kulit.

Dari berbagai lembaran sejarah terungkap bahwa saat itu literasi adalah keterampilan yang hanya dimiliki sedikit orang. Nabi Muhammad SAW sendiri pun tidak tahu cara membaca atau menulis.

Nah, barulah di masa Khalifah Abu Bakar bin Sidik, ketika 70 orang yang penghafal Al Quran (qari) syahid pada Pertempuran Yamama, Umar bin Khattab mengimbau Abu Bakar agar segera menyusun Al Quran menjadi sebuah buku.

Zaid bin Tsabit dan 12 orang rekannya ditunjuk Abu Bakar merampungkan tugas tersebut. Terlibat tokoh terkenal seperti Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talha bin Ubaydullah, Abdullah bin Masood, Ubayy bin Kab, Khalid bin Walid, Hudhaifah dan Saleem.

Semua bahan tertulis dicermati. Selain itu, di kediaman Umar bin Affan, mereka juga mendengarkan lantunan ayat-ayat yang dihafal oleh para sahabat Nabi.

Baca juga: Hafiz Babel wakili Indonesia lomba hafalan Al Quran Asia Pasifik

Tadarus

Dewasa ini, Al Quran banyak dipelajari. Umat terdorong untuk memahami kandungan dan mengamalkannya. Bagi orang yang menggunakan akalnya, ia termotivasi. Terlebih saat Ramadhan ini, di berbagai surau, langgar, masjid banyak digelar tadarus Al Quran.

Mengapa bisa demikian? Karena ketika Al Quran dibaca dengan tartil, memperhatikan teknik membaca dengan baik (tajwid), lantunan ayat suci itu akan merasuk ke hati. Apa lagi disertai pemahaman kandungannya.

KH. Abdul Rozak, pimpinan Masjid Al Mubarok, Ceger, Cipayung, Jakarta Timur, ketika menyaksikan santrinya membaca Al Quran secara bergantian, ia memperhatikan secara detail.

Suara huruf yang keluar dari mulut si pembacanya, apakah sudah pas atau belum. Hingga suara dengung dan pantulan suara huruf tak luput dari perhatiannya.

Boleh jadi, ikhtiar yang dilakukan sang kiai itu adalah bagian dari upaya membumikan Al Quran.

Karena “keindahan” yang dimiliki Al Quran itu, tak heran, umat non-Muslim tertarik dan ikut pandai melantunkan Al Quran, seperti yang dilakukan mantan Dirjen Bimas Buddha yang fasih membaca surat Al Fatihah.

Kita akui, sisi terpenting dari kehadiran Al Quran bagaimana memfungsikan, menangkap pesan-pesannya, memahami dan melaksanakan petunjuk-Nya.

*) Edy Supriatna Sjafei adalah wartawan senior, pernah bekerja sebagai jurnalis LKBN ANTARA